The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Wednesday, March 14, 2012

Sehari Menjadi Pejuang Negeri

Sabtu, 10 Maret 2012 merupakan Yaumul Mizan bagi saya, hari dimana saya akan ditimbang. Ditimbang amal? Memangnya sudah siap? Oh bukan, bukan dengan timbangan amal, tapi dengan timbangan PMI Unit Kota Bandung untuk kemudian menjalani serangkaian pemeriksaan darah dan akhirnya diputuskan boleh mendonor darah atau tidak. Menegangkan kah? Ya, bagi saya ini sama menegangkannya seperti ketika akan menjalani operasi caesar demi melahirkan anak. Memang sudah pernah operasi caesar? Belum sih, tapi sama, sama-sama ‘akan’ menegangkan, dan sama-sama belum pernah saya lakukan, hahaa. YAP! Jika lolos segala pemeriksaan, maka hari ini adalah kali pertama saya menjalani donor darah. Mengapa menganggap bahwa donor darah akan menegangkan? Karena sebelum ini saya pernah juga menjadi ‘calon’ pendonor darah, dan entah mengapa saya begitu tegang saat itu, antara takut melihat darah, atau jangan-jangan memang berhati ciut (tak apalah berhati ciut, yang penting wajahnya imut :3). Walaupun akhirnya tidak jadi mendonorkan darah karena tekanan darah tidak mencapai standard (tak apalah tekanan darah rendah, yang penting tinggi badan diatas rata-rata :3), saya jadi menyadari satu hal, bahwa saya memang takut melihat darah yang keluar dari anggota tubuh. Membayangkannya saja membuat ngilu, mungkin sama seperti orang-orang yang tidak tahan mendengar suara alumunium yang bergesekan, begitu juga saya ketika melihat darah yang keluar dari anggota tubuh, ngilu, geli-geli mematikan, hiii. Lalu, mengapa hari ini ingin mencoba donor darah lagi? Mm, entahlah, ada dorongan yang besar untuk melakukan donor darah, semacam mengambil kesempatan untuk menjadi pahlawan bangsa dengan cara yang mudah, tanpa perlu meruncingkan bambu dan menusuk-nusukkannya kepada penjajah, tanpa perlu menjahit pakaian dalam merah membara dan mengenakannya di luar celana biru ketat, tanpa perlu menumbuhkan kumis-jambang lalu terbang-terbang dengan selendang, ya, mudah, dan hmmm, berhadiah! Slllrrrp! Menurut saya—selagi mampu dan berkesempatan—justru yang tidak mau menjadi pahlawan dengan mudah dan berhadiah itu yang aneh. Iya kan?

Langsung saja, saya yang cantik jelita ini benar-benar sudah siap menjadi Gatot Kaca wanita hari ini (tanpa kumis, jambang, dan rambut keriting di betis tentu saja). Dengan gerakan pasti dan dandanan trendy, saya starter motor hitam saya untuk dikendarai menuju Aston Primera Pasteur Hotel, tempat berlangsungnya acara donor darah (oke, ternyata tanpa terbang dengan selendang juga). Karena hanya sarapan dengan teh manis dan beberapa camilan, juga tak sempat makan siang, maka saya membawa bekal berupa onde-onde isi kacang hijau untuk dimakan sambil menyetir motor. Dan ketahuilah, menyetir motor sambil makan onde-onde kacang hijau besar bukanlah perkara mudah, hanya pengendara motor mahir sekelas saya saja yang boleh melakukannya, kamu yang membaca? Ah, sebaiknya jangan.... Sambil sibuk mengunyah dan menjaga keseimbangan motor, saya menyadari satu hal, bahwa jarum yang menunjukkan isi bahan bakar sudah berada di garis merah. Khawatir bahan bakar tidak cukup sampai tujuan sambil membayangkan saya yang seksi mendorong-dorong motor ke Pasteur dengan bersimbah keringat yang mana hanya akan membuat orang-orang semakin terpikat membuat saya membelokkan motor ke SPBU terdekat. Masuklah saya ke jalur pengantri Pertamax, yang lalu disambut hangat dengan peringatan seorang petugas yang lantang berkata, “Premium antrinya sebelah sini!” Sambutan yang saaangat hangat, kelewat hangat sampai-sampai diterima otak saya sebagai perilaku sinis dan melecehkan. Huh, saya mau beli Pertamax Mas, gini-gini saya termasuk yang mendukung program pemerintah untuk tidak menerima subsidi jika mampu, yang sebenarnya adalah doa supaya saya tak pernah ada dalam golongan tidak mampu. Yang mana juga merupakan pengejawantahan ego yang dipopulerkan Sule OVJ: biar miskin yang penting sombong. Yap, sebenarnya setiap saya ke SPBU ini dan petugasnya mendapati saya yang terlihat kere ini antri di jalur Pertamax, mereka selalu bertanya, “Pertamax?” tapi selalu dengan lembut dan senyum, dan sepertinya memang seperti itulah prosedurnya. Tapi kali ini? Hiiih.... Maka saya pun dengan tegas menjawab, “Pertamax,” yang disambut dengan “Oh,” oleh petugas tadi. Demi menjunjung tinggi prinsip ‘biar miskin yang penting sombong,’ saya yang biasanya hanya membeli Pertamax seharga sepuluh ribu jadi tak segan-segan mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu bergambar pahlawan nasional Otto Iskandar Dinata yang punya tahi lalat di alis kiri (perhatian ya saya? Hehee, kalo nggak percaya cek aja sendiri). Bahan bakar sudah terisi, Otto Iskandar Dinata sudah berpindah tangan, mari berangkaaat. Ah tunggu, sebelum berangkat, mari periksa dandanan, apakah kerudung masih rapi? Apakah wajah masih.... Oh tidak, siapakah gerangan wanita yang terlihat di kaca spion ini? Kumuh sekali, sekitar mulutnya... sekitar mulutnya... celemongan oleh isi onde-onde yang dimakan saat menyetir tadi, ngaaaaa, pantes aja mas-mas SPBU ini tidak menyangka bahwa saya hendak membeli bahan bakar yang sedikit lebih mahal. Diam-diam saya meminta maaf pada mas-mas SPBU itu dalam hati, “maaf ya mas, saya sempat kesal sekali padamu. Dimaafin kan mas? Iya kan? Nah, kembaliin dong uang pak Otto saya....” Eaaaaa.... (Oh iya, tulisan ini saya buat tidak dengan maksud membeda-bedakan penampilan pembeli Pertamax dan bukan pembeli Pertamax ya, maaf jika ternyata ada yang tersinggung :) )

Sampai! Sampai mana? Sampai Aston Primera Pasteur Hotel tentu saja. Wuih, jantung saya berdetak semakin kencang, tegang jenderal! Saya balik lagi aja ya, Jen! Kayaknya saya nggak kuat deh Jen! Saya kan baru makan sedikit! Duh Jen, nanti kalo saya lemes gimana Jen? Tapi Pak Jejen di dalam hati kecil saya menjawab, “jangan Nisa, kamu sudah setengah jalan menjadi pejuang, mari teruskan.” Begitulah, pergolakan antara si pengecut dan Pak Jejen dalam hati saya dimenangkan oleh Pak Jejen, mungkin Jejen Jumawa kepanjangannya, atau juga Jejen Jeniper Jaelaini, ah tak penting lah. Jangan coba-coba mengulur waktu lagi dengan memikirkan nama panjang pak Jejen Nisa, ayo masuki ballroom hotel, segera. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk, bunyi langkah kaki saya, apakah saya mengenakan sepatu kuda? Oh tidak, hari ini saya mengenakan wedges tali warna coklat nan seksi, supaya keliatan pantes aja sih buat masuk hotel, hahaa, tibalah saya di meja daftar ulang. Selesai mengkonfirmasi kedatangan, saya diberikan ini:


Apa sajakah yang diberikan? Sebuah kertas dari PMI untuk diisi, yang berhubungan dengan riwayat calon pendonor, sebuah angket dari Kompas—selaku penggagas acara—yang kemudian bisa ditukar dengan sticker imut warna biru yang bertuliskan, 'Kompas,' ya iyalah, apalagi coba, masa iya sticker bertuliskan, ‘Hari gini masih oper gigi?’ Lalu ada voucher berlangganan Kompas sebesar lima puluh ribu rupiah, dan terakhir, koran. Mengapa koran? Karena koran bisa dibaca-baca saat bosan menunggu antrian donor, dan bagi saya, bisa untuk dikunyah-kunyah saat tak kuat menahan tegang. Masuklah saya ke tempat donor, sudah lumayan sepi rupanya, saya memang datang di siang hari saat itu, langsung saja antri untuk diperiksa. Timbangan, tentu saja lolos. Akhir-akhir ini saya bulat, bergelambir, dan dapat menggelinding di jalanan beraspal. Lalu tes golongan darah dan Hb, untuk itu, ujung jari saya ditusuk manja, cus, lalu darah yang keluar diambil dengan pipa kecil. “Golongan darahnya B,” itu kata petugasnya, yang lalu saya jawab manis, “iya,” yang mana sebenarnya saya jawab dalam hati dengan, “tadi juga kan udah saya bilang golongan darah saya B, nggak percaya, huh.” Setelah itu, sisa darah dalam pipa beliau kepret-kan ke dalam gelas ukur berisi larutan warna biru. “Hb-nya bagus, silakan diperiksa tekanan darah, “entah mengapa, hati saya mencelos saat pertama mencerna kalimat tadi, itu artinya saya mungkin bisa mendonor darah, itu artinya lengan saya akan ditusuk dan dikeluarkan darahnya. Sebelum otak saya mulai memainkan adegan keji seorang wanita yang ditusuk-tusuk bambu lalu memuncrat-muncratkan darah, saya langsung berjalan saja ke meja yang satunya lagi, meja pemeriksaan tekanan darah. Setelah memeriksakan darah saya, ibu pemeriksa tensi darah ini tak berkata apa-apa kecuali menuliskan data-data saya ke dalam kartu donor berwarna biru (untuk golongan darah B berwarna biru), diberi tanggal pada baris pertama, dan, tok, diberi stempel. Begini bentuk kartu itu:

kartu donor

OMG! Artinya saya lolos pemeriksaan tekanan darah juga. Dug dug dug, seketika jantung saya berkejaran, apakah berkejaran di taman berumput dengan seorang pemuda yang pandai bernyanyi dan menari? Bukan, aduuuh, ini sungguh menegangkan, Jen! Lapor Jen, saya tegaaang! Jen? Pak Jejen? Kemana kamu saat dibutuhkan? Pak Jejen yang bijak dalam hati saya saja sudah tak mampu berkata-kata, namun sayang, pintu keluar ruangan donor hanya satu dan dijaga oleh petugas, huwoooh. Tak ada pilihan lain, dengan ucapan bismillah, saya berbaring di kasur PMI, tidak empuk, tak apalah, bukankah seorang terpidana tak membutuhkan tali emas saat digantung mati? Tapi heeei, kamu bukan terpidana Nisa, kamu pejuangnya, kamu pahlawannya, dan ini medan perangmu. Cihuy! Semangatku kembali terpompa. Saya pejuang di sini!

Berbaringlah saya di kasur itu, sambil mengingat Tuhan dan mengingat mati. Saya pun jadi teringat dia yang tersayang, maka, sebelum akhirnya saya ditusuk-sedot-kuras (jadi semacam tagline penyedot WC ya? Hahaa...), saya pun menyempatkan diri menulis pesan singkat kepadanya, begini kira-kira: 

Sayang, aku kan pergi tuk berjuang. 
Jika terjadi apa-apa, 
tolong jaga cinta dan anak-anak kita, 
sekolahkan hingga S2. 
Satu lagi yang kupinta, 
jangan pernah berpikir untuk mencari pengganti, 
atau aku akan datang lagi dalam bentuk setan seksi. 

Haru saat itu, tapi... bohooong, pesan semacam itu tak pernah benar-benar saya kirim, ahahaa, yang benar saja. Yang jelas, di tepian harapan dan pulsa yang tinggal sedikit lagi itu saya memang meminta penguatan diri dan ditemani :).

“Baru pertama kali donor ya?” kata petugas yang akan mengeksekusi. “Iya,” kataku sambil menahan gemetar. Gemetar karena begitu takut? Bukan, dingin, Jenderal, hotel ini memasang pendingin ruangan berkekuatan Putri Kipas kakak ipar Sun Go Kong saya rasa. “Pantesan masih lembut, pembuluh darahnya masih jauh di dalam,“ lanjutnya. Sungguh bang, kalimatmu yang satu ini sama sekali bukan kalimat menenangkan, saya jadi membayangkan adegan si abang menusukkan jarum di lengan kiri saya, lalu dengan riang berkata, ‘ah, nggak kena!’ lalu dicabut lagi, dimasukkan lagi, lalu berpindah ke tangan kanan, dicabut lagi, dimasukkan lagi, begitu terus sampai imsak. Abang-abang itu kemudian melakukan prosedur pengambilan darah; membelit tangan saya dengan tensimeter, lalu menggerak-gerakkan lengan bawah saya turun naik berkali-kali, kalau tangan saya saat itu sedang memegang barbel kecil, mungkin saya akan terlihat seperti Agung Hercules dari kejauhan. Huh hah huh hah. Beberapa saat kemudian, si abang berkata, “tarik nafas yang dalam...,” belum sempat saya menarik nafas dengan benar, lengan saya terasa di... Haduuu, udah ditusuk aja lengan saya. Tapi ternyata tidak sakit sama sekali. Wahai orang-orang yang belum mau didonor darah karena khawatir akan sakit, ditusuk jarum itu sama sekali tidak sakit! Dan satu lagi, rumor yang mengatakan bahwa donor darah itu menggunakan jarum berdiameter setara ballpoint, itu bohong! Yap, memang tidak sakit, tapi... oh, tangan saya kesemutan, mati rasa ringan. Saya memang sadar, bahwa kesemutan ini berarti tangan saya kurang asupan darah, dan juga karena lengan atas saya terbelit kencang. Tapi, namanya juga panik, yang ada di pikiran saya saat itu adalah, bagaimana jika aliran darah ke ujung-ujung jari benar-benar terhenti, sel-selnya mati, lalu akhirnya harus diamputasi seperti penderita hipotermia yang berada di badai salju berhari-hari. Saya pun berkata dengan panik, “A, ini emang harus mati rasa ya tangannya?” Dengan sabar, abang-abang tadi memberi pengertian dan menyarankan agar saya menggerak-gerakkan jari-jari saya. Memang bakat jadi istri penurut, saya pun menuruti perintah abang-abang tadi, dan, ya, tangan saya sudah tak terlalu kesemutan lagi.

Proses pendonoran darah saya berlangsung cukup lama, daripada tenggelam dalam ketegangan mendalam, saya pun mengalihkan perhatian dengan mengabadikan diri, lagipula, melihat wajah saya adalah kesenangan tersendiri bagi saya, hahaa...

tetap manis meski sedang mendonorkan darah

Tiga puluh menit, kira-kira selama itulah proses pendonoran darah saya, terbilang lama, karena sempat macet darahnya (dan sempat membuat saya sangat panik). Setelah selesai mendonor dan diplester, lalu, aha, inilah yang saya tunggu-tunggu, pembagian souvenir, muihihii :3 Inilah yang saya dapatkan setelah mendonor darah di sana:

dua buah goodie bag, Kompas dan J&C

Apa saja isinya? Tentu saja macam-macam, ini isinya:


Yap, itulah isi dari dua buah goodie bag tadi, dan jika dikelompokkan berdasarkan golongan fungsi, isi goodie bag tersebut adalah:

1. bacaan

Yap, golongan pertama adalah bacaan, dalam hal ini berupa tabloid, yang mana fungsinya adalah memberi informasi dan juga dapat dibaca ketika senggang.

2. makanan

Yang kedua adalah golongan makanan, golongan yang paling saya nikmati dan syukuri. Fungsinya? Ya untuk dimakan, diminum, atau jika merupakan pemamah biak, bisa untuk dikunyah-telan-lepeh-kunyah lagi-telan lagi, yiks.

3. voucher XXI

Yang ketiga adalah voucher XXI, golongan yang juga sangat saya syukuri keberadaannya di dalam goodie bag, tentu saja untuk bisa menonton gratis/separuh harga di 21 dan XXI manapun, cihuy!

4. obat-obatan

Yang keempat adalah obat-obatan, lumayan juga, bisa dicoba saat sakit dan kebetulan tak ada obat di rumah. Alhamdulillah.

5. tisu saku

Golongan kelima berupa tisu, tisu saku, bentuknya praktis, aerodinamis, dan bisa dibawa kemana-mana. Fungsinya? Hmm..., aha! Bisa dibakar untuk kemudian menghipnotis siapapun yang duduk di sebelah kita.

6. brosur

Yang keenam adalah golongan brosur, ya, ada berbagai brosur yang dimasukkan di dalam kedua goodie bag yang ada. Dan ini, ini yang paling saya tak mengerti fungsinya apa, karena selama 23 tahun saya hidup berumah tangga, tak pernah sekalipun saya menjadikan brosur sebagai camilan di saat senggang.

Puas mengamati isi goodie bag yang saya terima, saya pun masuk ke ruangan di sebelahnya, ruang di mana hiburan bagi pendonor berlangsung. Yang sedang tampil di panggung adalah Fun-tastic String Ensemble, keren sekali mereka, saat sedang diambil darahnya tadi pun saya bisa mendengar mereka beraksi, memainkan lagu ‘Nobody-Wonder Girls’ yang begitu Pop dengan gaya mereka yang hampir orkestra, wuw! Saya pun jadi tak ragu untuk duduk di ruang itu, menikmati musik yang dimainkan mereka.

Fun-tastic String Ensemble di atas panggung

Di akhir pertunjukan, saya sama sekali tak menyangka, mereka membawakan lagu nasional 'Tanah Air', leader-nya meminta kami semua berdiri dan menyanyi bersama. Menurutmu, kami akan bagaimana? Yap, kami semua serentak berdiri, tua, muda, Sunda, China, semuanya, kami semua menyanyikan lagu yang sama, Tanah Air.


Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu, tanahku yang kucintai, engkau kuhargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang mahsyur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku di sanalah ku rasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan.

Benar-benar terharu saya saat itu, dan percaya atau tidak, saya sempat menitikkan air mata, ya, kami semua yang berdiri di sini, sedang menunjukkan cinta yang nyata, untuk Indonesia. 

Acara diambil alih kembali oleh MC, saatnya games sekarang, dan oh, saya yang sedang duduk-duduk sambil mengamati kembali isi goodie bag, tiba-tiba dipanggil ke depan oleh MC wanita, “teteh kerudung kuning, meuni geulis, ayo ke atas panggung teh.” Dengar itu Indonesia! Dengar, ternyata pesona catikku tak hanya diterima oleh kaum Adam saja, tapi juga kaum Hawa, dan kaum diantara keduanya, cihuy! Saya pun naik ke panggung bersama empat orang lainnya yang juga dijadikan tumbal demi serunya acara sore itu. Coba, coba tebak, apa yang harus saya lakukan di atas panggung itu? Ngesot sodara! Ngesot dari ujung panggung lalu minum susu kotak yang sudah disiapkan diujung panggung yang satunya lagi. Hoh, seketika saya berpikir bahwa orang-orang yang berada di ruangan ini adalah orang paling beruntung se-Bandung Barat Daya, bayangkan saja, mereka bisa melihat secara langsung bagaimana seorang Zooey Deschanel mengesot dengan gemulai, kapan lagi coba?

MC yang sedang menyiapkan susu kotak untuk diminum oleh kami =="

Satelah berhasil menyelesaikan permainan, saya pun mendapatkan ini:

voucher XXI (lagi)

Sebuah voucher XXI lagi, hooray! Aku jadi punya dua voucher, kini aku bisa mengajak serta dia yang tersayang, handai taulan, ataupun tetangga dekat untuk menonton bersama. Atau bisa jadi, jika dua voucher XXI yang saya punya ini digabungkan, maka akan bisa ditukarkan dengan BLT dan raskin, ahiy! *duh, bisa jadi memang beginilah gambaran rakyat saat ini, perpayah-payah mengesot dahulu, baru mendapat bantuan kemudian, jangan sampai...

Setelah itu, acara memasuki puncaknya, yaitu... tamtararamtamtaaam... penarikan pemenang doorprize utama, berupa kulkas Electrolux. Pemenang pun didapatkan.


Dan coba tebak, apa yang terjadi pada seluruh peserta setelah penarikan doorprize ini? Ngabuuur, hahaa, hampir serentak seluruh peserta keluar dari ruangan saat pemenang kulkas naik ke atas panggung, ahahaa, kentara sekali ya, bahwa yang menahan mereka di sana adalah hadiah doorprize utama. Tapi, make sense juga sih, toh acara sudah benar-benar selesai, terus untuk apa lagi peserta tinggal di tempat? Bantu petugas bersih-bersih gelas? Bantu lepasin back drop? Bantu MC cewek bersihin dandanan? 

Bagaimana dengan saya? Saya juga hendak pulang tentu saja, tapi... kepala saya tiba-tiba pusing, pusing berat. Saya harus bagaimana? Ah, saya tetap pulang saja. Kenapa? Coba deh bayangin, saya duduk sebentar aja tiba-tiba disuruh naik ke atas panggung dan ngesot, gimana kalo saya duduk lama-lama di sini? Mungkin akan disuruh naik ke atas panggung dan salto-salto sampai tempat parkir, hih, ogah. 

Pulang aja nih? Iya pulang. Maka berkendaralah saya, terus, lurus, tanpa banyak berpikir, yang malah membuat saya... MARMUT! NGAPAIN SAYA NAIK FLY OVER? Iya, karena begitu minimnya kemampuan berpikir otak saya saat itu, saya salah jalan, saya jadi naik jembatan Pasopati. Ihik, semakin jauh saja jalan saya menuju pulang, dan pusing-pusing mau pingsan ini masih menyerang. Sisa kecerdasan saya mengatakan bahwa saya harus berhenti di suatu tempat makan, beristirahat dan makan di sana, sampai pusing ini berkurang. Maka saya pun turun fly over di Taman Sari, lurus sedikit ke Taman Cikapayang dan belok kiri menuju Dago, yang terpikir oleh saya saat itu adalah food court Imam Bonjol. Huuuh, untung saya selamat sampai tujuan, langsung saya duduk di sana, dan memesan lomie. Lomie seolah menjadi asupan penyelamat bagi saya saat itu, ya, setelah makan lomie, mata saya menjadi cerah kembali, pusing di kepala saya tak terlalu mengganggu lagi. Berikut saya sertakan foto saya, sebelum dan sesudah makan lomie:

foto saya sebelum dan sesudah makan lomie

Setelah merasa cukup dan siap untuk melanjutkan perjalanan, saya pun pulang dan mengendarai lagi si motor hitam kesayangan. Di tengah jalan, ternyata pusing mendera lagi, tapi sampai juga akhirnya saya di rumah, alhamdulillah. Karena merasa sangat lemas, setelah sholat saya pun langsung tidur, tidur lamaaa sekali. Sebelum tidur saya berjanji, akan donor darah lagi di kemudian hari.

P.s.: Setelah donor darah, nafsu makan saya jadi barbar. Yang tadinya saya cukup kenyang dengan porsi sarapan princess, yaitu sepotong gehu dan bala-bala (yeah, there's a thin line between princess and 'kere', hahaa...), namun sampai beberapa hari setelahnya, saya jadi cepat lapar, sarapan pun harus dengan bubur-ayam-plus-hati-ayam-plus-telor-ayam-rebus. Tapi tak apa, bukankan kita harus bangga telah menjadi pejuang? :)

Sampai jumpa di-posting-an berikutnya! :D

18 comments:

  1. ituh ituhhhhhh foto sesudah donor darah dusta tingkat dewa hoho sot d rimu mujurrr uy eta goodie bag na loba pisaannnn

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apanya yang dusta Piiil? Sebelah mana? Sebelah mana dustanya? :P
      Ahahaa, emang banyak banget Pil isi goodie bag-nya, yang paling cihuy itu voucher XXI-nya, dapet 2 lagi, hehee.. Tapi kamu belum diceritain kisah mistis tentang salah satu isi goodie bag-nya ya, ahahaa..

      Delete
  2. aduuuuuuuuuh aq jg jd pgn ikutn ih kpn2. nisooot lucu bgt tulisannya. aq sampe ktwa2 bcanya.
    -icha wening-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo Cha, ikutaaan! 3 Bulan lagi Nisa mau donor lagi :D
      Ahahaa, makasi Cha, aku jadi tersanjung :3
      Makasi udah mau mampir dan baca :D

      Delete
  3. Dafuq... Sapa yg bilang segede bolpen heh! Segede ujung bolpen aku bilang :)))

    Sebenarnya donor darah pertama terasa kurang lengkap tanpa bukti dokumentasi detik-detik penusukan jarum menembus kulit. Trims.

    NB: Sot kalo ada yg dari Kompas lagi ajak-ajak dong.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Elu Sot, Eluuu! Sampe aku keringet dingin waktu mau donor di UPI, hoh!
      Mblaaa, gimana aku mau foto detik-detik penusukan jarum, akunya gemeter, kecuali kalo ada yang motoin, aku sendiri soalnya..
      Emang kamu waktu donor darah pertama ada fotonya Sot? Muahahaa! Mau liat!

      Sip Sot, kemarin itu Nisa juga sebenernya udah nggak bisa ikut karena kepenuhan, nggak taunya temen Tiara (Performa angkatan SL) nggak bisa dateng, Nisa gantiin deh, hehee.. :D

      Delete
  4. hahaha...ngakak baca nih tulisan.. :p
    khas teh nisa banget laah..

    btw, isi goodie bag-nya bolehlah bagi2.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaa, makasi udah mampir dan komen Chie :D
      Muahahaa :P

      Eits, isi goodie bag mah sakral, nggak bisa dibagi-bagi gitu aja :P

      Delete
  5. hahaha, berujung dusta kamu mah sot, itu kalo yang sebelumnya saya percaya, kalo yang sesudahnya fitnah dan sangat dusta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dusta apanya sih Aji.. Kamu mah suka nggak percayaan ah sama temen sendiri.. :P

      Delete
  6. Baca tulisan ini bikin saya ketawa ketiwi sendiri malem2...
    Jadi kangen nisa..>_<)
    Hidup itu penuh petualangan, apapun bisa jadi berkesan...
    Semangat terus saii menghadapi petualangan2 hidup selanjutnya..
    Ditunggu postingan berikutnya..
    ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihii, kangen jugaaa ><
      Iya, iya, bener Ra..
      Iya, aamiin, Rara jugaaa :D

      Delete
  7. Super sekali pengalaman hidupnya, perasaan campur aduk dari watir sampai mules ketika saya membacanya. Oh ya dan satu lagi, saya ga pernah tau kalau Lomie bisa bikin efek jadi mirip eteh Zeoy =..=

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huahahaa :))) Watir, mules, dan terkesima juga ga Nyun?
      Oh, efek Zooey pada Lomie itu hanya berlaku pada tubuh aku emang Nyun :)))

      Delete
  8. Sesuatu yang mendonor harus ada yang didonor. Kalo teh nisot mendonor trus sapa yang didonor dong.... Hhahahahaa,
    Aseeeekk euy tulisanya, jadi pengen donor.hehe,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang didonor orang-orang yang membutuhkan darah-darah beraniku dong Dil, huahahaa..
      Besok ada donor darah lagi Dil di hotel Hilton, yuk yuk yuk..

      Delete
  9. ini keponakan mamang yg satu ini memang sangat juara deh ceritanya!!

    superb!!

    selalu out of the box!! extraordinary!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asik asik asik, dikasih superb sama mamang :3
      Makasih maaaaang :D

      Delete

Wednesday, March 14, 2012

Sehari Menjadi Pejuang Negeri

Sabtu, 10 Maret 2012 merupakan Yaumul Mizan bagi saya, hari dimana saya akan ditimbang. Ditimbang amal? Memangnya sudah siap? Oh bukan, bukan dengan timbangan amal, tapi dengan timbangan PMI Unit Kota Bandung untuk kemudian menjalani serangkaian pemeriksaan darah dan akhirnya diputuskan boleh mendonor darah atau tidak. Menegangkan kah? Ya, bagi saya ini sama menegangkannya seperti ketika akan menjalani operasi caesar demi melahirkan anak. Memang sudah pernah operasi caesar? Belum sih, tapi sama, sama-sama ‘akan’ menegangkan, dan sama-sama belum pernah saya lakukan, hahaa. YAP! Jika lolos segala pemeriksaan, maka hari ini adalah kali pertama saya menjalani donor darah. Mengapa menganggap bahwa donor darah akan menegangkan? Karena sebelum ini saya pernah juga menjadi ‘calon’ pendonor darah, dan entah mengapa saya begitu tegang saat itu, antara takut melihat darah, atau jangan-jangan memang berhati ciut (tak apalah berhati ciut, yang penting wajahnya imut :3). Walaupun akhirnya tidak jadi mendonorkan darah karena tekanan darah tidak mencapai standard (tak apalah tekanan darah rendah, yang penting tinggi badan diatas rata-rata :3), saya jadi menyadari satu hal, bahwa saya memang takut melihat darah yang keluar dari anggota tubuh. Membayangkannya saja membuat ngilu, mungkin sama seperti orang-orang yang tidak tahan mendengar suara alumunium yang bergesekan, begitu juga saya ketika melihat darah yang keluar dari anggota tubuh, ngilu, geli-geli mematikan, hiii. Lalu, mengapa hari ini ingin mencoba donor darah lagi? Mm, entahlah, ada dorongan yang besar untuk melakukan donor darah, semacam mengambil kesempatan untuk menjadi pahlawan bangsa dengan cara yang mudah, tanpa perlu meruncingkan bambu dan menusuk-nusukkannya kepada penjajah, tanpa perlu menjahit pakaian dalam merah membara dan mengenakannya di luar celana biru ketat, tanpa perlu menumbuhkan kumis-jambang lalu terbang-terbang dengan selendang, ya, mudah, dan hmmm, berhadiah! Slllrrrp! Menurut saya—selagi mampu dan berkesempatan—justru yang tidak mau menjadi pahlawan dengan mudah dan berhadiah itu yang aneh. Iya kan?

Langsung saja, saya yang cantik jelita ini benar-benar sudah siap menjadi Gatot Kaca wanita hari ini (tanpa kumis, jambang, dan rambut keriting di betis tentu saja). Dengan gerakan pasti dan dandanan trendy, saya starter motor hitam saya untuk dikendarai menuju Aston Primera Pasteur Hotel, tempat berlangsungnya acara donor darah (oke, ternyata tanpa terbang dengan selendang juga). Karena hanya sarapan dengan teh manis dan beberapa camilan, juga tak sempat makan siang, maka saya membawa bekal berupa onde-onde isi kacang hijau untuk dimakan sambil menyetir motor. Dan ketahuilah, menyetir motor sambil makan onde-onde kacang hijau besar bukanlah perkara mudah, hanya pengendara motor mahir sekelas saya saja yang boleh melakukannya, kamu yang membaca? Ah, sebaiknya jangan.... Sambil sibuk mengunyah dan menjaga keseimbangan motor, saya menyadari satu hal, bahwa jarum yang menunjukkan isi bahan bakar sudah berada di garis merah. Khawatir bahan bakar tidak cukup sampai tujuan sambil membayangkan saya yang seksi mendorong-dorong motor ke Pasteur dengan bersimbah keringat yang mana hanya akan membuat orang-orang semakin terpikat membuat saya membelokkan motor ke SPBU terdekat. Masuklah saya ke jalur pengantri Pertamax, yang lalu disambut hangat dengan peringatan seorang petugas yang lantang berkata, “Premium antrinya sebelah sini!” Sambutan yang saaangat hangat, kelewat hangat sampai-sampai diterima otak saya sebagai perilaku sinis dan melecehkan. Huh, saya mau beli Pertamax Mas, gini-gini saya termasuk yang mendukung program pemerintah untuk tidak menerima subsidi jika mampu, yang sebenarnya adalah doa supaya saya tak pernah ada dalam golongan tidak mampu. Yang mana juga merupakan pengejawantahan ego yang dipopulerkan Sule OVJ: biar miskin yang penting sombong. Yap, sebenarnya setiap saya ke SPBU ini dan petugasnya mendapati saya yang terlihat kere ini antri di jalur Pertamax, mereka selalu bertanya, “Pertamax?” tapi selalu dengan lembut dan senyum, dan sepertinya memang seperti itulah prosedurnya. Tapi kali ini? Hiiih.... Maka saya pun dengan tegas menjawab, “Pertamax,” yang disambut dengan “Oh,” oleh petugas tadi. Demi menjunjung tinggi prinsip ‘biar miskin yang penting sombong,’ saya yang biasanya hanya membeli Pertamax seharga sepuluh ribu jadi tak segan-segan mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu bergambar pahlawan nasional Otto Iskandar Dinata yang punya tahi lalat di alis kiri (perhatian ya saya? Hehee, kalo nggak percaya cek aja sendiri). Bahan bakar sudah terisi, Otto Iskandar Dinata sudah berpindah tangan, mari berangkaaat. Ah tunggu, sebelum berangkat, mari periksa dandanan, apakah kerudung masih rapi? Apakah wajah masih.... Oh tidak, siapakah gerangan wanita yang terlihat di kaca spion ini? Kumuh sekali, sekitar mulutnya... sekitar mulutnya... celemongan oleh isi onde-onde yang dimakan saat menyetir tadi, ngaaaaa, pantes aja mas-mas SPBU ini tidak menyangka bahwa saya hendak membeli bahan bakar yang sedikit lebih mahal. Diam-diam saya meminta maaf pada mas-mas SPBU itu dalam hati, “maaf ya mas, saya sempat kesal sekali padamu. Dimaafin kan mas? Iya kan? Nah, kembaliin dong uang pak Otto saya....” Eaaaaa.... (Oh iya, tulisan ini saya buat tidak dengan maksud membeda-bedakan penampilan pembeli Pertamax dan bukan pembeli Pertamax ya, maaf jika ternyata ada yang tersinggung :) )

Sampai! Sampai mana? Sampai Aston Primera Pasteur Hotel tentu saja. Wuih, jantung saya berdetak semakin kencang, tegang jenderal! Saya balik lagi aja ya, Jen! Kayaknya saya nggak kuat deh Jen! Saya kan baru makan sedikit! Duh Jen, nanti kalo saya lemes gimana Jen? Tapi Pak Jejen di dalam hati kecil saya menjawab, “jangan Nisa, kamu sudah setengah jalan menjadi pejuang, mari teruskan.” Begitulah, pergolakan antara si pengecut dan Pak Jejen dalam hati saya dimenangkan oleh Pak Jejen, mungkin Jejen Jumawa kepanjangannya, atau juga Jejen Jeniper Jaelaini, ah tak penting lah. Jangan coba-coba mengulur waktu lagi dengan memikirkan nama panjang pak Jejen Nisa, ayo masuki ballroom hotel, segera. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk, bunyi langkah kaki saya, apakah saya mengenakan sepatu kuda? Oh tidak, hari ini saya mengenakan wedges tali warna coklat nan seksi, supaya keliatan pantes aja sih buat masuk hotel, hahaa, tibalah saya di meja daftar ulang. Selesai mengkonfirmasi kedatangan, saya diberikan ini:


Apa sajakah yang diberikan? Sebuah kertas dari PMI untuk diisi, yang berhubungan dengan riwayat calon pendonor, sebuah angket dari Kompas—selaku penggagas acara—yang kemudian bisa ditukar dengan sticker imut warna biru yang bertuliskan, 'Kompas,' ya iyalah, apalagi coba, masa iya sticker bertuliskan, ‘Hari gini masih oper gigi?’ Lalu ada voucher berlangganan Kompas sebesar lima puluh ribu rupiah, dan terakhir, koran. Mengapa koran? Karena koran bisa dibaca-baca saat bosan menunggu antrian donor, dan bagi saya, bisa untuk dikunyah-kunyah saat tak kuat menahan tegang. Masuklah saya ke tempat donor, sudah lumayan sepi rupanya, saya memang datang di siang hari saat itu, langsung saja antri untuk diperiksa. Timbangan, tentu saja lolos. Akhir-akhir ini saya bulat, bergelambir, dan dapat menggelinding di jalanan beraspal. Lalu tes golongan darah dan Hb, untuk itu, ujung jari saya ditusuk manja, cus, lalu darah yang keluar diambil dengan pipa kecil. “Golongan darahnya B,” itu kata petugasnya, yang lalu saya jawab manis, “iya,” yang mana sebenarnya saya jawab dalam hati dengan, “tadi juga kan udah saya bilang golongan darah saya B, nggak percaya, huh.” Setelah itu, sisa darah dalam pipa beliau kepret-kan ke dalam gelas ukur berisi larutan warna biru. “Hb-nya bagus, silakan diperiksa tekanan darah, “entah mengapa, hati saya mencelos saat pertama mencerna kalimat tadi, itu artinya saya mungkin bisa mendonor darah, itu artinya lengan saya akan ditusuk dan dikeluarkan darahnya. Sebelum otak saya mulai memainkan adegan keji seorang wanita yang ditusuk-tusuk bambu lalu memuncrat-muncratkan darah, saya langsung berjalan saja ke meja yang satunya lagi, meja pemeriksaan tekanan darah. Setelah memeriksakan darah saya, ibu pemeriksa tensi darah ini tak berkata apa-apa kecuali menuliskan data-data saya ke dalam kartu donor berwarna biru (untuk golongan darah B berwarna biru), diberi tanggal pada baris pertama, dan, tok, diberi stempel. Begini bentuk kartu itu:

kartu donor

OMG! Artinya saya lolos pemeriksaan tekanan darah juga. Dug dug dug, seketika jantung saya berkejaran, apakah berkejaran di taman berumput dengan seorang pemuda yang pandai bernyanyi dan menari? Bukan, aduuuh, ini sungguh menegangkan, Jen! Lapor Jen, saya tegaaang! Jen? Pak Jejen? Kemana kamu saat dibutuhkan? Pak Jejen yang bijak dalam hati saya saja sudah tak mampu berkata-kata, namun sayang, pintu keluar ruangan donor hanya satu dan dijaga oleh petugas, huwoooh. Tak ada pilihan lain, dengan ucapan bismillah, saya berbaring di kasur PMI, tidak empuk, tak apalah, bukankah seorang terpidana tak membutuhkan tali emas saat digantung mati? Tapi heeei, kamu bukan terpidana Nisa, kamu pejuangnya, kamu pahlawannya, dan ini medan perangmu. Cihuy! Semangatku kembali terpompa. Saya pejuang di sini!

Berbaringlah saya di kasur itu, sambil mengingat Tuhan dan mengingat mati. Saya pun jadi teringat dia yang tersayang, maka, sebelum akhirnya saya ditusuk-sedot-kuras (jadi semacam tagline penyedot WC ya? Hahaa...), saya pun menyempatkan diri menulis pesan singkat kepadanya, begini kira-kira: 

Sayang, aku kan pergi tuk berjuang. 
Jika terjadi apa-apa, 
tolong jaga cinta dan anak-anak kita, 
sekolahkan hingga S2. 
Satu lagi yang kupinta, 
jangan pernah berpikir untuk mencari pengganti, 
atau aku akan datang lagi dalam bentuk setan seksi. 

Haru saat itu, tapi... bohooong, pesan semacam itu tak pernah benar-benar saya kirim, ahahaa, yang benar saja. Yang jelas, di tepian harapan dan pulsa yang tinggal sedikit lagi itu saya memang meminta penguatan diri dan ditemani :).

“Baru pertama kali donor ya?” kata petugas yang akan mengeksekusi. “Iya,” kataku sambil menahan gemetar. Gemetar karena begitu takut? Bukan, dingin, Jenderal, hotel ini memasang pendingin ruangan berkekuatan Putri Kipas kakak ipar Sun Go Kong saya rasa. “Pantesan masih lembut, pembuluh darahnya masih jauh di dalam,“ lanjutnya. Sungguh bang, kalimatmu yang satu ini sama sekali bukan kalimat menenangkan, saya jadi membayangkan adegan si abang menusukkan jarum di lengan kiri saya, lalu dengan riang berkata, ‘ah, nggak kena!’ lalu dicabut lagi, dimasukkan lagi, lalu berpindah ke tangan kanan, dicabut lagi, dimasukkan lagi, begitu terus sampai imsak. Abang-abang itu kemudian melakukan prosedur pengambilan darah; membelit tangan saya dengan tensimeter, lalu menggerak-gerakkan lengan bawah saya turun naik berkali-kali, kalau tangan saya saat itu sedang memegang barbel kecil, mungkin saya akan terlihat seperti Agung Hercules dari kejauhan. Huh hah huh hah. Beberapa saat kemudian, si abang berkata, “tarik nafas yang dalam...,” belum sempat saya menarik nafas dengan benar, lengan saya terasa di... Haduuu, udah ditusuk aja lengan saya. Tapi ternyata tidak sakit sama sekali. Wahai orang-orang yang belum mau didonor darah karena khawatir akan sakit, ditusuk jarum itu sama sekali tidak sakit! Dan satu lagi, rumor yang mengatakan bahwa donor darah itu menggunakan jarum berdiameter setara ballpoint, itu bohong! Yap, memang tidak sakit, tapi... oh, tangan saya kesemutan, mati rasa ringan. Saya memang sadar, bahwa kesemutan ini berarti tangan saya kurang asupan darah, dan juga karena lengan atas saya terbelit kencang. Tapi, namanya juga panik, yang ada di pikiran saya saat itu adalah, bagaimana jika aliran darah ke ujung-ujung jari benar-benar terhenti, sel-selnya mati, lalu akhirnya harus diamputasi seperti penderita hipotermia yang berada di badai salju berhari-hari. Saya pun berkata dengan panik, “A, ini emang harus mati rasa ya tangannya?” Dengan sabar, abang-abang tadi memberi pengertian dan menyarankan agar saya menggerak-gerakkan jari-jari saya. Memang bakat jadi istri penurut, saya pun menuruti perintah abang-abang tadi, dan, ya, tangan saya sudah tak terlalu kesemutan lagi.

Proses pendonoran darah saya berlangsung cukup lama, daripada tenggelam dalam ketegangan mendalam, saya pun mengalihkan perhatian dengan mengabadikan diri, lagipula, melihat wajah saya adalah kesenangan tersendiri bagi saya, hahaa...

tetap manis meski sedang mendonorkan darah

Tiga puluh menit, kira-kira selama itulah proses pendonoran darah saya, terbilang lama, karena sempat macet darahnya (dan sempat membuat saya sangat panik). Setelah selesai mendonor dan diplester, lalu, aha, inilah yang saya tunggu-tunggu, pembagian souvenir, muihihii :3 Inilah yang saya dapatkan setelah mendonor darah di sana:

dua buah goodie bag, Kompas dan J&C

Apa saja isinya? Tentu saja macam-macam, ini isinya:


Yap, itulah isi dari dua buah goodie bag tadi, dan jika dikelompokkan berdasarkan golongan fungsi, isi goodie bag tersebut adalah:

1. bacaan

Yap, golongan pertama adalah bacaan, dalam hal ini berupa tabloid, yang mana fungsinya adalah memberi informasi dan juga dapat dibaca ketika senggang.

2. makanan

Yang kedua adalah golongan makanan, golongan yang paling saya nikmati dan syukuri. Fungsinya? Ya untuk dimakan, diminum, atau jika merupakan pemamah biak, bisa untuk dikunyah-telan-lepeh-kunyah lagi-telan lagi, yiks.

3. voucher XXI

Yang ketiga adalah voucher XXI, golongan yang juga sangat saya syukuri keberadaannya di dalam goodie bag, tentu saja untuk bisa menonton gratis/separuh harga di 21 dan XXI manapun, cihuy!

4. obat-obatan

Yang keempat adalah obat-obatan, lumayan juga, bisa dicoba saat sakit dan kebetulan tak ada obat di rumah. Alhamdulillah.

5. tisu saku

Golongan kelima berupa tisu, tisu saku, bentuknya praktis, aerodinamis, dan bisa dibawa kemana-mana. Fungsinya? Hmm..., aha! Bisa dibakar untuk kemudian menghipnotis siapapun yang duduk di sebelah kita.

6. brosur

Yang keenam adalah golongan brosur, ya, ada berbagai brosur yang dimasukkan di dalam kedua goodie bag yang ada. Dan ini, ini yang paling saya tak mengerti fungsinya apa, karena selama 23 tahun saya hidup berumah tangga, tak pernah sekalipun saya menjadikan brosur sebagai camilan di saat senggang.

Puas mengamati isi goodie bag yang saya terima, saya pun masuk ke ruangan di sebelahnya, ruang di mana hiburan bagi pendonor berlangsung. Yang sedang tampil di panggung adalah Fun-tastic String Ensemble, keren sekali mereka, saat sedang diambil darahnya tadi pun saya bisa mendengar mereka beraksi, memainkan lagu ‘Nobody-Wonder Girls’ yang begitu Pop dengan gaya mereka yang hampir orkestra, wuw! Saya pun jadi tak ragu untuk duduk di ruang itu, menikmati musik yang dimainkan mereka.

Fun-tastic String Ensemble di atas panggung

Di akhir pertunjukan, saya sama sekali tak menyangka, mereka membawakan lagu nasional 'Tanah Air', leader-nya meminta kami semua berdiri dan menyanyi bersama. Menurutmu, kami akan bagaimana? Yap, kami semua serentak berdiri, tua, muda, Sunda, China, semuanya, kami semua menyanyikan lagu yang sama, Tanah Air.


Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu, tanahku yang kucintai, engkau kuhargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang mahsyur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku di sanalah ku rasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan.

Benar-benar terharu saya saat itu, dan percaya atau tidak, saya sempat menitikkan air mata, ya, kami semua yang berdiri di sini, sedang menunjukkan cinta yang nyata, untuk Indonesia. 

Acara diambil alih kembali oleh MC, saatnya games sekarang, dan oh, saya yang sedang duduk-duduk sambil mengamati kembali isi goodie bag, tiba-tiba dipanggil ke depan oleh MC wanita, “teteh kerudung kuning, meuni geulis, ayo ke atas panggung teh.” Dengar itu Indonesia! Dengar, ternyata pesona catikku tak hanya diterima oleh kaum Adam saja, tapi juga kaum Hawa, dan kaum diantara keduanya, cihuy! Saya pun naik ke panggung bersama empat orang lainnya yang juga dijadikan tumbal demi serunya acara sore itu. Coba, coba tebak, apa yang harus saya lakukan di atas panggung itu? Ngesot sodara! Ngesot dari ujung panggung lalu minum susu kotak yang sudah disiapkan diujung panggung yang satunya lagi. Hoh, seketika saya berpikir bahwa orang-orang yang berada di ruangan ini adalah orang paling beruntung se-Bandung Barat Daya, bayangkan saja, mereka bisa melihat secara langsung bagaimana seorang Zooey Deschanel mengesot dengan gemulai, kapan lagi coba?

MC yang sedang menyiapkan susu kotak untuk diminum oleh kami =="

Satelah berhasil menyelesaikan permainan, saya pun mendapatkan ini:

voucher XXI (lagi)

Sebuah voucher XXI lagi, hooray! Aku jadi punya dua voucher, kini aku bisa mengajak serta dia yang tersayang, handai taulan, ataupun tetangga dekat untuk menonton bersama. Atau bisa jadi, jika dua voucher XXI yang saya punya ini digabungkan, maka akan bisa ditukarkan dengan BLT dan raskin, ahiy! *duh, bisa jadi memang beginilah gambaran rakyat saat ini, perpayah-payah mengesot dahulu, baru mendapat bantuan kemudian, jangan sampai...

Setelah itu, acara memasuki puncaknya, yaitu... tamtararamtamtaaam... penarikan pemenang doorprize utama, berupa kulkas Electrolux. Pemenang pun didapatkan.


Dan coba tebak, apa yang terjadi pada seluruh peserta setelah penarikan doorprize ini? Ngabuuur, hahaa, hampir serentak seluruh peserta keluar dari ruangan saat pemenang kulkas naik ke atas panggung, ahahaa, kentara sekali ya, bahwa yang menahan mereka di sana adalah hadiah doorprize utama. Tapi, make sense juga sih, toh acara sudah benar-benar selesai, terus untuk apa lagi peserta tinggal di tempat? Bantu petugas bersih-bersih gelas? Bantu lepasin back drop? Bantu MC cewek bersihin dandanan? 

Bagaimana dengan saya? Saya juga hendak pulang tentu saja, tapi... kepala saya tiba-tiba pusing, pusing berat. Saya harus bagaimana? Ah, saya tetap pulang saja. Kenapa? Coba deh bayangin, saya duduk sebentar aja tiba-tiba disuruh naik ke atas panggung dan ngesot, gimana kalo saya duduk lama-lama di sini? Mungkin akan disuruh naik ke atas panggung dan salto-salto sampai tempat parkir, hih, ogah. 

Pulang aja nih? Iya pulang. Maka berkendaralah saya, terus, lurus, tanpa banyak berpikir, yang malah membuat saya... MARMUT! NGAPAIN SAYA NAIK FLY OVER? Iya, karena begitu minimnya kemampuan berpikir otak saya saat itu, saya salah jalan, saya jadi naik jembatan Pasopati. Ihik, semakin jauh saja jalan saya menuju pulang, dan pusing-pusing mau pingsan ini masih menyerang. Sisa kecerdasan saya mengatakan bahwa saya harus berhenti di suatu tempat makan, beristirahat dan makan di sana, sampai pusing ini berkurang. Maka saya pun turun fly over di Taman Sari, lurus sedikit ke Taman Cikapayang dan belok kiri menuju Dago, yang terpikir oleh saya saat itu adalah food court Imam Bonjol. Huuuh, untung saya selamat sampai tujuan, langsung saya duduk di sana, dan memesan lomie. Lomie seolah menjadi asupan penyelamat bagi saya saat itu, ya, setelah makan lomie, mata saya menjadi cerah kembali, pusing di kepala saya tak terlalu mengganggu lagi. Berikut saya sertakan foto saya, sebelum dan sesudah makan lomie:

foto saya sebelum dan sesudah makan lomie

Setelah merasa cukup dan siap untuk melanjutkan perjalanan, saya pun pulang dan mengendarai lagi si motor hitam kesayangan. Di tengah jalan, ternyata pusing mendera lagi, tapi sampai juga akhirnya saya di rumah, alhamdulillah. Karena merasa sangat lemas, setelah sholat saya pun langsung tidur, tidur lamaaa sekali. Sebelum tidur saya berjanji, akan donor darah lagi di kemudian hari.

P.s.: Setelah donor darah, nafsu makan saya jadi barbar. Yang tadinya saya cukup kenyang dengan porsi sarapan princess, yaitu sepotong gehu dan bala-bala (yeah, there's a thin line between princess and 'kere', hahaa...), namun sampai beberapa hari setelahnya, saya jadi cepat lapar, sarapan pun harus dengan bubur-ayam-plus-hati-ayam-plus-telor-ayam-rebus. Tapi tak apa, bukankan kita harus bangga telah menjadi pejuang? :)

Sampai jumpa di-posting-an berikutnya! :D

18 comments:

  1. ituh ituhhhhhh foto sesudah donor darah dusta tingkat dewa hoho sot d rimu mujurrr uy eta goodie bag na loba pisaannnn

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apanya yang dusta Piiil? Sebelah mana? Sebelah mana dustanya? :P
      Ahahaa, emang banyak banget Pil isi goodie bag-nya, yang paling cihuy itu voucher XXI-nya, dapet 2 lagi, hehee.. Tapi kamu belum diceritain kisah mistis tentang salah satu isi goodie bag-nya ya, ahahaa..

      Delete
  2. aduuuuuuuuuh aq jg jd pgn ikutn ih kpn2. nisooot lucu bgt tulisannya. aq sampe ktwa2 bcanya.
    -icha wening-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo Cha, ikutaaan! 3 Bulan lagi Nisa mau donor lagi :D
      Ahahaa, makasi Cha, aku jadi tersanjung :3
      Makasi udah mau mampir dan baca :D

      Delete
  3. Dafuq... Sapa yg bilang segede bolpen heh! Segede ujung bolpen aku bilang :)))

    Sebenarnya donor darah pertama terasa kurang lengkap tanpa bukti dokumentasi detik-detik penusukan jarum menembus kulit. Trims.

    NB: Sot kalo ada yg dari Kompas lagi ajak-ajak dong.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Elu Sot, Eluuu! Sampe aku keringet dingin waktu mau donor di UPI, hoh!
      Mblaaa, gimana aku mau foto detik-detik penusukan jarum, akunya gemeter, kecuali kalo ada yang motoin, aku sendiri soalnya..
      Emang kamu waktu donor darah pertama ada fotonya Sot? Muahahaa! Mau liat!

      Sip Sot, kemarin itu Nisa juga sebenernya udah nggak bisa ikut karena kepenuhan, nggak taunya temen Tiara (Performa angkatan SL) nggak bisa dateng, Nisa gantiin deh, hehee.. :D

      Delete
  4. hahaha...ngakak baca nih tulisan.. :p
    khas teh nisa banget laah..

    btw, isi goodie bag-nya bolehlah bagi2.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaa, makasi udah mampir dan komen Chie :D
      Muahahaa :P

      Eits, isi goodie bag mah sakral, nggak bisa dibagi-bagi gitu aja :P

      Delete
  5. hahaha, berujung dusta kamu mah sot, itu kalo yang sebelumnya saya percaya, kalo yang sesudahnya fitnah dan sangat dusta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dusta apanya sih Aji.. Kamu mah suka nggak percayaan ah sama temen sendiri.. :P

      Delete
  6. Baca tulisan ini bikin saya ketawa ketiwi sendiri malem2...
    Jadi kangen nisa..>_<)
    Hidup itu penuh petualangan, apapun bisa jadi berkesan...
    Semangat terus saii menghadapi petualangan2 hidup selanjutnya..
    Ditunggu postingan berikutnya..
    ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihii, kangen jugaaa ><
      Iya, iya, bener Ra..
      Iya, aamiin, Rara jugaaa :D

      Delete
  7. Super sekali pengalaman hidupnya, perasaan campur aduk dari watir sampai mules ketika saya membacanya. Oh ya dan satu lagi, saya ga pernah tau kalau Lomie bisa bikin efek jadi mirip eteh Zeoy =..=

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huahahaa :))) Watir, mules, dan terkesima juga ga Nyun?
      Oh, efek Zooey pada Lomie itu hanya berlaku pada tubuh aku emang Nyun :)))

      Delete
  8. Sesuatu yang mendonor harus ada yang didonor. Kalo teh nisot mendonor trus sapa yang didonor dong.... Hhahahahaa,
    Aseeeekk euy tulisanya, jadi pengen donor.hehe,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang didonor orang-orang yang membutuhkan darah-darah beraniku dong Dil, huahahaa..
      Besok ada donor darah lagi Dil di hotel Hilton, yuk yuk yuk..

      Delete
  9. ini keponakan mamang yg satu ini memang sangat juara deh ceritanya!!

    superb!!

    selalu out of the box!! extraordinary!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asik asik asik, dikasih superb sama mamang :3
      Makasih maaaaang :D

      Delete