The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Saturday, November 9, 2013

People Nowadays (1): KARENA AKU YANG MARAH DULUAN, BERARTI AKU YANG BENER, KAMU YANG SALAH, OKE, SIP.


                Kalau kamu seusia saya (baca: 17 tahun, giahahahaa), setidaknya sekali dalam hidupmu, kamu pernah mengalami momen di mana kamu tidak bersalah sama sekali, tapi justru kamu yang ditanya, atau dipojokkan, atau bahkan dimarahi duluan, supaya terlihat bahwa kamu lah yang bersalah. Pernah? Hihii, barusan saja saya mengalami ini lagi, karena itulah saya tergerak membuat tulisan ini.

                Tadi sore, saat sedang bermotor ria dengan kecepatan sangat rendah di jalanan kota Bandung yang padat, seorang ibu muda pejalan kaki tiba-tiba turun dari trotoar (karena trotoar penuh), memasuki badan jalan, tepat di depan saya. Hap! Tanpa tanda tanpa kata, sang ibu meloncat lincah seolah dirinya adalah sugar glider yang imut menggemaskan. Tentu saja manuver sang ibu yang tiba-tiba itu, membuatnya menjadi hampir tertabrak oleh saya. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Reaksi pertama kami berdua adalah kaget, hal biasa yang kemudian menjadi spesial dengan penambahan keluhan memojokkan dari sang ibu kepada saya, seperti ini, “duu-uuuuuh,” nadanya kesal, juga meyakinkan. Seperti sedang menyebar persepsi pada sekitar bahwa dia yang benar dan sedang dirugikan.

                Sama seperti kejadian beberapa waktu lalu, saat itu saya sedang bermotor juga (soalnya nggak bisa nyetir mobil, apalagi truk pasir), tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai ibu paruh baya dari jalan kecil di sebelah kiri memasuki badan jalan, kami hampir tabrakan. Kekagetanku saat itu lalu dimeriahkan pula oleh teriakan sang ibu, “heeeee-eeeehh!!” Persis seperti meneriaki bocah yang tertangkap basah mencuri mangga di halaman rumah pak lurah.

                Ya, saya akui kalau saya memang orang yang ceroboh dan bukan ahlinya berkendara. Maka, setiap ada ‘kejadian’ yang tidak diinginkan di perjalanan, sekecil apapun, saya akan berpikir dulu, siapa yang salah. Dan jika memang saya yang salah, maka saya biasanya akan meminta maaf, bahkan mengejar maaf kalau yang saya rugikan terlanjur pergi duluan, atau akan diam saja. Tapi, kalau tidak bersalah, saya memang tidak bisa terima diperlakukan seperti seorang yang bersalah.

                Maka saya akan menatap wajahnya, menyetel emosi dan nada bicara yang cukup meyakinkan tanpa terkesan ‘nyolot’ (semoga) untuk bertanya, “loh, siapa ya salaaah?” Biasanya (dan untungnya), orang-orang yang barusan itu akan menjadi tahu diri dengan tidak balik memarahi saya lagi. Setelah memberikan pertanyaan itu, barulah saya bisa melaju lagi tanpa ada ganjalan di hati. Fyuuuh.

                Beragamnya sifat manusia memang menarik ya, tapi kadang bikin gemes-gemes-dongkol, seperti yang barusan tadi, hihii. Di usia saya yang sekarang ini (dikira-kira aja lah ya, antara 17 atau 18), sudah lumayan sering saya mengalami atau menyaksikan pengejawantahan dari sifat defensif manusia yang satu ini. Mungkin wajar, karena pada dasarnya manusia ingin dirinya tercitra baik oleh orang lain. Apalagi kalau contohnya di jalanan seperti tadi, sifat dasar melindungi citra diri ditambah kaget dan tekanan tinggi dari kegiatan berlalu lintas biasanya akan membuat seseorang lebih ‘meledak’ dari pada kesehariannya.

                Nah, nah, dari hasil mikir-mikir sendiri yang belum teruji dan terbukti, saya menyimpulkan bahwa dapat terjadinya memarahi-orang-duluan-padahal-dirinyalah-yang-salah, adalah karena:
1. lawan yang dihadapinya terlihat inferior dan dapat diintimidasi, lebih muda, atau terlihat lebih lemah;
2. memanfaatkan persepsi yang sudah ada (dan memang benar, walaupun ada pengecualian) bahwa yang muda cenderung lebih ceroboh dan ‘grasa-grusu’ dari yang lebih tua, atau juga persepsi bahwa kendaraan umum (angkot) lebih sembarangan daripada kendaraan pribadi;
3. refleks melindungi diri yang didukung dengan tekanan-tekanan tertentu (misal kaget, atau kejadiannya berlangsung di depan banyak orang, stress lalu lintas);
4. bawaan lahir, ahahaa, sifat dasar melindungi citra diri dijadikan kebiasaan untuk ‘menyerang’ lebih dulu, orang tipe ini dapat melakukannya secara refleks jika terusik, bahkan tanpa tekanan sekalipun. Dalam kadar tertentu tidak menggangu, tapi dalam kadar lebih tinggi akan menyebalkan, atau menyebalkan banget.

                Terus gimana dong, menghadapi yang seperti itu? Kalau saya sih, cukup tunjukkan bahwa kita tidak bersalah dengan pertanyaan macam tadi, “loh, siapa yang salah?” atau pernyataan, “loh, saya kan tidak salah.” Pastikan bahwa, (1) kita memang tidak bersalah, (2) nada bicara tegas dan yakin, (3) bisa menjaga emosi supaya kalimat yang keluar tidak bernada ‘nyolot’, (4) lawan bicara terlihat dapat diajak tersadar dan tidak berpotensi melakukan kekerasan, (5) tempat kejadian aman dan tidak berpotensi mencelakakan. Kalau nggak, ya sudahlah, ikhlaskan harga dirimu dan tinggalkan tempat kejadian perkara. Rejeki mah nggak kemana :3

                Lalu bagaimana menghadapi orang yang disebut-sebut punya bawaan lahir ‘menyerang’. Mau bilang kalo listrik diputus karena dia belum udunan listrik, malah nyalahin balik kenapa kita nggak ingetin lebih awal. Mau bilang kalo kos-kosan kebakaran karena dia nggak matiin lilin, malah nyalahin balik kenapa ga matiin lilin di kamarnya dia. Gimana? Ya, kalau perkaranya tidak terlalu penting untuk dibahas dan diperbaiki, sebaiknya tidak usah dibahas. Kalau perkaranya penting, persiapkanlah mentalmu, persiapkan bahwa kamulah yang akan dicecar. Jika memang perlu dibalas, pikir-pikir dulu lah kalimat balasannya, toh biasanya sudah terbaca kan dia akan berkata apa saja. Oke? Oke?

                Kurang bermanfaat ya tulisannya, ahahaa. Tak apalah, setidaknya yang pernah mengalami akan merasa senasib seperjuangan sepenanggungan senada seirama seiya sekata. Akhir kata, semoga kita semua terhindar dari menjadi korban marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah, apalagiii sampai-sampai menjadi pelaku marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah, jangan sampai, aamiin >,<


                Sampai jumpa di postingan People Nowadays episode 2!

Thursday, August 1, 2013

TUGAS TER-(AKHIR) -- part 2

TUGAS (TER-)AKHIR
part 2

         Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.

***
               
                “RANIAAA! RANIAAA! RANIA KAMU DI MANAAA?”

***

                Phuaaaah! Aku yang baru saja menyembul kemudian megap-megap, mengumpulkan oksigen untuk dijalarkan ke seluruh tubuh, munculnya tubuhku disambut dengan teriakan syukur teman-temanku. Setelah cukup stabil, aku bergerak mendekat, bergabung bersama mereka yang berpegangan pada sekoci yang terbalik. Tidak ada upaya membalikkan sekoci, kami semua masih lemas.
              Akibat gulungan ombak tadi, posisi kami menjadi lebih berdekatan dengan sekoci-sekoci lain, ada yang bernasib sama dengan kami, ada pula yang masih aman mengambang. Informasi dari mulut ke mulut mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa atau hilang atas gulungan ombak tadi. Dari mulut ke mulut yang kali ini bersumber dari awak kapal di sekoci ujung sana jugalah kami tahu, bahwa badai telah usai, satu jam lagi akan tiba tim SAR juga beberapa kapal cepat armada KMC Kartini dan KMC Express Bahari yang akan segera menolong kami. Ucap syukur lagi-lagi memenuhi mulut kami.

***

                Ayah dan ibu Rara memeluk Rara erat. “Yang lain udah ada yang jemput Ra?” ujar ayahnya.
                “Udah kok Yah.”
             “Oh, oke, yuk,” ayah Rara mengelus kepala Rara, lalu mereka bertiga dan juga aku berjalan menuju tempat parkir. Aku bilang pada Rara untuk menumpang mobil ayahnya, aku ingin mengabarkan kejadian hari ini di rumah saja.
              Rara membukakan pintu belakang, aku masuk, disusul Rara. Ayah dan ibu Rara sudah menunggu di kursi depan. Perasaan shock masih membungkam mulut kami, perjalanan sore ini hening.

***

                “Yah, Yah, kelewatan Yah!” Rara menepuk pundak ayahnya yang menyetir lurus tanpa berhenti di jalan menuju rumahku.
                “Eh?” Ayah Rara menghentikan mobil.
                “Itu iiih, kelewatan.” Rara menunjuk jalan kecil menuju rumahku.
              “Oh..., ya ampun..., iya iya, hampir lupa,” ayah Rara merogoh saku, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan ke Rara, “beli 3 aja ya, kakakmu masih di Semarang.”
                “Eh? Beli ayam goreng?”
                “Lah, iya.”
               Rara membuka pintu dan turun, aku pun begitu, tidak sempat mengucap terimakasih karena ayah ibu Rara memesan tempe, tahu, ayam yang digoreng tidak terlalu kering, dan lain sebagainya. Ada tempat ayam goreng langganan mereka tepat di sebelah jalan menuju rumahku.
                “Ra, aku duluan ya.”
                “Iya Ran, hati-hati ya.”
                “Iya, makasih untuk semuanya, salam ke ayah ibumu, bilang makasih juga ya.”
                “Oka Ran, makasih juga ya.”
                Kami berbagi senyum, lalu berpisah jalan.

***

                Aku mengucap salam dan masuk ke rumah, duduk di sofa ruang tamu. Ayah berdiri di ruang keluarga, sedang bertelefon dengan menggunakan telefon rumah, suaranya berbeda, seperti sedang menangis, aku tak berani mengganggu.
                “Iya, langsung bawa ke sini saja.”
                ...
                “Tidak, tidak, saya tidak mengijinkannya.”
                ...
                “Iya, langsung bawa ke sini, alamat rumah yang tadi.”
                ...
                “Iya, betul, ingin segera saya urus di sini.”
                ...
                “Iya, terimakasih.”
                ...
                “Waalaikumsalam.”
                Klik, gagang telefon diletakkan.
                “Ayah?” ragu-ragu, aku sapa dirinya.
                “Raa.. Rania?”
                “Ayah? Ayah kenapa?”
                “Kamu sudah pulang nak?” ayah memelukku, tidak biasanya, mungkin kaget dengan kepulanganku. Pelukannya singkat, dengan tiba-tiba aku dilepasnya, lalu beliau menyeka matanya.
                “Iya, ayah kenapa?”
                “Sudah... meninggal....”
                “Siapa Yah?
                “Mm..., itu..., pak Anto,” ayah tampak terpukul sekali.
                “Innalillahi, teman mancing ayah?’
                “I... iya..., padahal tadi pagi kami masih bertemu, begitu mendadak....”
                “...,” sungguh, aku bingung sekali jika dihadapkan pada situasi sekarang, tak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi kesedihan ayah. Ayah menyadari hal itu, lalu merubah raut mukanya, tersenyum.
                “Kamu, pasti banyak yang ingin diceritakan kan? Ayo, kenapa bisa pulang lagi ke sini? Sesuatu terjadi?”
                “Iya yah,” aku menceritakan segalanya, ombak yang tiba-tiba, sekoci yang terbalik, hingga pulang diantar ayah Rara. Berbicara dengan ayah membuatku ingin menangis tapi senyumnya membuatku melanjutkan cerita-ceritaku sampai akhir. Kami terdiam berdua, tak beberapa lama hingga sirene ambulans memecah hening.
                Mobil putih itu memasuki halaman rumahku.
                “Ada apa Yah?”
                “Urusan pengurus masjid, kamu masuk kamarmu dulu ya nak, ayah tinggal sebentar.”
                “Iya yah,” aku menuju kamar, kamarku di samping ruang tamu, tidak jauh. Kudengar ayah berbicara pada orang-orang itu, tidak jelas. Aku mengamati dari jendela kamarku, samar terlihat pengurus masjid menghampiri ayah, memeluknya sebentar, berbicara ini itu yang tak bisa kudengar, lalu pergi. Sesuatu dibawa ke ruang di samping kamarku, sungguh, aku penasaran ingin tahu, ayah begitu lama kembali. “Ayaaah?”
                “Iya nak, tunggu sebentar, ayah belum selesai,” berbisik ayah di pintu kamarku.

***

                “Nak...,” ayah membuka pintu kamarku, lalu masuk.
                “Ada apa sih Yah? Mereka siapa? Ada urusan apa?”
             “Sini,” ayah mengizinkanku mengintip ke ruang tamu. Aku berdiri di sana, mematung, melihat apa yang ada di sana. Kepalaku seperti berputar, seperti ada layar besar memproyeksikan apa yang terjadi hari ini.
               Ada aku, berteriak di pinggir pelabuhan bersama tiga yang lain. Ada Kanya, melompat-lompat tak bisa diam. Ada petugas karcis, merobek tiket kami. Ada Resti, mencari air mineral untuk Kanya minum obat mabuk. Ada Rara, menggoda Kanya dengan olok-olokan Mas Bruno. Ada kami bertiga, naik ke geladak utama. Ada mukena, jatuh ke lantai musholla. Ada life jacket, terpasang di tubuh kami. Ada tangga, kupijak terburu-buru. Ada kerumunan orang, menutup Kanya. Ada awak kapal, dan perdebatan singkat dengannya. Ada sekoci, kami naiki bersama. Ada seorang ibu, menangis sendu. Ada gadis SMP, tangan menggigilnya digenggam Resti. Ada ombak besar, menggulung beberapa sekoci. Ada gadis tadi, terjebak di bawah sekoci bersamaku. Ada tali life jacket, menyangkut di sekoci. Ada biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada teriakan memanggil namaku. Menjauh, jauh, semakin jauh.
                “Nak...,” hati-hati ayah memanggilku.
                “Ayah...,” bercucuran air mataku, ayah memelukku.
                “Iya, tidak apa-apa, menangis saja.”
                “Ayah..., aku...”
                “Iya, kamu hebat nak...,” ayah melepas peluknya, ada yang menggenang di pelupuk matanya.
                “Ayah...”
                “Iya...”
           “Terimakasih untuk semuanya...,” isakku semakin menjadi, ayah memelukku lagi. Kulihat lengan yang melingkar di badanku, longgar, sedari tadi ayah hanya berpura-pura memelukku, membuatku tenang. “Aku sayang ayah, sayaaang sekali. Ayah harus hidup sehat. Ayah kuat.”
                “Ayah pun sayang kamu Nak, sangat sayang,” ayah terisak.
                “Maaf untuk segala kesalahanku Yah, aku belum sempat membalas segala kebaikan ayah.”
                “Kehadiranmu selama ini sudah lebih dari cukup nak.”
              “Aku bahagia Yah, ayah pun harus begitu. Aku mengakhiri segalanya dengan indah, ayah jangan sedih. Tenggelam... rupanya tak sesakit yang aku kira.”
                “Syukurlah...,” samar, kulihat senyumnya dari balik air di mataku. Biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada suara ayah yang bergetar, beristigfar, menjauh, jauh, semakin jauh, hilang.

Sunday, July 28, 2013

Kami Semua Sayang Kamu, Budi!!!

Dimuat di majalah Hai edisi 10 / XXXI / 5 Maret 2007
p.s. :Saya suka dan terharu banget waktu liat ilustrasinya, super kece dan detail sekali :') Enjoy the story, guys! :9


Kami Semua Sayang Kamu Budi!!!


Budi, racun IPA 3

  “HWATCHRIIH!”
  “Buset! Kenapa Bud?” Didit yang masih kaget, bertanya pada Budi.
       “Pilek euy! Parah pisan! SROOOT!!!” Budi menjawab, lalu sibuk menarik-narik ingusnya seirama, dan berjalan pergi.
           Didit mulai dilanda kecemasan. Penyakit menular yang diawali dengan Budi selalu berakhir bencana. Seperti kata bang Rhoma Irama: BUDI! ♫ BUDIII…♪ MERACUNI… KEHIDUPAN…♫
         Budi memang dianggap meracuni kehidupan teman sekelasnya. Pernah dia kena cacar, sekelas pada ikut gatel-gatel, dia mencret, sekelas pada mules, dia kentut, sekelas pada bau, dia ngupil pake kaki, sekelas pada ngupil, dia buka celana, sekelas pada buka ce… ah nggak mungkin itu mah
         Dan betul saja sodara-sodara… kurang lebih seminggu kemudian 6 orang anak kelas positif terinfeksi flu. Dari pengamatan dapat diperkirakan bahwa korban akan bertambah lagi. Akan tetapi, saat kondisi kelas sedang genting, bersin dimana-mana, dan ingus merajalela, si Budi-biang-virus malah udah sehat wal afiat. Kurang ajjjar…
         Ingin rasanya menyuntik mati si Budi, atau setidaknya menjadikannya jin botol, tapi apa daya, mereka sudah saling menyayangi, sakitnya Budi sakit bersama, pileknya Budi dirasakan semua, begitulah persahabatan.


Budi, racun keluarga

       “Budi! Cakep…, Ibu pergi dulu ya!” Ibu Budi bersiap untuk pergi dan sudah berdandan rapi dengan kemeja bunga warna-warni. Kemeja kesayangan hadiah lebaran dari suaminya, Bapak Budi. Ya, Budi dan ayahnya punya nama depan yang sama, BUDI, dia Budi Riyadi, sedangkan ayahnya Budi Rahmadi. Betul-betul tidak kreatif memang…
            “Pergi? Kemana bu? Oh, pasti bayar utang.”
            “Enak aja… Ibu mah mau arisan di rumah bu Suhandi.”
            “Oh…, kirain bayar utang…”
            “Nggak dong, da ibu mah utangnya ke bu Suhana bukan ke bu Suhandi…”
            “Euh…”
            “Budi…, Ibu teh lagi jemur baju. Kalo hujan diangkat ya.”
            “Iya.”
            “Jangan sampe lupa.”
            “Hm hm.”
          Ibu Budi pun pergi ke kediaman bu Suhandi demi mengemban sebuah misi suci, menang arisan dan membawa pulang uang. Dengan kepercayaan diri tinggi, beliau melangkahkan kaki. Ternyata ibu Budi memasang arisan dengan nama Budi Riyadi, anak semata wayang yang sangat dia cintai. Satu yang dia yakini, nama Budi membawa hoki.
        Tinggallah Budi seorang diri, berteman hampa, bermandikan sepi, bertahtakan sunyi. Nggak ding, sebenernya sih Budi berdua dengan neneknya, ibu Susilowati Budi Raharti. Tapi biar bagaimanapun nenek tetaplah seorang nenek, tidak akan bisa diajak main PS, apalagi manjat pohon jambu.
           Budi pun merasa seorang diri dan kesepian. Bagaimana tidak? Nenek yang biasa nyanyi Jawa, kini tengah menikmati bobo siang di kamar depan. Lama-kelamaan Budi dilanda kantuk nan dahsyat. 20 menit telah berlalu, nenek tak kunjung menyanyi. Satu menit lagi keadaan ini dibiarkan, maka dapat dipastikan Budi akan tidur dengan sentosa.
         Kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan, berjuang sekeras apapun, Budi tetap tak kuasa menahan kantuk. Dia pun tertidur pulas di depan tv dengan pose asusila, tangan kanan memegang jidat, jari kelingking tangan kirinya masuk ke hidung sambil melakukan gerakan ehm… mengupil, kaki kanan mengarah ke barat, sedangkan kaki kirinya ke tenggara. Ya ampuuun…

***

  “WAKTU HUJAN SORE-SORE…♫ Nananaannanaaa…♪”
            “Hmmm… hm… hm…,” Budi menggeliat-geliat di lantai, sambil berusaha sadarkan diri. Ternyata dia terbangun oleh suara nenek yang begitu syahdu mendayu. “Tumben ya nenek nyanyi lagu itu, waktu hujan sore-so... Hujan? Hujan?! HUJAN!!! JEMURAN!!! TIDAK!!! TIDAK!!!”

***

            “Assalamualaikum!” Ibu Budi telah tiba di rumah.
            “Waalaikumsalam…,” Budi dan nenek menjawab bersamaan.
            “Eh Ibu…, mau Budi bikinin teh anget bu?”
            “HWAH!” Ibu Budi syok. “Budi kamu sakit nak?”
            “Nggak…”
            “Kok tumben berbakti ke ibu.”
         “Ah, ibu mah… bisa aja…” Budi senyum-senyum tai ayam. “Bu, kok pulang ke rumah teh nggak semangat, bu?”
            “Hhh… ibu nggak menang arisan… Padahal ibu sudah pakai nama kamu.”
        “Ya udah atuh… Nggak usah dipikirin, sekarang mah kita harus mikirin gimana caranya, jemuran ibu bisa kering.”
            “Hah?”
            “Ng… itu… jemuran ibu…”
            “Kenapa jemuran ibu?!”
            “Jemuran ibu…”
            “Jemuran ibu…”
            “Basah semua…”
            “Basah semua… BASAH SEMUAAA? JEMURAN IBU NGGAK KAMU ANGKAT!!! MASYA ALLAH!!! BUDI… BUDI…!!!”

***

            “BUDI! Celana ayah mana?!”
            “Celana yang mana, ibu?”
            “Celana pendek kotak kuning!”
            “Oh…, yang ada rendanya?”
            “Iya. Celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Hmmm…”
            “DIMANA? Bukannya hm hm hm!”
            “Ya nggak tau atuh ibu.”
            “Tadi kan ibu jemur!”
            “Kebawa angin berarti, bu. Tadi kan ujan angin.”
            “Itu kan celana kesayangan ayah!”
            “Iya bu bener bener.”
            “GIMANA ATUH!!! Bukan bener bener!”
            “Nggak tau atuh ibu. Budi juga bingung besok pake seragam ato pake sarung.”

***

            Ibu Budi masih memikirkan celana pendek sang ayah yang imut lucu. Sementara Budi dan neneknya sedang asik menonton acara kriminal di tv sambil tertawa-tawa.
            “Budi itu bacaannya apa?” nenek Budi menunjuk tv.
            “Yang mana nek?”
            “Yang itu!”
            “Yang ini?”
            “Bukan!”
            “Oh… ini… masa’ nggak kebaca sih nek?”
         “Bukan! Euh…,  kamu mah jadi weh hilang tulisannya. Ambilin kaca mata nenek atuh kalo begitu.”
            “Dimana nek?” (PLUK)
            “Itu kesenggol sama kamu!”
            “Mana nek?” (PREK KREKEK KREKEK)
            “Di kaki kamu…”
            “Wah pecah nek!”
            “…,” nenek hanya bisa mengurut dada.
             
           BUDI, empat huruf yang memberi banyak arti. Sebuah nama yang begitu surgawi, tapi menjadi sangat tak manusiawi manakala disandang oleh anak onta yang satu ini. Begitulah cara dia menjalani hidup sehari-hari. Selalu membawa petaka bagi seluruh insan manusia disekitarnya.


            Budi, racun tetangga

            Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu dengan semangat proklamasi.
            “Ibu Budi! Ibu Budi!” suara dibalik pintu memanggil.
            “Iya, iya, tunggu sebentar!” (CKELEK) “Eh, bu Sukamti! Ada apa  bu?”
            “Ini punya ibu?” bu Sukamti menunjukkan suatu benda.
            “Ya ampun… celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Jadi ini punya ibu?”
            “Iya. Alhamdulillah ketemu.”
            “Saya sudah tanya ke semua tetangga tapi tak ada yang mau mengaku. Ternyata ini milik ibu.”
         “Iya. Punya saya.” Ibu Budi bicara sambil memeluknya, bukan memeluk bu Sukamti, tapi celana pendek kotak kuning renda jingga.
            “Hhh… gara-gara itu…”
            “Kenapa bu?”
            “Gara-gara itu anak saya terluka,” bu Sukamti berkaca-kaca.
            “Loh? Bagaimana bisa?”
           “Kemarin, anak saya sedang mandi hujan dengan riang gembira, tiba-tiba, barang itu menerpa mukanya, iya, TEPAT DIMUKANYA! Anak saya yang belum mempersiapkan diri tentu saja terkejut lalu terjatuh, di selokan, BENAR-BENAR DI SELOKAN, BAYANGKAN IBU BUDI! BAYANGKAN! Anak tak berdosa yang tak tahu apa-apa! Dia masih sangat kecil dan belum merasakan asam garam kehidupan! Anak yang malang! SUKAMTO! IBU PULANG NAK!” Bu Sukamti berlari-lari menuju rumahnya dengan gerakan yang begitu dramatis.

            “BUDIIIII!!!!! SINI KAMU!!!” Budi pun dihajar massa. Nggak ding, Budi dimarahi habis-habisan oleh ibunya.


            Budi, racun waria

           Budi keluar dari rumahnya sejenak, mencari udara segar. Dia merasa sangat putus asa, merasa hidupnya sangat tak berguna. Apa yang bisa dia berikan untuk temannya, ibunya, ayahnya, neneknya, tetangganya, bahkan untuk dirinya sendiri pun tak ada, pikirnya…
        Kakinya telah membawanya ke pasar Cijerah. Pusat kegiatan dan perbelanjaan orang Cijerah dan sekitarnya. Berjalan dengan tatapan kosong dan hampa, merasa hidupnya makin tak berguna.
            “Dik! Dik! Apa adik melihat seorang waria melintas disini?” Seseorang berpakaian hansip bertanya pada Budi.
            “Nggak pak.”
            “Ah bohong… pasti adik lihat.” Hansip berkata sambil tersenyum manja.
            “Nggak pak!”
            “Ah pasti adik lihat tapi malu mengatakannya, saya bisa melihat dari mata adik.”
            “Nggak pak. Ya ampun.”
            “Ah pasti adik meliha…”
       “Iya, iya, saya lihat, disana pak! Sembunyi dibalik karung beras!” Budi menunjukkan arah dan tempat yang asal, yang penting bebas dari hansip manis manja.
            “Makasih dek, gitu dong ah dari tadi, susah amat.” Hansip berkedip manja.

***

            “Dek ketangkep!” Hansip telah kembali dengan menggiring seorang waria.
            “Wah ketemu dimana pak?”
            “Di balik karung beras! Analisismu sangat hebat dik!”
       “Oh jadi anak curut ini yang kasih tau saya sembunyi dimana?!” waria tadi menunjuk-nunjuk jidat Budi. Waria yang sangat jauh dari kesan cantik. Jenggot, jakun, dan bulu dada yang wuw… keriting bow… membuat penampilannya tambah parah.
            “Nggak sengaja kok!”
        “Nggak sengaja, nggak sengaja! Padahal saya udah yakin nggak ada yang bisa menemukan saya dibalik karung itu.” waria itu melanjutkan.
        “Iya kamu sangat hebat dik! Bahkan saya yang sudah tau waria ini mencuri sekarung beras pun tidak dapat mengira keberadaannya,” sang hansip sempat menatap Budi dengan kagum sebelum pergi.
            “Dasar bedebah kamu anak onta! Tidak berguna! Anak tidak tau diuntung! Pergi kamu dari dunia! Tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi! Pergi! Bunuh dirimu sendiri sebelum simpatisanku mendatangi rumahmu! Menggerayangi mimpimu! Merasuki hidupmu!” Begitulah kira-kira kata perpisahan yang sempat diucapkan sang waria, seluruh kalimat caci maki dan sumpah serapah diucapkan.

            Budi semakin terpuruk dengan keputusasaan dan kehampaan akan hidup. Bahkan bagi seorang waria yang dia belum pernah kenal sebelumnya, dia tak lebih dari onggokan sampah. Tak berguna.


            Budi dan racun serangga

            “Bunuh dirimu sendiri… bunuh dirimu sendiri…,” kata-kata sang waria terus melekat dipikirannya.

            Di rumah Budi
            Tok tok tok, seseorang kembali mengetuk pintu rumah itu.
            “Iya sebentar.” (CEKELEK)
            “Bu ada kiriman!”
            “Subhanallah apa ini? Sungguh besar sekali!”
            “Nggak tau juga bu. Tapi kayaknya ibu menang undian bu.”
       “Subhanallah,” sang ibu histeris, menutup mulut dengan kedua tangan ala telenovela.
            “Tolong tanda tangan disini bu!”
          “Iya…,” Ibu Budi menandatangan dengan gemetar sambil melihat kardus tv 21 inchi didepannya. Telah terbayang masa depan indah yang akan disongsong bersama dengan tv itu.
            “Nenek! Kita dapat tipi baru!
            “Dari siapa? Baik sekali….”
          “Dari undian nek. Nama budi memang bawa hoki. Saya kan selalu pakai nama Budi untuk undian. Loh Budi dimana ya nek? Dari tadi nggak kelihatan.”
            “Nenek juga nggak tau. Tadi pergi kayaknya.”
        “Pergi kemana ya nek? Kok perasan saya nggak enak. Apa karena tadi dia dimarahin sama saya. Aduh nak cepatlah pulang. Tipi ini ada berkat kamu juga, nak.”
        “Iya, berkat Budi nenek jadi bisa ganti model kacamata. Impian nenek adalah punya kacamata mirip Madonna biar terlihat awet muda.”

            “Assalamualaikum!” ayah Budi yang bernama bapak Budi baru pulang kerja.
            “Waalaikumsalam!”
            “Ayah lihat ada tipi! Ini berkat Budi yah! Berkat Budi!”
            “Ada apa sih ini sebenarnya,” ayah Budi bertanya, meminta kejelasan.
        “Anak kita yah! Menangin undian, tapi dari tadi belum pulang juga. Nggak tau kenapa ibu jadi cemas, soalnya tadi ibu marahin dia.”
          “Bapak juga merasa nggak enak dari tadi. Padahal buang air besar sudah, ternyata ini masalahnya.”
          “Iya yah.”
         “Berkat Budi juga ayah bisa terlepas dari jeratan celana pendek kotak kuning renda jingga jahanam itu. Sudah lama ayah tidak mau memakai celana imut lucu itu tapi tak kuasa ayah melepaskan diri darinya.”
           “Benar yah. Ibu jadi lebih hati-hati menjemur pakaian sekarang, berkat Budi anak kita.”
         “Benar. Kacamata Madonna. Tergapai. Berkat Budi.” Nenek ikut bertukar pendapat.
            “Ayah, kita cari saja si Budi!”
            “Baik istriku!”
            “Baik menantuku!”
            “Nenek nggak usah ikut nek. Diluar banyak angin!”
            “Yah…,” nenek kecewa.

            Di sebuah jalan layang diatas tol
            Racun serangga telah ada dalam genggamannya. Tapi Budi masih terlalu bingung memilih, mati ditangan botol kecil berjudul ‘racun serangga aduhai dahsyatnya’, atau mati ditangan jalan tol yang padat di sore hari. Disebuah jalan layang menuju perumahan Gempol Sari dekat Cigondewah itu dia berpikir. Tapi kurang keren juga ya mati disini? Begitu pikirnya. Terlintas di benaknya wajah ibunda dan ayahanda tercinta, nenek serta tetangga juga teman sekelasnya. Budi semakin bingung. Bukankah bunuh diri itu dosa? Akankah seorang Budi dikalahkan oleh perkataan waria? Tidak! Tidak! Ini bukan diriku!

***

            “BUDIII!!! BUDIII!!!”
            Sebuah gorowok purba menghentaknya. Ayah dan bunda menjemputnya.
            “AYAAAH!!! IBUUU!!!”
            Disebuah sore nan jingga sejingga renda celana mereka berpelukan.

            “Budi maapkan ibu!”
            “Maapkan ayah juga!”
            “Budi yang seharusnya minta maap.”
            “Kamu pahlawan ayah!”
            “Pahlawan ibu juga, berkat kamu kita punya tipi baru, 21 pintu.”
            “Inchi bu.”
            “Iya inchi.”
            “Dari mana bu?”
            “Dari undian yang pakai nama kamu.”
            “Nenek gimana bu?”
            “Nenek bahagia bisa punya kacamata Madonna.”
            “Bu Sukamti dan Sukamto?”
            “Tadi ibu ketemu bu Sukamti, tak disangka dia berterima kasih karena anaknya, Sukamto, jadi trauma mandi hujan. Dia lebih takut anaknya tersambar petir, daripada tersambar celana kolor.”   
            “KAMI SEMUA SAYANG KAMU BUDI!”

TAMAT

Saturday, November 9, 2013

People Nowadays (1): KARENA AKU YANG MARAH DULUAN, BERARTI AKU YANG BENER, KAMU YANG SALAH, OKE, SIP.


                Kalau kamu seusia saya (baca: 17 tahun, giahahahaa), setidaknya sekali dalam hidupmu, kamu pernah mengalami momen di mana kamu tidak bersalah sama sekali, tapi justru kamu yang ditanya, atau dipojokkan, atau bahkan dimarahi duluan, supaya terlihat bahwa kamu lah yang bersalah. Pernah? Hihii, barusan saja saya mengalami ini lagi, karena itulah saya tergerak membuat tulisan ini.

                Tadi sore, saat sedang bermotor ria dengan kecepatan sangat rendah di jalanan kota Bandung yang padat, seorang ibu muda pejalan kaki tiba-tiba turun dari trotoar (karena trotoar penuh), memasuki badan jalan, tepat di depan saya. Hap! Tanpa tanda tanpa kata, sang ibu meloncat lincah seolah dirinya adalah sugar glider yang imut menggemaskan. Tentu saja manuver sang ibu yang tiba-tiba itu, membuatnya menjadi hampir tertabrak oleh saya. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Reaksi pertama kami berdua adalah kaget, hal biasa yang kemudian menjadi spesial dengan penambahan keluhan memojokkan dari sang ibu kepada saya, seperti ini, “duu-uuuuuh,” nadanya kesal, juga meyakinkan. Seperti sedang menyebar persepsi pada sekitar bahwa dia yang benar dan sedang dirugikan.

                Sama seperti kejadian beberapa waktu lalu, saat itu saya sedang bermotor juga (soalnya nggak bisa nyetir mobil, apalagi truk pasir), tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai ibu paruh baya dari jalan kecil di sebelah kiri memasuki badan jalan, kami hampir tabrakan. Kekagetanku saat itu lalu dimeriahkan pula oleh teriakan sang ibu, “heeeee-eeeehh!!” Persis seperti meneriaki bocah yang tertangkap basah mencuri mangga di halaman rumah pak lurah.

                Ya, saya akui kalau saya memang orang yang ceroboh dan bukan ahlinya berkendara. Maka, setiap ada ‘kejadian’ yang tidak diinginkan di perjalanan, sekecil apapun, saya akan berpikir dulu, siapa yang salah. Dan jika memang saya yang salah, maka saya biasanya akan meminta maaf, bahkan mengejar maaf kalau yang saya rugikan terlanjur pergi duluan, atau akan diam saja. Tapi, kalau tidak bersalah, saya memang tidak bisa terima diperlakukan seperti seorang yang bersalah.

                Maka saya akan menatap wajahnya, menyetel emosi dan nada bicara yang cukup meyakinkan tanpa terkesan ‘nyolot’ (semoga) untuk bertanya, “loh, siapa ya salaaah?” Biasanya (dan untungnya), orang-orang yang barusan itu akan menjadi tahu diri dengan tidak balik memarahi saya lagi. Setelah memberikan pertanyaan itu, barulah saya bisa melaju lagi tanpa ada ganjalan di hati. Fyuuuh.

                Beragamnya sifat manusia memang menarik ya, tapi kadang bikin gemes-gemes-dongkol, seperti yang barusan tadi, hihii. Di usia saya yang sekarang ini (dikira-kira aja lah ya, antara 17 atau 18), sudah lumayan sering saya mengalami atau menyaksikan pengejawantahan dari sifat defensif manusia yang satu ini. Mungkin wajar, karena pada dasarnya manusia ingin dirinya tercitra baik oleh orang lain. Apalagi kalau contohnya di jalanan seperti tadi, sifat dasar melindungi citra diri ditambah kaget dan tekanan tinggi dari kegiatan berlalu lintas biasanya akan membuat seseorang lebih ‘meledak’ dari pada kesehariannya.

                Nah, nah, dari hasil mikir-mikir sendiri yang belum teruji dan terbukti, saya menyimpulkan bahwa dapat terjadinya memarahi-orang-duluan-padahal-dirinyalah-yang-salah, adalah karena:
1. lawan yang dihadapinya terlihat inferior dan dapat diintimidasi, lebih muda, atau terlihat lebih lemah;
2. memanfaatkan persepsi yang sudah ada (dan memang benar, walaupun ada pengecualian) bahwa yang muda cenderung lebih ceroboh dan ‘grasa-grusu’ dari yang lebih tua, atau juga persepsi bahwa kendaraan umum (angkot) lebih sembarangan daripada kendaraan pribadi;
3. refleks melindungi diri yang didukung dengan tekanan-tekanan tertentu (misal kaget, atau kejadiannya berlangsung di depan banyak orang, stress lalu lintas);
4. bawaan lahir, ahahaa, sifat dasar melindungi citra diri dijadikan kebiasaan untuk ‘menyerang’ lebih dulu, orang tipe ini dapat melakukannya secara refleks jika terusik, bahkan tanpa tekanan sekalipun. Dalam kadar tertentu tidak menggangu, tapi dalam kadar lebih tinggi akan menyebalkan, atau menyebalkan banget.

                Terus gimana dong, menghadapi yang seperti itu? Kalau saya sih, cukup tunjukkan bahwa kita tidak bersalah dengan pertanyaan macam tadi, “loh, siapa yang salah?” atau pernyataan, “loh, saya kan tidak salah.” Pastikan bahwa, (1) kita memang tidak bersalah, (2) nada bicara tegas dan yakin, (3) bisa menjaga emosi supaya kalimat yang keluar tidak bernada ‘nyolot’, (4) lawan bicara terlihat dapat diajak tersadar dan tidak berpotensi melakukan kekerasan, (5) tempat kejadian aman dan tidak berpotensi mencelakakan. Kalau nggak, ya sudahlah, ikhlaskan harga dirimu dan tinggalkan tempat kejadian perkara. Rejeki mah nggak kemana :3

                Lalu bagaimana menghadapi orang yang disebut-sebut punya bawaan lahir ‘menyerang’. Mau bilang kalo listrik diputus karena dia belum udunan listrik, malah nyalahin balik kenapa kita nggak ingetin lebih awal. Mau bilang kalo kos-kosan kebakaran karena dia nggak matiin lilin, malah nyalahin balik kenapa ga matiin lilin di kamarnya dia. Gimana? Ya, kalau perkaranya tidak terlalu penting untuk dibahas dan diperbaiki, sebaiknya tidak usah dibahas. Kalau perkaranya penting, persiapkanlah mentalmu, persiapkan bahwa kamulah yang akan dicecar. Jika memang perlu dibalas, pikir-pikir dulu lah kalimat balasannya, toh biasanya sudah terbaca kan dia akan berkata apa saja. Oke? Oke?

                Kurang bermanfaat ya tulisannya, ahahaa. Tak apalah, setidaknya yang pernah mengalami akan merasa senasib seperjuangan sepenanggungan senada seirama seiya sekata. Akhir kata, semoga kita semua terhindar dari menjadi korban marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah, apalagiii sampai-sampai menjadi pelaku marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah, jangan sampai, aamiin >,<


                Sampai jumpa di postingan People Nowadays episode 2!

Thursday, August 1, 2013

TUGAS TER-(AKHIR) -- part 2

TUGAS (TER-)AKHIR
part 2

         Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.

***
               
                “RANIAAA! RANIAAA! RANIA KAMU DI MANAAA?”

***

                Phuaaaah! Aku yang baru saja menyembul kemudian megap-megap, mengumpulkan oksigen untuk dijalarkan ke seluruh tubuh, munculnya tubuhku disambut dengan teriakan syukur teman-temanku. Setelah cukup stabil, aku bergerak mendekat, bergabung bersama mereka yang berpegangan pada sekoci yang terbalik. Tidak ada upaya membalikkan sekoci, kami semua masih lemas.
              Akibat gulungan ombak tadi, posisi kami menjadi lebih berdekatan dengan sekoci-sekoci lain, ada yang bernasib sama dengan kami, ada pula yang masih aman mengambang. Informasi dari mulut ke mulut mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa atau hilang atas gulungan ombak tadi. Dari mulut ke mulut yang kali ini bersumber dari awak kapal di sekoci ujung sana jugalah kami tahu, bahwa badai telah usai, satu jam lagi akan tiba tim SAR juga beberapa kapal cepat armada KMC Kartini dan KMC Express Bahari yang akan segera menolong kami. Ucap syukur lagi-lagi memenuhi mulut kami.

***

                Ayah dan ibu Rara memeluk Rara erat. “Yang lain udah ada yang jemput Ra?” ujar ayahnya.
                “Udah kok Yah.”
             “Oh, oke, yuk,” ayah Rara mengelus kepala Rara, lalu mereka bertiga dan juga aku berjalan menuju tempat parkir. Aku bilang pada Rara untuk menumpang mobil ayahnya, aku ingin mengabarkan kejadian hari ini di rumah saja.
              Rara membukakan pintu belakang, aku masuk, disusul Rara. Ayah dan ibu Rara sudah menunggu di kursi depan. Perasaan shock masih membungkam mulut kami, perjalanan sore ini hening.

***

                “Yah, Yah, kelewatan Yah!” Rara menepuk pundak ayahnya yang menyetir lurus tanpa berhenti di jalan menuju rumahku.
                “Eh?” Ayah Rara menghentikan mobil.
                “Itu iiih, kelewatan.” Rara menunjuk jalan kecil menuju rumahku.
              “Oh..., ya ampun..., iya iya, hampir lupa,” ayah Rara merogoh saku, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan ke Rara, “beli 3 aja ya, kakakmu masih di Semarang.”
                “Eh? Beli ayam goreng?”
                “Lah, iya.”
               Rara membuka pintu dan turun, aku pun begitu, tidak sempat mengucap terimakasih karena ayah ibu Rara memesan tempe, tahu, ayam yang digoreng tidak terlalu kering, dan lain sebagainya. Ada tempat ayam goreng langganan mereka tepat di sebelah jalan menuju rumahku.
                “Ra, aku duluan ya.”
                “Iya Ran, hati-hati ya.”
                “Iya, makasih untuk semuanya, salam ke ayah ibumu, bilang makasih juga ya.”
                “Oka Ran, makasih juga ya.”
                Kami berbagi senyum, lalu berpisah jalan.

***

                Aku mengucap salam dan masuk ke rumah, duduk di sofa ruang tamu. Ayah berdiri di ruang keluarga, sedang bertelefon dengan menggunakan telefon rumah, suaranya berbeda, seperti sedang menangis, aku tak berani mengganggu.
                “Iya, langsung bawa ke sini saja.”
                ...
                “Tidak, tidak, saya tidak mengijinkannya.”
                ...
                “Iya, langsung bawa ke sini, alamat rumah yang tadi.”
                ...
                “Iya, betul, ingin segera saya urus di sini.”
                ...
                “Iya, terimakasih.”
                ...
                “Waalaikumsalam.”
                Klik, gagang telefon diletakkan.
                “Ayah?” ragu-ragu, aku sapa dirinya.
                “Raa.. Rania?”
                “Ayah? Ayah kenapa?”
                “Kamu sudah pulang nak?” ayah memelukku, tidak biasanya, mungkin kaget dengan kepulanganku. Pelukannya singkat, dengan tiba-tiba aku dilepasnya, lalu beliau menyeka matanya.
                “Iya, ayah kenapa?”
                “Sudah... meninggal....”
                “Siapa Yah?
                “Mm..., itu..., pak Anto,” ayah tampak terpukul sekali.
                “Innalillahi, teman mancing ayah?’
                “I... iya..., padahal tadi pagi kami masih bertemu, begitu mendadak....”
                “...,” sungguh, aku bingung sekali jika dihadapkan pada situasi sekarang, tak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi kesedihan ayah. Ayah menyadari hal itu, lalu merubah raut mukanya, tersenyum.
                “Kamu, pasti banyak yang ingin diceritakan kan? Ayo, kenapa bisa pulang lagi ke sini? Sesuatu terjadi?”
                “Iya yah,” aku menceritakan segalanya, ombak yang tiba-tiba, sekoci yang terbalik, hingga pulang diantar ayah Rara. Berbicara dengan ayah membuatku ingin menangis tapi senyumnya membuatku melanjutkan cerita-ceritaku sampai akhir. Kami terdiam berdua, tak beberapa lama hingga sirene ambulans memecah hening.
                Mobil putih itu memasuki halaman rumahku.
                “Ada apa Yah?”
                “Urusan pengurus masjid, kamu masuk kamarmu dulu ya nak, ayah tinggal sebentar.”
                “Iya yah,” aku menuju kamar, kamarku di samping ruang tamu, tidak jauh. Kudengar ayah berbicara pada orang-orang itu, tidak jelas. Aku mengamati dari jendela kamarku, samar terlihat pengurus masjid menghampiri ayah, memeluknya sebentar, berbicara ini itu yang tak bisa kudengar, lalu pergi. Sesuatu dibawa ke ruang di samping kamarku, sungguh, aku penasaran ingin tahu, ayah begitu lama kembali. “Ayaaah?”
                “Iya nak, tunggu sebentar, ayah belum selesai,” berbisik ayah di pintu kamarku.

***

                “Nak...,” ayah membuka pintu kamarku, lalu masuk.
                “Ada apa sih Yah? Mereka siapa? Ada urusan apa?”
             “Sini,” ayah mengizinkanku mengintip ke ruang tamu. Aku berdiri di sana, mematung, melihat apa yang ada di sana. Kepalaku seperti berputar, seperti ada layar besar memproyeksikan apa yang terjadi hari ini.
               Ada aku, berteriak di pinggir pelabuhan bersama tiga yang lain. Ada Kanya, melompat-lompat tak bisa diam. Ada petugas karcis, merobek tiket kami. Ada Resti, mencari air mineral untuk Kanya minum obat mabuk. Ada Rara, menggoda Kanya dengan olok-olokan Mas Bruno. Ada kami bertiga, naik ke geladak utama. Ada mukena, jatuh ke lantai musholla. Ada life jacket, terpasang di tubuh kami. Ada tangga, kupijak terburu-buru. Ada kerumunan orang, menutup Kanya. Ada awak kapal, dan perdebatan singkat dengannya. Ada sekoci, kami naiki bersama. Ada seorang ibu, menangis sendu. Ada gadis SMP, tangan menggigilnya digenggam Resti. Ada ombak besar, menggulung beberapa sekoci. Ada gadis tadi, terjebak di bawah sekoci bersamaku. Ada tali life jacket, menyangkut di sekoci. Ada biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada teriakan memanggil namaku. Menjauh, jauh, semakin jauh.
                “Nak...,” hati-hati ayah memanggilku.
                “Ayah...,” bercucuran air mataku, ayah memelukku.
                “Iya, tidak apa-apa, menangis saja.”
                “Ayah..., aku...”
                “Iya, kamu hebat nak...,” ayah melepas peluknya, ada yang menggenang di pelupuk matanya.
                “Ayah...”
                “Iya...”
           “Terimakasih untuk semuanya...,” isakku semakin menjadi, ayah memelukku lagi. Kulihat lengan yang melingkar di badanku, longgar, sedari tadi ayah hanya berpura-pura memelukku, membuatku tenang. “Aku sayang ayah, sayaaang sekali. Ayah harus hidup sehat. Ayah kuat.”
                “Ayah pun sayang kamu Nak, sangat sayang,” ayah terisak.
                “Maaf untuk segala kesalahanku Yah, aku belum sempat membalas segala kebaikan ayah.”
                “Kehadiranmu selama ini sudah lebih dari cukup nak.”
              “Aku bahagia Yah, ayah pun harus begitu. Aku mengakhiri segalanya dengan indah, ayah jangan sedih. Tenggelam... rupanya tak sesakit yang aku kira.”
                “Syukurlah...,” samar, kulihat senyumnya dari balik air di mataku. Biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada suara ayah yang bergetar, beristigfar, menjauh, jauh, semakin jauh, hilang.

Sunday, July 28, 2013

Kami Semua Sayang Kamu, Budi!!!

Dimuat di majalah Hai edisi 10 / XXXI / 5 Maret 2007
p.s. :Saya suka dan terharu banget waktu liat ilustrasinya, super kece dan detail sekali :') Enjoy the story, guys! :9


Kami Semua Sayang Kamu Budi!!!


Budi, racun IPA 3

  “HWATCHRIIH!”
  “Buset! Kenapa Bud?” Didit yang masih kaget, bertanya pada Budi.
       “Pilek euy! Parah pisan! SROOOT!!!” Budi menjawab, lalu sibuk menarik-narik ingusnya seirama, dan berjalan pergi.
           Didit mulai dilanda kecemasan. Penyakit menular yang diawali dengan Budi selalu berakhir bencana. Seperti kata bang Rhoma Irama: BUDI! ♫ BUDIII…♪ MERACUNI… KEHIDUPAN…♫
         Budi memang dianggap meracuni kehidupan teman sekelasnya. Pernah dia kena cacar, sekelas pada ikut gatel-gatel, dia mencret, sekelas pada mules, dia kentut, sekelas pada bau, dia ngupil pake kaki, sekelas pada ngupil, dia buka celana, sekelas pada buka ce… ah nggak mungkin itu mah
         Dan betul saja sodara-sodara… kurang lebih seminggu kemudian 6 orang anak kelas positif terinfeksi flu. Dari pengamatan dapat diperkirakan bahwa korban akan bertambah lagi. Akan tetapi, saat kondisi kelas sedang genting, bersin dimana-mana, dan ingus merajalela, si Budi-biang-virus malah udah sehat wal afiat. Kurang ajjjar…
         Ingin rasanya menyuntik mati si Budi, atau setidaknya menjadikannya jin botol, tapi apa daya, mereka sudah saling menyayangi, sakitnya Budi sakit bersama, pileknya Budi dirasakan semua, begitulah persahabatan.


Budi, racun keluarga

       “Budi! Cakep…, Ibu pergi dulu ya!” Ibu Budi bersiap untuk pergi dan sudah berdandan rapi dengan kemeja bunga warna-warni. Kemeja kesayangan hadiah lebaran dari suaminya, Bapak Budi. Ya, Budi dan ayahnya punya nama depan yang sama, BUDI, dia Budi Riyadi, sedangkan ayahnya Budi Rahmadi. Betul-betul tidak kreatif memang…
            “Pergi? Kemana bu? Oh, pasti bayar utang.”
            “Enak aja… Ibu mah mau arisan di rumah bu Suhandi.”
            “Oh…, kirain bayar utang…”
            “Nggak dong, da ibu mah utangnya ke bu Suhana bukan ke bu Suhandi…”
            “Euh…”
            “Budi…, Ibu teh lagi jemur baju. Kalo hujan diangkat ya.”
            “Iya.”
            “Jangan sampe lupa.”
            “Hm hm.”
          Ibu Budi pun pergi ke kediaman bu Suhandi demi mengemban sebuah misi suci, menang arisan dan membawa pulang uang. Dengan kepercayaan diri tinggi, beliau melangkahkan kaki. Ternyata ibu Budi memasang arisan dengan nama Budi Riyadi, anak semata wayang yang sangat dia cintai. Satu yang dia yakini, nama Budi membawa hoki.
        Tinggallah Budi seorang diri, berteman hampa, bermandikan sepi, bertahtakan sunyi. Nggak ding, sebenernya sih Budi berdua dengan neneknya, ibu Susilowati Budi Raharti. Tapi biar bagaimanapun nenek tetaplah seorang nenek, tidak akan bisa diajak main PS, apalagi manjat pohon jambu.
           Budi pun merasa seorang diri dan kesepian. Bagaimana tidak? Nenek yang biasa nyanyi Jawa, kini tengah menikmati bobo siang di kamar depan. Lama-kelamaan Budi dilanda kantuk nan dahsyat. 20 menit telah berlalu, nenek tak kunjung menyanyi. Satu menit lagi keadaan ini dibiarkan, maka dapat dipastikan Budi akan tidur dengan sentosa.
         Kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan, berjuang sekeras apapun, Budi tetap tak kuasa menahan kantuk. Dia pun tertidur pulas di depan tv dengan pose asusila, tangan kanan memegang jidat, jari kelingking tangan kirinya masuk ke hidung sambil melakukan gerakan ehm… mengupil, kaki kanan mengarah ke barat, sedangkan kaki kirinya ke tenggara. Ya ampuuun…

***

  “WAKTU HUJAN SORE-SORE…♫ Nananaannanaaa…♪”
            “Hmmm… hm… hm…,” Budi menggeliat-geliat di lantai, sambil berusaha sadarkan diri. Ternyata dia terbangun oleh suara nenek yang begitu syahdu mendayu. “Tumben ya nenek nyanyi lagu itu, waktu hujan sore-so... Hujan? Hujan?! HUJAN!!! JEMURAN!!! TIDAK!!! TIDAK!!!”

***

            “Assalamualaikum!” Ibu Budi telah tiba di rumah.
            “Waalaikumsalam…,” Budi dan nenek menjawab bersamaan.
            “Eh Ibu…, mau Budi bikinin teh anget bu?”
            “HWAH!” Ibu Budi syok. “Budi kamu sakit nak?”
            “Nggak…”
            “Kok tumben berbakti ke ibu.”
         “Ah, ibu mah… bisa aja…” Budi senyum-senyum tai ayam. “Bu, kok pulang ke rumah teh nggak semangat, bu?”
            “Hhh… ibu nggak menang arisan… Padahal ibu sudah pakai nama kamu.”
        “Ya udah atuh… Nggak usah dipikirin, sekarang mah kita harus mikirin gimana caranya, jemuran ibu bisa kering.”
            “Hah?”
            “Ng… itu… jemuran ibu…”
            “Kenapa jemuran ibu?!”
            “Jemuran ibu…”
            “Jemuran ibu…”
            “Basah semua…”
            “Basah semua… BASAH SEMUAAA? JEMURAN IBU NGGAK KAMU ANGKAT!!! MASYA ALLAH!!! BUDI… BUDI…!!!”

***

            “BUDI! Celana ayah mana?!”
            “Celana yang mana, ibu?”
            “Celana pendek kotak kuning!”
            “Oh…, yang ada rendanya?”
            “Iya. Celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Hmmm…”
            “DIMANA? Bukannya hm hm hm!”
            “Ya nggak tau atuh ibu.”
            “Tadi kan ibu jemur!”
            “Kebawa angin berarti, bu. Tadi kan ujan angin.”
            “Itu kan celana kesayangan ayah!”
            “Iya bu bener bener.”
            “GIMANA ATUH!!! Bukan bener bener!”
            “Nggak tau atuh ibu. Budi juga bingung besok pake seragam ato pake sarung.”

***

            Ibu Budi masih memikirkan celana pendek sang ayah yang imut lucu. Sementara Budi dan neneknya sedang asik menonton acara kriminal di tv sambil tertawa-tawa.
            “Budi itu bacaannya apa?” nenek Budi menunjuk tv.
            “Yang mana nek?”
            “Yang itu!”
            “Yang ini?”
            “Bukan!”
            “Oh… ini… masa’ nggak kebaca sih nek?”
         “Bukan! Euh…,  kamu mah jadi weh hilang tulisannya. Ambilin kaca mata nenek atuh kalo begitu.”
            “Dimana nek?” (PLUK)
            “Itu kesenggol sama kamu!”
            “Mana nek?” (PREK KREKEK KREKEK)
            “Di kaki kamu…”
            “Wah pecah nek!”
            “…,” nenek hanya bisa mengurut dada.
             
           BUDI, empat huruf yang memberi banyak arti. Sebuah nama yang begitu surgawi, tapi menjadi sangat tak manusiawi manakala disandang oleh anak onta yang satu ini. Begitulah cara dia menjalani hidup sehari-hari. Selalu membawa petaka bagi seluruh insan manusia disekitarnya.


            Budi, racun tetangga

            Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu dengan semangat proklamasi.
            “Ibu Budi! Ibu Budi!” suara dibalik pintu memanggil.
            “Iya, iya, tunggu sebentar!” (CKELEK) “Eh, bu Sukamti! Ada apa  bu?”
            “Ini punya ibu?” bu Sukamti menunjukkan suatu benda.
            “Ya ampun… celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Jadi ini punya ibu?”
            “Iya. Alhamdulillah ketemu.”
            “Saya sudah tanya ke semua tetangga tapi tak ada yang mau mengaku. Ternyata ini milik ibu.”
         “Iya. Punya saya.” Ibu Budi bicara sambil memeluknya, bukan memeluk bu Sukamti, tapi celana pendek kotak kuning renda jingga.
            “Hhh… gara-gara itu…”
            “Kenapa bu?”
            “Gara-gara itu anak saya terluka,” bu Sukamti berkaca-kaca.
            “Loh? Bagaimana bisa?”
           “Kemarin, anak saya sedang mandi hujan dengan riang gembira, tiba-tiba, barang itu menerpa mukanya, iya, TEPAT DIMUKANYA! Anak saya yang belum mempersiapkan diri tentu saja terkejut lalu terjatuh, di selokan, BENAR-BENAR DI SELOKAN, BAYANGKAN IBU BUDI! BAYANGKAN! Anak tak berdosa yang tak tahu apa-apa! Dia masih sangat kecil dan belum merasakan asam garam kehidupan! Anak yang malang! SUKAMTO! IBU PULANG NAK!” Bu Sukamti berlari-lari menuju rumahnya dengan gerakan yang begitu dramatis.

            “BUDIIIII!!!!! SINI KAMU!!!” Budi pun dihajar massa. Nggak ding, Budi dimarahi habis-habisan oleh ibunya.


            Budi, racun waria

           Budi keluar dari rumahnya sejenak, mencari udara segar. Dia merasa sangat putus asa, merasa hidupnya sangat tak berguna. Apa yang bisa dia berikan untuk temannya, ibunya, ayahnya, neneknya, tetangganya, bahkan untuk dirinya sendiri pun tak ada, pikirnya…
        Kakinya telah membawanya ke pasar Cijerah. Pusat kegiatan dan perbelanjaan orang Cijerah dan sekitarnya. Berjalan dengan tatapan kosong dan hampa, merasa hidupnya makin tak berguna.
            “Dik! Dik! Apa adik melihat seorang waria melintas disini?” Seseorang berpakaian hansip bertanya pada Budi.
            “Nggak pak.”
            “Ah bohong… pasti adik lihat.” Hansip berkata sambil tersenyum manja.
            “Nggak pak!”
            “Ah pasti adik lihat tapi malu mengatakannya, saya bisa melihat dari mata adik.”
            “Nggak pak. Ya ampun.”
            “Ah pasti adik meliha…”
       “Iya, iya, saya lihat, disana pak! Sembunyi dibalik karung beras!” Budi menunjukkan arah dan tempat yang asal, yang penting bebas dari hansip manis manja.
            “Makasih dek, gitu dong ah dari tadi, susah amat.” Hansip berkedip manja.

***

            “Dek ketangkep!” Hansip telah kembali dengan menggiring seorang waria.
            “Wah ketemu dimana pak?”
            “Di balik karung beras! Analisismu sangat hebat dik!”
       “Oh jadi anak curut ini yang kasih tau saya sembunyi dimana?!” waria tadi menunjuk-nunjuk jidat Budi. Waria yang sangat jauh dari kesan cantik. Jenggot, jakun, dan bulu dada yang wuw… keriting bow… membuat penampilannya tambah parah.
            “Nggak sengaja kok!”
        “Nggak sengaja, nggak sengaja! Padahal saya udah yakin nggak ada yang bisa menemukan saya dibalik karung itu.” waria itu melanjutkan.
        “Iya kamu sangat hebat dik! Bahkan saya yang sudah tau waria ini mencuri sekarung beras pun tidak dapat mengira keberadaannya,” sang hansip sempat menatap Budi dengan kagum sebelum pergi.
            “Dasar bedebah kamu anak onta! Tidak berguna! Anak tidak tau diuntung! Pergi kamu dari dunia! Tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi! Pergi! Bunuh dirimu sendiri sebelum simpatisanku mendatangi rumahmu! Menggerayangi mimpimu! Merasuki hidupmu!” Begitulah kira-kira kata perpisahan yang sempat diucapkan sang waria, seluruh kalimat caci maki dan sumpah serapah diucapkan.

            Budi semakin terpuruk dengan keputusasaan dan kehampaan akan hidup. Bahkan bagi seorang waria yang dia belum pernah kenal sebelumnya, dia tak lebih dari onggokan sampah. Tak berguna.


            Budi dan racun serangga

            “Bunuh dirimu sendiri… bunuh dirimu sendiri…,” kata-kata sang waria terus melekat dipikirannya.

            Di rumah Budi
            Tok tok tok, seseorang kembali mengetuk pintu rumah itu.
            “Iya sebentar.” (CEKELEK)
            “Bu ada kiriman!”
            “Subhanallah apa ini? Sungguh besar sekali!”
            “Nggak tau juga bu. Tapi kayaknya ibu menang undian bu.”
       “Subhanallah,” sang ibu histeris, menutup mulut dengan kedua tangan ala telenovela.
            “Tolong tanda tangan disini bu!”
          “Iya…,” Ibu Budi menandatangan dengan gemetar sambil melihat kardus tv 21 inchi didepannya. Telah terbayang masa depan indah yang akan disongsong bersama dengan tv itu.
            “Nenek! Kita dapat tipi baru!
            “Dari siapa? Baik sekali….”
          “Dari undian nek. Nama budi memang bawa hoki. Saya kan selalu pakai nama Budi untuk undian. Loh Budi dimana ya nek? Dari tadi nggak kelihatan.”
            “Nenek juga nggak tau. Tadi pergi kayaknya.”
        “Pergi kemana ya nek? Kok perasan saya nggak enak. Apa karena tadi dia dimarahin sama saya. Aduh nak cepatlah pulang. Tipi ini ada berkat kamu juga, nak.”
        “Iya, berkat Budi nenek jadi bisa ganti model kacamata. Impian nenek adalah punya kacamata mirip Madonna biar terlihat awet muda.”

            “Assalamualaikum!” ayah Budi yang bernama bapak Budi baru pulang kerja.
            “Waalaikumsalam!”
            “Ayah lihat ada tipi! Ini berkat Budi yah! Berkat Budi!”
            “Ada apa sih ini sebenarnya,” ayah Budi bertanya, meminta kejelasan.
        “Anak kita yah! Menangin undian, tapi dari tadi belum pulang juga. Nggak tau kenapa ibu jadi cemas, soalnya tadi ibu marahin dia.”
          “Bapak juga merasa nggak enak dari tadi. Padahal buang air besar sudah, ternyata ini masalahnya.”
          “Iya yah.”
         “Berkat Budi juga ayah bisa terlepas dari jeratan celana pendek kotak kuning renda jingga jahanam itu. Sudah lama ayah tidak mau memakai celana imut lucu itu tapi tak kuasa ayah melepaskan diri darinya.”
           “Benar yah. Ibu jadi lebih hati-hati menjemur pakaian sekarang, berkat Budi anak kita.”
         “Benar. Kacamata Madonna. Tergapai. Berkat Budi.” Nenek ikut bertukar pendapat.
            “Ayah, kita cari saja si Budi!”
            “Baik istriku!”
            “Baik menantuku!”
            “Nenek nggak usah ikut nek. Diluar banyak angin!”
            “Yah…,” nenek kecewa.

            Di sebuah jalan layang diatas tol
            Racun serangga telah ada dalam genggamannya. Tapi Budi masih terlalu bingung memilih, mati ditangan botol kecil berjudul ‘racun serangga aduhai dahsyatnya’, atau mati ditangan jalan tol yang padat di sore hari. Disebuah jalan layang menuju perumahan Gempol Sari dekat Cigondewah itu dia berpikir. Tapi kurang keren juga ya mati disini? Begitu pikirnya. Terlintas di benaknya wajah ibunda dan ayahanda tercinta, nenek serta tetangga juga teman sekelasnya. Budi semakin bingung. Bukankah bunuh diri itu dosa? Akankah seorang Budi dikalahkan oleh perkataan waria? Tidak! Tidak! Ini bukan diriku!

***

            “BUDIII!!! BUDIII!!!”
            Sebuah gorowok purba menghentaknya. Ayah dan bunda menjemputnya.
            “AYAAAH!!! IBUUU!!!”
            Disebuah sore nan jingga sejingga renda celana mereka berpelukan.

            “Budi maapkan ibu!”
            “Maapkan ayah juga!”
            “Budi yang seharusnya minta maap.”
            “Kamu pahlawan ayah!”
            “Pahlawan ibu juga, berkat kamu kita punya tipi baru, 21 pintu.”
            “Inchi bu.”
            “Iya inchi.”
            “Dari mana bu?”
            “Dari undian yang pakai nama kamu.”
            “Nenek gimana bu?”
            “Nenek bahagia bisa punya kacamata Madonna.”
            “Bu Sukamti dan Sukamto?”
            “Tadi ibu ketemu bu Sukamti, tak disangka dia berterima kasih karena anaknya, Sukamto, jadi trauma mandi hujan. Dia lebih takut anaknya tersambar petir, daripada tersambar celana kolor.”   
            “KAMI SEMUA SAYANG KAMU BUDI!”

TAMAT