The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Monday, September 20, 2010

Ah MASAK, Ah Iya, Gengsi Dong!

17 September 2010
Ah MASAK, Ah Iya, Gengsi Dong!
Kamu yang seumuran saya pasti tau dong kalimat di atas penggalan dari lagu apa? Hahahaa, ya, itu penggalan lagu pengiring permainan anak-anak. Aneh memang (dan memang semua lagu pengiring permainan anak di Indonesia berlirik aneh sepertinya =_=”), tapi untuk tulisan saya yang satu ini, mungkin akan cukup mewakili. Mengapa? Karena saya akan membahas tentang suatu pekerjaan bernama: MASAK. Oh, cukup, cukup, tak usah ada efek petir ketika saya menyebutkan kata MASAK. Jadi, kalau boleh dihubung-hubungkan dengan judul tulisannya, saya akan berkata begini, “ah, masak? Ah iya! Gengsi dong kalo nggak bisa masak.” Ya, ya, oke, memang judul tulisan yang sedikit maksa ternyata, tapi tak apalah, langsung saja kita bahas mengenai masak itu sendiri.
Masak. Kamu bisa masak? Masakan apa saja yang bisa kamu buat? Apa masakanmu yang paling kamu banggakan? Sejak kapan bisa masak? Sejak kapan ingin bisa masak?
Wuw. Kalau saya yang ditanya dengan sejumlah pertanyaan di atas maka akan saya jawab:
Bisa masak?
  • Bisa dong. Oke, bisa sedikit. Ya, ya, ya, saya jujur, kemampuan memasak saya saat ini hanya lebih sedikit saja dari angka nol.
Masakan yang bisa dibuat?
  • Banyak, mie instan—kuah dan goreng, sarden instan, marsh potato instan, spaghetti instan (yang tentunya sudah dilengkapi saus), kentang goreng, telur dadar, telur mata sapi, tempe goreng, tahu goreng, tempe kecap, sosis kecap, dan tumis kangkung. Oh lihat, cukup banyak bukan? Dan cukup bodoh untuk perempuan seusia saya.
Masakan yang dibanggakan?
  • Tumis kangkung.
Sejak kapan bisa masak?
  • Kalau membuat mie instan benar-benar bisa dikatakan kegiatan memasak, maka dengan bangga akan saya jawab: SEJAK SD! YEAH!
Sejak kapan ingin bisa masak?
  • Sejak saya berpikir bahwa suatu saat nanti saya akan menikah.
Saya yakin bahwa hanya akan ada 1 dari 100 atau mungkin 1 dari 10.000 perempuan di dunia ini yang tidak menginginkan bahwa satu kali dalam seumur hidupnya dia didandani habis-habisan, duduk di sebelah pria yang paling dia cintai, dan dengan tegang mendengarkan sang pria membacakan ijab-qabul baginya. Ya, semua perempuan di dunia, dengan budaya macam apapun dia dibesarkan pastilah menginginkan dirinya suatu saat mengalami apa yang disebut dengan menikah. Dan sudah menjadi fitrah pula bahwa perempuan menginginkan pria yang benar-benar dia sayangi yang menjadi pendamping hidupnya. Begitu juga saya, saya ingin menikah, menikah dengan pria yang benar-benar saya sayangi, dan kepada orang itu lah nantinya saya akan memberikan yang terbaik. Terbaik dari mana kalau masakan yang bisa saya banggakan hanya tumis kangkung? Terbaik dari mana kalau nantinya, yang bisa saya sajikan setiap hari hanya makanan-makanan instan? Ah, bisa-bisa nanti orang yang saya klaim paling saya sayangi itu malah terkena berbagai penyakit akibat terlalu sering saya beri makanan serba instan. Ironis.

Jadi, basa-basi diatas itulah alasan mengapa saya ingin bisa memasak, masak yang sebenar-benarnya masak. Seperti yang ibu saya, dan ibu-ibu lainnya lakukan di rumah. Terlebih lagi, saya ingin menjadi pantas, ya, sejauh ini belum ada yang bisa saya banggakan dari diri saya, yang bisa menjadi alasan untuk kamu memilih saya. Menyedihkan? Tidak juga, tidak karena saat ini saya punya keinginan untuk bisa. Butuh waktu yang lama memang, tapi lihat saja, mungkin dua, tiga, atau empat tahun lagi saya akan memilikinya. Satu kemampuan yang membuat kamu akhirnya mempertimbangkan saya. Yah, semoga saja, semoga suatu saat nanti saya bisa berada di dapur rumah yang kau huni, memasak makanan kesukaanmu, mendengar kamu memuji masakanku. Bukan, bukan sebagai pembantu, ah, enak saja.
Nah, untuk tekad dan niat baik yang saya camkan dalam hati ini, marilah sama-sama kita ucapkan lagi, “ah, masak? Ah, iya! Gengsi dong kalo nggak bisa masak!” Oke, oke, memang sangat norak, hahaa, lagian mau-maunya ngikutin saya. Hahaa, salam.

Thursday, September 16, 2010

Which One Should I Believe?

Saat ini, ada dua opsi jawaban yang sedang bermain-main dalam kepala saya, keduanya saling bertolak belakang dan menimbulkan dua emosi berbeda yg sulit diidentifikasi.

Opsi pertama, spesial, satu. Di mata saya dia akan terlihat baik dan sempurna seperti sebelumnya, masalahnya, saya sendiri merasa tidak cukup pantas diperlakukan seperti itu.

Opsi kedua, tidak spesial, satu diantara banyak. Saya memang pantas diperlakukan seperti itu, karena saya sendiri memang jauh dari istimewa, masalahnya, dia akan terlihat sedikit buruk di mata saya, tak sebaik dan sesempurna sebelumnya.

Jadi apa yang harus kupercaya? Jawaban menyenangkan yang menyelimutiku dengan rasa nyaman tapi sewaktu-waktu bisa membangunkanku dengan rasa sakit yang luar biasa? Atau jawaban menyedihkan yang menyeret-nyeretku dalam kepedihan berintensitas sama, yang bisa saja membuatku kuat pada akhirnya (atau justru rapuh dan tak mampu bertahan)?

Kamu tahu jawabannya?

Suatu Subuh di Bulan Ramadhan

4 September 2010

Entah sejak kapan saya punya kebiasaan minum air banyak-banyak menjelang waktu imsak, kalau tidak minum air minimal 4 gelas saat sahur, seluruh bagian tubuh saya seperti menyesal dan berkolaborasi membentuk satu pikiran bahwa saya tidak akan kuat puasa sampai magrib, akhirnya apa yang saya lakukan selanjutnya adalah bermalas-malasan dengan alasan menghemat cairan tubuh, bahkan pernah saya menahan pipis dengan keyakinan yang tinggi bahwa air dalam urinary bladder itu dapat direarbsorpsi untuk pemakaian sehari-hari, oke ini adalah pemikiran yang salah saudara-saudara.

Tapi begitulah, sahur hari ini saya minum banyak sekali air, sampai-sampai rasanya air itu mengambang-ngambang di tengah tenggorokan. Mungkin jika saya melakukan dobel salto atau sikap lilin air itu akan mengalir begitu saja dari mulut saya, mblwueeeeh, oh tidak perlu, tidak perlu dibayangkan.

Jika sudah begini, apa yang saya rasa selanjutnya adalah mengantuk, mengantuk parah, maka saya pun mencuri-curi tidur, saya akan tidur selama sekitar 5 menit sebelum akhirnya wudhu dan sholat subuh (tapi tidak setiap hari begini loh). Jika tidak dibangunkan oleh sang mamah, biasanya rasa ingin pipis lah yang membangunkan saya.

Saya pun akhirnya bangun, 10 persen sadar, 40 persen rasa ingin pipis, dan 40 persen rasa kantuk. Berjalanlah saya ke kamar mandi, melakukan pose pipis seperti halnya yang orang lain lakukan di wc jongkok. Dan karena telah meminum banyak sekali air, maka durasi pipis saya sangatlah panjang. Tidak masuk di akal memang, tapi apa yang saya lakukan selanjutnya adalah tidur, ya, tidur sambil pipis. Saya sendiri tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi, mungkin penjelasan ilmiahnya akan sama dengan fenomena-fenomena mengompol, atau pipis dalam tidur. Entah berapa detik atau menit lamanya, saya tidur dalam pose pipis, kemudian, tuk, terbangun karena hampir jatuh ke depan. Hampir saja, hampir saja saya mempermalukan diri sendiri di depan keluarga. Apa jadinya dengan harga diri saya jika saya ditemukan oleh ibu saya dalam keadaan pingsan di kamar mandi dengan alasan tidak sengaja tidur ketika pipis, uuuh. Setelah itu barulah saya sadar penuh, menyelesaikan urusan di dalam kamar mandi (wudhu), dan segera keluar dari kamar mandi.

Selesai sholat saya selimutan lagi, sambil menceritakan kejadian dalam kamar mandi kepada ibu saya dengan setengah sadar, “Mah tadi dede hampir jatoh di kamar mandi.”

“Kenapa,” ibu saya menjawab.

“Ketiduran waktu pipis.”

“MUAHAHAHHAHAHAHHAAAA,” saya pun tertidur seiring memudarnya suara tawa ibu saya.

Jadi, hikmah yang bisa saya ambil dari cerita ini adalah…, apa? Memang ada ya? Oh sepertinya ada, kalau pun tak ada marilah kita ada-adakan saja, jadi, sholat subuhlah anda sekalian sebelum mengantuk, jangan minum berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan, dan janganlah membuang sampah sembarangan, karena pak H. Dada Rosada, mencanangkan Bandung Bermartabat sejak masa jabatan 2004-2008.

Salam hangat.

Monday, September 20, 2010

Ah MASAK, Ah Iya, Gengsi Dong!

17 September 2010
Ah MASAK, Ah Iya, Gengsi Dong!
Kamu yang seumuran saya pasti tau dong kalimat di atas penggalan dari lagu apa? Hahahaa, ya, itu penggalan lagu pengiring permainan anak-anak. Aneh memang (dan memang semua lagu pengiring permainan anak di Indonesia berlirik aneh sepertinya =_=”), tapi untuk tulisan saya yang satu ini, mungkin akan cukup mewakili. Mengapa? Karena saya akan membahas tentang suatu pekerjaan bernama: MASAK. Oh, cukup, cukup, tak usah ada efek petir ketika saya menyebutkan kata MASAK. Jadi, kalau boleh dihubung-hubungkan dengan judul tulisannya, saya akan berkata begini, “ah, masak? Ah iya! Gengsi dong kalo nggak bisa masak.” Ya, ya, oke, memang judul tulisan yang sedikit maksa ternyata, tapi tak apalah, langsung saja kita bahas mengenai masak itu sendiri.
Masak. Kamu bisa masak? Masakan apa saja yang bisa kamu buat? Apa masakanmu yang paling kamu banggakan? Sejak kapan bisa masak? Sejak kapan ingin bisa masak?
Wuw. Kalau saya yang ditanya dengan sejumlah pertanyaan di atas maka akan saya jawab:
Bisa masak?
  • Bisa dong. Oke, bisa sedikit. Ya, ya, ya, saya jujur, kemampuan memasak saya saat ini hanya lebih sedikit saja dari angka nol.
Masakan yang bisa dibuat?
  • Banyak, mie instan—kuah dan goreng, sarden instan, marsh potato instan, spaghetti instan (yang tentunya sudah dilengkapi saus), kentang goreng, telur dadar, telur mata sapi, tempe goreng, tahu goreng, tempe kecap, sosis kecap, dan tumis kangkung. Oh lihat, cukup banyak bukan? Dan cukup bodoh untuk perempuan seusia saya.
Masakan yang dibanggakan?
  • Tumis kangkung.
Sejak kapan bisa masak?
  • Kalau membuat mie instan benar-benar bisa dikatakan kegiatan memasak, maka dengan bangga akan saya jawab: SEJAK SD! YEAH!
Sejak kapan ingin bisa masak?
  • Sejak saya berpikir bahwa suatu saat nanti saya akan menikah.
Saya yakin bahwa hanya akan ada 1 dari 100 atau mungkin 1 dari 10.000 perempuan di dunia ini yang tidak menginginkan bahwa satu kali dalam seumur hidupnya dia didandani habis-habisan, duduk di sebelah pria yang paling dia cintai, dan dengan tegang mendengarkan sang pria membacakan ijab-qabul baginya. Ya, semua perempuan di dunia, dengan budaya macam apapun dia dibesarkan pastilah menginginkan dirinya suatu saat mengalami apa yang disebut dengan menikah. Dan sudah menjadi fitrah pula bahwa perempuan menginginkan pria yang benar-benar dia sayangi yang menjadi pendamping hidupnya. Begitu juga saya, saya ingin menikah, menikah dengan pria yang benar-benar saya sayangi, dan kepada orang itu lah nantinya saya akan memberikan yang terbaik. Terbaik dari mana kalau masakan yang bisa saya banggakan hanya tumis kangkung? Terbaik dari mana kalau nantinya, yang bisa saya sajikan setiap hari hanya makanan-makanan instan? Ah, bisa-bisa nanti orang yang saya klaim paling saya sayangi itu malah terkena berbagai penyakit akibat terlalu sering saya beri makanan serba instan. Ironis.

Jadi, basa-basi diatas itulah alasan mengapa saya ingin bisa memasak, masak yang sebenar-benarnya masak. Seperti yang ibu saya, dan ibu-ibu lainnya lakukan di rumah. Terlebih lagi, saya ingin menjadi pantas, ya, sejauh ini belum ada yang bisa saya banggakan dari diri saya, yang bisa menjadi alasan untuk kamu memilih saya. Menyedihkan? Tidak juga, tidak karena saat ini saya punya keinginan untuk bisa. Butuh waktu yang lama memang, tapi lihat saja, mungkin dua, tiga, atau empat tahun lagi saya akan memilikinya. Satu kemampuan yang membuat kamu akhirnya mempertimbangkan saya. Yah, semoga saja, semoga suatu saat nanti saya bisa berada di dapur rumah yang kau huni, memasak makanan kesukaanmu, mendengar kamu memuji masakanku. Bukan, bukan sebagai pembantu, ah, enak saja.
Nah, untuk tekad dan niat baik yang saya camkan dalam hati ini, marilah sama-sama kita ucapkan lagi, “ah, masak? Ah, iya! Gengsi dong kalo nggak bisa masak!” Oke, oke, memang sangat norak, hahaa, lagian mau-maunya ngikutin saya. Hahaa, salam.

Thursday, September 16, 2010

Which One Should I Believe?

Saat ini, ada dua opsi jawaban yang sedang bermain-main dalam kepala saya, keduanya saling bertolak belakang dan menimbulkan dua emosi berbeda yg sulit diidentifikasi.

Opsi pertama, spesial, satu. Di mata saya dia akan terlihat baik dan sempurna seperti sebelumnya, masalahnya, saya sendiri merasa tidak cukup pantas diperlakukan seperti itu.

Opsi kedua, tidak spesial, satu diantara banyak. Saya memang pantas diperlakukan seperti itu, karena saya sendiri memang jauh dari istimewa, masalahnya, dia akan terlihat sedikit buruk di mata saya, tak sebaik dan sesempurna sebelumnya.

Jadi apa yang harus kupercaya? Jawaban menyenangkan yang menyelimutiku dengan rasa nyaman tapi sewaktu-waktu bisa membangunkanku dengan rasa sakit yang luar biasa? Atau jawaban menyedihkan yang menyeret-nyeretku dalam kepedihan berintensitas sama, yang bisa saja membuatku kuat pada akhirnya (atau justru rapuh dan tak mampu bertahan)?

Kamu tahu jawabannya?

Suatu Subuh di Bulan Ramadhan

4 September 2010

Entah sejak kapan saya punya kebiasaan minum air banyak-banyak menjelang waktu imsak, kalau tidak minum air minimal 4 gelas saat sahur, seluruh bagian tubuh saya seperti menyesal dan berkolaborasi membentuk satu pikiran bahwa saya tidak akan kuat puasa sampai magrib, akhirnya apa yang saya lakukan selanjutnya adalah bermalas-malasan dengan alasan menghemat cairan tubuh, bahkan pernah saya menahan pipis dengan keyakinan yang tinggi bahwa air dalam urinary bladder itu dapat direarbsorpsi untuk pemakaian sehari-hari, oke ini adalah pemikiran yang salah saudara-saudara.

Tapi begitulah, sahur hari ini saya minum banyak sekali air, sampai-sampai rasanya air itu mengambang-ngambang di tengah tenggorokan. Mungkin jika saya melakukan dobel salto atau sikap lilin air itu akan mengalir begitu saja dari mulut saya, mblwueeeeh, oh tidak perlu, tidak perlu dibayangkan.

Jika sudah begini, apa yang saya rasa selanjutnya adalah mengantuk, mengantuk parah, maka saya pun mencuri-curi tidur, saya akan tidur selama sekitar 5 menit sebelum akhirnya wudhu dan sholat subuh (tapi tidak setiap hari begini loh). Jika tidak dibangunkan oleh sang mamah, biasanya rasa ingin pipis lah yang membangunkan saya.

Saya pun akhirnya bangun, 10 persen sadar, 40 persen rasa ingin pipis, dan 40 persen rasa kantuk. Berjalanlah saya ke kamar mandi, melakukan pose pipis seperti halnya yang orang lain lakukan di wc jongkok. Dan karena telah meminum banyak sekali air, maka durasi pipis saya sangatlah panjang. Tidak masuk di akal memang, tapi apa yang saya lakukan selanjutnya adalah tidur, ya, tidur sambil pipis. Saya sendiri tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi, mungkin penjelasan ilmiahnya akan sama dengan fenomena-fenomena mengompol, atau pipis dalam tidur. Entah berapa detik atau menit lamanya, saya tidur dalam pose pipis, kemudian, tuk, terbangun karena hampir jatuh ke depan. Hampir saja, hampir saja saya mempermalukan diri sendiri di depan keluarga. Apa jadinya dengan harga diri saya jika saya ditemukan oleh ibu saya dalam keadaan pingsan di kamar mandi dengan alasan tidak sengaja tidur ketika pipis, uuuh. Setelah itu barulah saya sadar penuh, menyelesaikan urusan di dalam kamar mandi (wudhu), dan segera keluar dari kamar mandi.

Selesai sholat saya selimutan lagi, sambil menceritakan kejadian dalam kamar mandi kepada ibu saya dengan setengah sadar, “Mah tadi dede hampir jatoh di kamar mandi.”

“Kenapa,” ibu saya menjawab.

“Ketiduran waktu pipis.”

“MUAHAHAHHAHAHAHHAAAA,” saya pun tertidur seiring memudarnya suara tawa ibu saya.

Jadi, hikmah yang bisa saya ambil dari cerita ini adalah…, apa? Memang ada ya? Oh sepertinya ada, kalau pun tak ada marilah kita ada-adakan saja, jadi, sholat subuhlah anda sekalian sebelum mengantuk, jangan minum berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan, dan janganlah membuang sampah sembarangan, karena pak H. Dada Rosada, mencanangkan Bandung Bermartabat sejak masa jabatan 2004-2008.

Salam hangat.