The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Saturday, March 9, 2013

Heart Trip

     Bandung-Surabaya, aku duduk bersandar di kursi nyaman kereta Turangga sambil memandangi tiket yang baru saja dilubangi oleh petugas. Tidak biasanya pergi ke Stasiun Gubeng dengan kereta ini, kereta ber-gerbong eksekutif yang tiketnya dibelikan patungan oleh teman-teman komunitas fotografi yang lebih sering melakukan kegiatan nonton bareng atau makan siang bareng ketimbang hunting bareng atau serius berdiskusi foto. Baik sekali mereka, tertera nilai tiga ratus sembilan puluh lima ribu rupiah di tiket ini, yang jika dikonversi menjadi nilai mata uang anak kosan akan berharga empat puluh kali makan siang di Warung Tegal Bahari cabang mana saja di seluruh kota Bandung. Ah, bersyukur sekali aku punya mereka. Belum lagi tiket Mutiara Timur Malam dari Stasiun Gubeng menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang tersimpan rapi di tempat khusus dalam tas travel biru tuaku yang kalau tidak salah ingat, harganya seratus lima puluh lima ribu rupiah. Bukan itu saja, masih ada buku panduan wisata Lombok sebagai bekal ketiga dari mereka. Aih, curhat-curhatan tolol dua minggu yang lalu tentang impian menjelajahi tiga Gili di Lombok ternyata ditanggapi serius oleh mereka dengan tiket kereta dan buku itu, wuw. Dua tiket kereta ini memang yang paling mahal dalam budget perjalan Bandung-Lombok-ku. Harga tiket-tiket selanjutnya, seperti tiket feri dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk Bali, tiket bus Pelabuhan Gilimanuk ke Pelabuhan Padang Bai, dan lainnya sampai tiba di Lombok benar-benar tak ada apa-apanya dibanding harga tiket kereta ini, hahaa, mereka membiayai lebih dari lima puluh persen biaya perjalanan pergi. Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat ekspresi mereka kemarin siang, memberikan tiket dalam amplop merah muda sambil mengolok-ngolokku yang akhirnya bisa melaksanakan impian seumur hidup ini.



-------------------------------------------------------------------------



     “Eh, apa nih? Surat cinta?”
     “Ya, anggap aja begitu, buka gih.”
    “Bandung-Gubeng, Gubeng-Banyuwangi Baru,” kataku sambil mengernyit memandang tiket-tiket itu, masih bingung, “mm, ini.. ini.. YA AMPUN, AAAH, INI.. INIII..?” mereka berlima mengangguk cengengesan.
     “Nih,” salah satu dari mereka memberikan buku.
    “YA AMPUN, BENEEER, LOMBOOOK! AAAH!” air mata seketika menggenangi wajahku, satu-persatu mereka aku peluk erat sambil berucap terima kasih, dandanan hebohku hari itu hancur dalam 10 detik saja.
     “Liat dulu tanggalnya Ran, hahaa.”
  “Mm, 23 Juni, yang ini 22 Juni” gumamku sambil melihat tanggal keberangkatan di tiket atas nama Maharani Senja, “GILAK, BESOK MALEM! Ah, gila, kalian hobi ya ngerjain orang.”
     “Hahaa, packing yang bener ya, jangan ketiduran malem ini.”
     “Gilaaa, hari ini kan cape bangeeet, ini sih nyiksaaa...."
     "Oh, jadi nggak mau nih? Ambil lagi nih ya tiketnya?"
     "Eh, jangaaan, nggak kok nggak, ini hadiah paling keren se-Nusantara!"
    “Hahaa, semangat packing-nya ya Raniii!” beberapa dari mereka menepuk-nepuk pundakku untuk menyemangati.
    “Eh, tapi, keluargaku kan lagi banyak yang dateng ke Bandung nih, masa ditinggal, mereka sedih dong nanti ga ada yang bisa ngajak jalan-jalan....”
    “Udah diatuuur, Revi udah minta izin ke orang tua kamu, cuti kantor aja udah diurusin Gita, keren kan kita.”
    “Banget, kalian keren, banget...,” speechless, tak ada kata lagi yang tertutur dari mulutku, hanya bisa mengusap lelehan air mata bercampur maskara yang ternyata tak teruji ke-waterproof-annya.
    “Cieee, yang terharu...,” Revi, yang paling dekat denganku, menggodaiku sambil memberikan tisu wajah yang, duh, mbok ya dari tadi toh ngasih tisu-nya, berbagai cairan wajah ini sudah terlanjur diusap dengan ujung lengan baju nih, huu....
    "Iya nih, kalian bisa banget bikin terharu gini, by the way, kok ngasihnya tiket kereta sih, pesawat kek...."
     "Ish, ni anak emang keterlaluan ya, dikasih hati minta dendeng balado. Kan biar berasa perjalanannya Ran, naik pesawat, yaaah, merem dikit udah nyampe, apa bedanya coba sama naik jin?"
     "Nggak tau sih ya bedanya apa, belum pernah naik jin soalnya, ahahahaa."
     "Ya... gitu deh Ran, kita emang cuma mampu beliin itu sih...."
   "Iya sayangkuuu, ya ampun, ini tuh udah yang paling hebat yang bisa seorang Maharani terima dari teman-temannya yang super perhatian dan baik hati tau," air mata meleleh lagi, "tuh kan aaah, jadi nangis lagiii, huaaa, kaliaaan," aku peluk yang berdiri paling dekat denganku, Gita.
     "Udah, udah Ran, itu maskara kemana-mana, mata kamu liat, sembab gitu, kayak mahasiswa baru nggak kuat begadang."
   "Iya, hee," aku mengusap lagi mataku, lalu memberikan senyum manis untuk kelima sahabat terbaik itu, "maskara kalian juga leleh tuh, eh, by the way, tiket pulangnya mana nih? Kok perginya doang?"
    "Ih, bener-bener anak gak tau diri ya, itu tiketnya udah double combo gitu, masih minta buat pulang, ngeselin ya, yuk ah tinggalin."
   "Huahahahaa...," mereka pun berlalu seiring tawa bahagiaku untuk memburu makanan-makanan yang tersaji di acara kemarin siang.



-------------------------------------------------------------------------


   Ah, harusnya aku sudah tidur dari tadi, perjalanan masih panjang, dan punggung masih terasa pegal akibat acara packing yang tiba-tiba. Tapi, selelah apapun, aku memang belum mampu tertidur, entahlah mengapa, mungkin karena terlalu dingin. Aku menaikkan ritsleting jaketku sambil tersenyum melihat orang di sampingku, hm, selimut dan bantal hijau kereta api terlihat sangat mampu membuatnya tertidur nyenyak. Wajahnya yang terbalut lelah dan nyaman sungguh damai dilihat, ah, tapi ini juga tidak akan bisa membuatku tertidur. Aku mulai mengotak-atik music player di tangan kananku yang berisi tujuh ratusan lagu, memasang neckband earphone di telinga, dan mulai memandang jendela. Jika tidak sedang masuk terowongan kereta atau melewati pesawahan, hutan, dan tebing, akan ada pemandangan kerlap-kerlip lampu yang sangat aku suka. Berpendar lembut di kejauhan, kadang aku dengan sengaja menyipitkan mata supaya cahayanya semakin buram dan menampilkan ilusi depht of field yang menarik.

     Raindrops on roses and whiskers on kittens
     Bright copper kettles and warm woolen mittens
     Brown paper packages tied up with strings
     These are a few of my favorite things

     Deg, lagu ini menerbangkan khayal pada hari itu....

-------------------------------------------------------------------------

    “Tebak, tebak, ini siapa,” sepasang tangan menutupi mataku dari belakang, mm, lebih tepatnya, menutupi wajahku.
     “Ya kamuuu, siapa lagi.”
    “Kamu siapaaa?” suara berat itu menggodaiku, kalau sekarang dipikir-pikir lagi, cara menggodai yang satu ini so last decade banget ya, hahaa.
   “Renooo, siapa lagi yang punya tangan sebesar dan sekasar kamuuu, kayaknya kalo waktu SD orang lain main benteng-bentengan, kamu mah main tepokan tazoz sama banteng ya,” kataku sambil berusaha melepaskan tangan besar itu dari wajahku.
    “AHAHAHAAA! Ini kan tangan seniman, mesti kuat dan kokoh, hahahaa,” tawanya yang serenyah potato-chips-mahal-yang-tetap-saja-sering-kubeli-walaupun-sadar-perbandingan-antara-udara-dan-potato-chips-nya-semakin-timpang-setiap-tahunnya menghiasi halaman Fakultas Seni Rupa dan Desain sore itu.
    “Cih, kecuali pekerjaan senimanmu nanti membutuhkan kemampuan ngaduk semen yang handal, kamu ga butuh-butuh amat tangan kuat dan kokoh tau, mleee,” kataku sambil melepas earphone yang tadi sedang memainkan lagu untuk mengobati bosan.
     “Hahaa, iya deh iya, udah lama nunggu?”
   “Lamaaa bangeeet,” kataku pura-pura kesal sambil memanyunkan bibirku, yang saat itu aku pikir akan terlihat imut, yang nyatanya, setelah baru-baru ini aku praktikkan di depan cermin, terlihat sama mengerikan seperti Ronald Mc Don*ld dipaksa nyengir.
     “Duuuh, ngambek, jangan manyun gitu dong, nanti cantiknya ilang.”
     “Cantiknya aku itu long lasting kayak lipstik mahal tau, ga akan pudar cuma karena manyun doang, huh,” kataku sambil memanyunkan bibir lebih lagi, nggak peduli apa kata Reno, yang belakangan baru aku sadar kalau apa yang dia bilang benar adanya, ahahaa.
    “Iya, percayaaa, maafin dong maafin, nih, nih, chupa ch*ps stoberi,” Reno mengeluarkan lolipop dari saku jaketnya, lolipop yang sudah beberapa tahun ini tak pernah lagi menjadi kesukaanku.
     “Hehee,” cengirku lebar menerima lolipop itu.
   “Lagi dengerin apa tuh?” Reno menunjuk kabel earphone dengan lirikan matanya. 
     “Oh, tadi lagi denger My Favorite Things, lagi suka banget nih sama lagu ini, hihii.”
     “Gimana, gimana, lagunya?”
     “Nih,” aku menyodorkan earphone itu.
   “Nggak, nggak, bukan denger pake ini, coba, coba, gimana, mau denger,” Reno menunjukku.
     “Eh? Aku? Aku yang lalalalalala-nya?”
     “Iya, kamu yang lalalalalala-nya” senyum Reno.
    “Oke, ehm, ehm, raindrops on roses and whiskers on kittens, bright copper kettles and warm woolen mittens, brown paper packages tied up with strings, these are a few of my favorite things.... Udah ya, malu, hehee," dengan suara sangat seadanya, aku menyanyikan lagu itu untuknya.
     "Hehee, bagus, bagus. Eh, tadi terakhirnya gimana kalimatnya?"
     "Terakhirnya? Mm, these are a few of my favorite things...."
   “Ah, and this...,” Reno menepuk pundakku sambil tersenyum, “...is my favorite thing.
 “Ish...,” aku meninju lengannya, kemudian menunduk, untuk menyembunyikan sebulir air mata yang meleleh. Tapi Reno juga menunduk, mencari wajahku.
     “Cieee, ada yang terharuuu....”
   “Ngeseliiin, ahahahaa,” aku mengejarnya yang berlari pelan ke tempat parkir.

-------------------------------------------------------------------------

     Reno, satu nama yang pernah membuatku mengkhayalkan betapa cocoknya jika Rani-Reno tertera dalam sebuah undangan pernikahan warna biru laut, hahaa, absurd. Di mana dia sekarang? Sedang bersama pacarnya yang hitam manis berambut indah itu? Atau pacarnya yang semampai bergingsul manis? Atau kedua pacarnya itu berakhir sama sepertiku, melihatnya sedang berpacaran dengan dua gadis lain dan kemudian dua gadis itu juga melihatnya berpacaran lagi dengan dua gadis lainnya? Lalu dua gadis lainnya itu... ah, kusut. Mengingat ini, bisa membuatku membayangkan betapa sesak dan menyakitkannya udara Bandung untuk dihirup saat itu, saat dimana menjalani hidup sama susah dan tak mungkinnya seperti halnya membalikkan telapak tangan, tangan gorilla. Bukan cuma sakit karena dikhianati saja, tapi juga harus menjalani hidup penuh kegilaan akan penghargaan diri, hidup sambil melawan arus rendah diri yang parah. Aku kurang apa? Kurang apa? Kurang apa? Oh iya, kurang cantik, kurang baik, kurang menyenangkan, kurang dewasa, kurang pintar dan kurang lain-lain. Pontang-panting berusaha menunjukkan pada dunia kalau aku tak layak dikhianati, huuuh, berat. Untungnya, yang tersisa sekarang hanya bayangannya saja, tidak ada lagi sensasi sakit mengingat masa sulit itu.
    Rani, skip that song. Tangan kananku meraih music player dan menekan salah satu tombolnya, mencoba fokus lagi pada pemandangan yang menyejukkan mata, bahkan fokus pada dinginnya udara, dengan harapan bisa membekukan kenangan yang tak layak dikenang. Brrr, malam ini, aku menyadari satu hal, bahwa tubuh ini, sebagaimana layaknya lebih cocok dengan makanan warung tegal, juga lebih cocok dengan gerbong bisnis. Aku pun menarik lagi tudung jaketku, juga membawa kedua tanganku masuk lebih dalam ke lengan jaket, baru kali ini aku mensyukuri panjang tungkai depan yang pendek ini.

     Nobody gonna love me better
     I must stick with you forever
     Nobody gonna take me higher
     I must stick with you

    Lirik ini, hahaa, aku baru sadar music player sedang memainkan lagu ini saat kereta tiba-tiba memasuki terowongan kereta, yang membuat pemandangan indah pendar-pendar lampu di kejauhan hilang seketika. Ingatanku melayang lagi ke sana.

-------------------------------------------------------------------------

     “Ran, enak ya lagunya.”
     “HAH?”
     “LAGUNYA, ENAK,” ucap orang di sebelahku sekali lagi, di tengah riuh suara pentas seni kecil-kecilan sekolahku.
   “Oh, hehee, iya, asik ya, sebenernya baru kemarin sih denger lagu ini di radio, langsung suka,” kataku bertatapan dengan Fariz, lebih mengeluarkan bentuk-bentuk bibir dan gerakan tangan ketimbang suara, percuma soalnya, agak sulit terdengar.
     “Hehee, beli minum yuk,” Fariz menunjuk booth minuman yang berjarak tak jauh dari kami.
    “Nggak ah, tadi udah jajan, duitnya nyisa buat ngangkot aja,” cengirku polos.
   “Aku jajanin deh, yuk,” tangan Fariz menarik tanganku menuju tempat membeli minum. Menit-menit berikutnya, entah mengapa aku begitu fokus dengan cup minuman di hadapanku, kecanggungan dan kegugupan ini membuatku sangat tertarik memperhatikan sedotan putih berulir merah ini ketimbang ngobrol sambil menatap muka Fariz. Ini memang pertama kalinya aku merasa begitu dekat dengan lawan jenis.

-------------------------------------------------------------------------

    “Rani,” Fariz menghampiriku di kantin sekolah sambil mencubit pipiku, lalu duduk di depanku. Oh Rani muda, betapa polosnya dirimu saat itu, kok ya mau-maunya dicubit-cubit pipi begitu aja, pikirku sekarang.
    “Eh, Riz, kenapa?” ujarku sambil memasang senyum paling manis yang bisa aku tampilkan kepadanya.
     “Mm....”
   “Eh, suram gitu, kamu nggak lulus? Aku aja lulus, cum laude,” kataku mencontek kata cum laude dari tayangan wawancara Putri Indonesia, yang kalau diingat lagi sekarang, dan kalau Fariz juga mengingatnya sekarang, pasti akan bisa tertawa kecil seperti yang aku lakukan sekarang.
     “Hahaa, lulus kok, hee.”
     “Nah terus kenapa?”
     “Mm, kamu nerusin kuliahnya tetep di Bandung sini kan ya?"
     "Iya Riz, malah aku udah daftar ujian-ujian masuk gitu, siapa tau SPMB-nya nggak lulus, hee. Kalo kamu?"
     "Mm, orang tua nyuruh aku kuliah di luar.”
     “Luar? Negeri?”
     “Iya,” Fariz mengangguk.
   “Wah, keren dong, dimana?” kataku seadanya, yang sudah tertular kesuraman Fariz, biar bagaimana pun, Fariz sudah punya tempat tersendiri di hati saat itu, setelah satu cup minuman yang dibelikannya di pentas seni, oh Rani muda, kavling hatimu murah sekali.
     “Keren sih, tapi kan jadi nggak bisa ketemu kamu lagi. Di Ostrali.”
   “Oh, ya udah, Fariz liat aja bule-bule Aussie cantik di sana, nggak jauh bedanya kok sama aku,” aku menunduk, berharap getaran dalam suaraku tidak terdengar.
    “Hee, iya, Rani baca ini ya nanti di rumah,” Fariz menyodorkan lipatan kertas hvs, yang aku terima sambil mengangguk, sebuah surat.

-------------------------------------------------------------------------

Maharani Senja,
Aku mau ngaku beberapa hal ke kamu. Pertama, sejak kamu lari-lari nyusul aku yang lupa ambil uang kembalian dari kantin, aku pikir kamu imut banget. Kedua, aku nggak suka lagu Stick With You, kurang laki-laki untuk telingaku, hee. Ketiga, aku bilang lagu itu enak, supaya di PenSi waktu itu bisa ngajak ngobrol kamu yang ditinggal temen-temen kamu ke toilet. Sampai sekarang, aku masih nyesel, kenapa temen-temen kamu nggak kebelet pipis waktu Pas Band atau Nine Ball yang naik panggung, jadi pilihan lagu aku nggak terlalu feminin, hahaa. Keempat, aku suka kamu. Kelima, kayak kata lagu, I must stick with you forever. Keenam, kalau kamu suka aku juga, dan setuju sama lirik lagu itu, kamu tungguin aku pulang ya, soalnya, yang ketujuh, mm, aku suka kamu, hee, banget. Tenang aja, aku nggak akan kuliah sampe tujuh tahun. Aku bakal lulus kuliah 4 tahun dan pulang untuk kamu.
Fariz Rizki Ramdhani

-------------------------------------------------------------------------

     Fariz, sudah lebih dari tujuh tahun dan kamu belum juga menemuiku. Tanpa telepon, tanpa pesan, tanpa email, tanpa testimonial di friendster, tanpa tanda-tanda keberadaan apa pun. Kamu hilang. Satu setengah tahun berlalu, aku menemukan akun facebook-mu dengan status in relationship with perempuan Asia Timur cantik. Dasar (cinta)monyet! Kamu lah cikal bakal istilah PHP di dunia.
    Ah, dingin ini, nyatanya, ingatan tentang Fariz sang cinta monyet saat SMA yang menyebalkan pun tak mampu membuat tubuhku hangat. Dingin ini membuatku menyerah, selimut hijau kereta api yang diniatkan untuk aku pakai ketika dingin sudah memuncak akhirnya aku bentangkan juga di tubuhku. Ah, sudah lebih hangat dan nyaman sekarang. Aku lebih menghenyakkan diri lagi di sandaran kursi empuk kereta berwarna biru tua ini.
   Tapi, duh, perutku terasa kembung sekarang. Duhai masuk angin, mengapa kau harus datang di acara perjalanan impian ini sih? Untungnya, walaupun dengan packing yang terburu-buru, aku sempat menyiapkan obat masuk angin untuk dibawa. Aku mulai mencari obat masuk angin kemasan sachet di tas kecilku, tidak ada. Oh iya, ada di kantong depan tas yang disimpan di kabin. Susah payah aku berdiri dan berusaha mengambil obat masuk angin itu, ah, dapat juga akhirnya.
    “Dari tadi belum tidur?” sambil memeriksa jam, orang di sebelahku berkata.
  “Eh, kebangun ya? Maaaaf. Hee, iya, belum bisa tidur,” kataku sambil membuka lalu menyeruput obat masuk angin itu.
     “Itu kenapa? Masuk angin?” Dia melihat ke arah obat masuk anginku.
     “Iya, hee.”
  “Kedinginan ya?” senyum hangat menghiasi wajahnya, senyum yang membuat wajahnya semakin tampan.
    “Iya,” aku mengangguk.
     “Kamu kayaknya mesti diangetin deh.”
     "Di...angetin...?"
     "Iya," dibukanya kaca mata coklat tua yang memperlihatkan mata tajamnya, lalu wajah itu mendekat ke wajahku yang masih menyeruput obat masuk angin, memegang kedua pundakku, lalu mengucapkan satu-persatu kata dengan tegas, “Rani-aku-cinta-kamu.”   
   Deg, rangkaian kata itu, suara itu, dan tatapan mata itu, seketika membuatku meleleh dan tak bisa berkata banyak.
     "Udah jadi anget kan?"
     "Mm...."
     "Ah..., terpesona ya?”
  “Ng..., nggak kok, nggak,” tangan kananku mengambil kacamata dari tangannya, “kamu..., kalo ngomongnya deket-deket begitu..., matanya jadi juling...,” aku sudahi kalimat sembarangku dengan memasangkan kembali kacamata coklat tua itu di wajahnya.
     “Hahaa, juling juga tetep ganteng kan."
     "Mm, biasa aja tuh," yap, bohong.
    "Hehee. Oh iya, maaf ya tadi langsung ketiduran gitu aja, makasih juga udah diselimutin,” katanya sambil tersenyum, ya, senyum itu lagi, menyebalkan, kenapa masih saja jantung ini berdebar keras tiap kali senyum itu merekah.
   “Iya,” kataku sambil membalas senyumnya.
   “Kamu manis ya kalo senyum, hee.”
  “Ish, udah setua ini kamu baru sadar aku manis? Sungguh puluhan tahun dalam kesia-siaan ya hidupmu selama ini.”
     “Hahaa, nggak kok, udah nyadar sejak..., mm....”
     “Sejaaak?”
     “Sejak barusan, hahaa....”
     “Ih, nyebeliiin,” aku tinju-tinju kecil lengannya.
     “Hee, sini manis, sini, tidur senderan sini, biar anget.”
    “Iya.” Aku pun segera bersandar di sana, di tempat untuk tidur yang paling nyaman sejagat raya, di lengan pria yang kemarin pagi mengucapkan ijab qabul dengan lantang bagiku.
     “I love you, honey,” bisiknya.
   “I love you too,” kalimatku dan debaran jantung yang bisa ia rasakan ini sepertinya sudah sangat cukup untuk membuatnya yakin, bahwa aku pun mencintainya, sepenuh hati.

-------------------------------------------------------------------------

   Subuh keesokan harinya, aku terbangun, terdiam beberapa saat, lalu menulis di jurnal pribadiku, “heart trip, hati ini, mungkin sudah berkelana dan singgah ke banyak dermaga yang salah, tapi, akan tiba saat di mana hati ini berhenti, menemukan kembaran rasa, lalu melaju lagi bersama-sama.”

TAMAT

Saturday, March 9, 2013

Heart Trip

     Bandung-Surabaya, aku duduk bersandar di kursi nyaman kereta Turangga sambil memandangi tiket yang baru saja dilubangi oleh petugas. Tidak biasanya pergi ke Stasiun Gubeng dengan kereta ini, kereta ber-gerbong eksekutif yang tiketnya dibelikan patungan oleh teman-teman komunitas fotografi yang lebih sering melakukan kegiatan nonton bareng atau makan siang bareng ketimbang hunting bareng atau serius berdiskusi foto. Baik sekali mereka, tertera nilai tiga ratus sembilan puluh lima ribu rupiah di tiket ini, yang jika dikonversi menjadi nilai mata uang anak kosan akan berharga empat puluh kali makan siang di Warung Tegal Bahari cabang mana saja di seluruh kota Bandung. Ah, bersyukur sekali aku punya mereka. Belum lagi tiket Mutiara Timur Malam dari Stasiun Gubeng menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang tersimpan rapi di tempat khusus dalam tas travel biru tuaku yang kalau tidak salah ingat, harganya seratus lima puluh lima ribu rupiah. Bukan itu saja, masih ada buku panduan wisata Lombok sebagai bekal ketiga dari mereka. Aih, curhat-curhatan tolol dua minggu yang lalu tentang impian menjelajahi tiga Gili di Lombok ternyata ditanggapi serius oleh mereka dengan tiket kereta dan buku itu, wuw. Dua tiket kereta ini memang yang paling mahal dalam budget perjalan Bandung-Lombok-ku. Harga tiket-tiket selanjutnya, seperti tiket feri dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk Bali, tiket bus Pelabuhan Gilimanuk ke Pelabuhan Padang Bai, dan lainnya sampai tiba di Lombok benar-benar tak ada apa-apanya dibanding harga tiket kereta ini, hahaa, mereka membiayai lebih dari lima puluh persen biaya perjalanan pergi. Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat ekspresi mereka kemarin siang, memberikan tiket dalam amplop merah muda sambil mengolok-ngolokku yang akhirnya bisa melaksanakan impian seumur hidup ini.



-------------------------------------------------------------------------



     “Eh, apa nih? Surat cinta?”
     “Ya, anggap aja begitu, buka gih.”
    “Bandung-Gubeng, Gubeng-Banyuwangi Baru,” kataku sambil mengernyit memandang tiket-tiket itu, masih bingung, “mm, ini.. ini.. YA AMPUN, AAAH, INI.. INIII..?” mereka berlima mengangguk cengengesan.
     “Nih,” salah satu dari mereka memberikan buku.
    “YA AMPUN, BENEEER, LOMBOOOK! AAAH!” air mata seketika menggenangi wajahku, satu-persatu mereka aku peluk erat sambil berucap terima kasih, dandanan hebohku hari itu hancur dalam 10 detik saja.
     “Liat dulu tanggalnya Ran, hahaa.”
  “Mm, 23 Juni, yang ini 22 Juni” gumamku sambil melihat tanggal keberangkatan di tiket atas nama Maharani Senja, “GILAK, BESOK MALEM! Ah, gila, kalian hobi ya ngerjain orang.”
     “Hahaa, packing yang bener ya, jangan ketiduran malem ini.”
     “Gilaaa, hari ini kan cape bangeeet, ini sih nyiksaaa...."
     "Oh, jadi nggak mau nih? Ambil lagi nih ya tiketnya?"
     "Eh, jangaaan, nggak kok nggak, ini hadiah paling keren se-Nusantara!"
    “Hahaa, semangat packing-nya ya Raniii!” beberapa dari mereka menepuk-nepuk pundakku untuk menyemangati.
    “Eh, tapi, keluargaku kan lagi banyak yang dateng ke Bandung nih, masa ditinggal, mereka sedih dong nanti ga ada yang bisa ngajak jalan-jalan....”
    “Udah diatuuur, Revi udah minta izin ke orang tua kamu, cuti kantor aja udah diurusin Gita, keren kan kita.”
    “Banget, kalian keren, banget...,” speechless, tak ada kata lagi yang tertutur dari mulutku, hanya bisa mengusap lelehan air mata bercampur maskara yang ternyata tak teruji ke-waterproof-annya.
    “Cieee, yang terharu...,” Revi, yang paling dekat denganku, menggodaiku sambil memberikan tisu wajah yang, duh, mbok ya dari tadi toh ngasih tisu-nya, berbagai cairan wajah ini sudah terlanjur diusap dengan ujung lengan baju nih, huu....
    "Iya nih, kalian bisa banget bikin terharu gini, by the way, kok ngasihnya tiket kereta sih, pesawat kek...."
     "Ish, ni anak emang keterlaluan ya, dikasih hati minta dendeng balado. Kan biar berasa perjalanannya Ran, naik pesawat, yaaah, merem dikit udah nyampe, apa bedanya coba sama naik jin?"
     "Nggak tau sih ya bedanya apa, belum pernah naik jin soalnya, ahahahaa."
     "Ya... gitu deh Ran, kita emang cuma mampu beliin itu sih...."
   "Iya sayangkuuu, ya ampun, ini tuh udah yang paling hebat yang bisa seorang Maharani terima dari teman-temannya yang super perhatian dan baik hati tau," air mata meleleh lagi, "tuh kan aaah, jadi nangis lagiii, huaaa, kaliaaan," aku peluk yang berdiri paling dekat denganku, Gita.
     "Udah, udah Ran, itu maskara kemana-mana, mata kamu liat, sembab gitu, kayak mahasiswa baru nggak kuat begadang."
   "Iya, hee," aku mengusap lagi mataku, lalu memberikan senyum manis untuk kelima sahabat terbaik itu, "maskara kalian juga leleh tuh, eh, by the way, tiket pulangnya mana nih? Kok perginya doang?"
    "Ih, bener-bener anak gak tau diri ya, itu tiketnya udah double combo gitu, masih minta buat pulang, ngeselin ya, yuk ah tinggalin."
   "Huahahahaa...," mereka pun berlalu seiring tawa bahagiaku untuk memburu makanan-makanan yang tersaji di acara kemarin siang.



-------------------------------------------------------------------------


   Ah, harusnya aku sudah tidur dari tadi, perjalanan masih panjang, dan punggung masih terasa pegal akibat acara packing yang tiba-tiba. Tapi, selelah apapun, aku memang belum mampu tertidur, entahlah mengapa, mungkin karena terlalu dingin. Aku menaikkan ritsleting jaketku sambil tersenyum melihat orang di sampingku, hm, selimut dan bantal hijau kereta api terlihat sangat mampu membuatnya tertidur nyenyak. Wajahnya yang terbalut lelah dan nyaman sungguh damai dilihat, ah, tapi ini juga tidak akan bisa membuatku tertidur. Aku mulai mengotak-atik music player di tangan kananku yang berisi tujuh ratusan lagu, memasang neckband earphone di telinga, dan mulai memandang jendela. Jika tidak sedang masuk terowongan kereta atau melewati pesawahan, hutan, dan tebing, akan ada pemandangan kerlap-kerlip lampu yang sangat aku suka. Berpendar lembut di kejauhan, kadang aku dengan sengaja menyipitkan mata supaya cahayanya semakin buram dan menampilkan ilusi depht of field yang menarik.

     Raindrops on roses and whiskers on kittens
     Bright copper kettles and warm woolen mittens
     Brown paper packages tied up with strings
     These are a few of my favorite things

     Deg, lagu ini menerbangkan khayal pada hari itu....

-------------------------------------------------------------------------

    “Tebak, tebak, ini siapa,” sepasang tangan menutupi mataku dari belakang, mm, lebih tepatnya, menutupi wajahku.
     “Ya kamuuu, siapa lagi.”
    “Kamu siapaaa?” suara berat itu menggodaiku, kalau sekarang dipikir-pikir lagi, cara menggodai yang satu ini so last decade banget ya, hahaa.
   “Renooo, siapa lagi yang punya tangan sebesar dan sekasar kamuuu, kayaknya kalo waktu SD orang lain main benteng-bentengan, kamu mah main tepokan tazoz sama banteng ya,” kataku sambil berusaha melepaskan tangan besar itu dari wajahku.
    “AHAHAHAAA! Ini kan tangan seniman, mesti kuat dan kokoh, hahahaa,” tawanya yang serenyah potato-chips-mahal-yang-tetap-saja-sering-kubeli-walaupun-sadar-perbandingan-antara-udara-dan-potato-chips-nya-semakin-timpang-setiap-tahunnya menghiasi halaman Fakultas Seni Rupa dan Desain sore itu.
    “Cih, kecuali pekerjaan senimanmu nanti membutuhkan kemampuan ngaduk semen yang handal, kamu ga butuh-butuh amat tangan kuat dan kokoh tau, mleee,” kataku sambil melepas earphone yang tadi sedang memainkan lagu untuk mengobati bosan.
     “Hahaa, iya deh iya, udah lama nunggu?”
   “Lamaaa bangeeet,” kataku pura-pura kesal sambil memanyunkan bibirku, yang saat itu aku pikir akan terlihat imut, yang nyatanya, setelah baru-baru ini aku praktikkan di depan cermin, terlihat sama mengerikan seperti Ronald Mc Don*ld dipaksa nyengir.
     “Duuuh, ngambek, jangan manyun gitu dong, nanti cantiknya ilang.”
     “Cantiknya aku itu long lasting kayak lipstik mahal tau, ga akan pudar cuma karena manyun doang, huh,” kataku sambil memanyunkan bibir lebih lagi, nggak peduli apa kata Reno, yang belakangan baru aku sadar kalau apa yang dia bilang benar adanya, ahahaa.
    “Iya, percayaaa, maafin dong maafin, nih, nih, chupa ch*ps stoberi,” Reno mengeluarkan lolipop dari saku jaketnya, lolipop yang sudah beberapa tahun ini tak pernah lagi menjadi kesukaanku.
     “Hehee,” cengirku lebar menerima lolipop itu.
   “Lagi dengerin apa tuh?” Reno menunjuk kabel earphone dengan lirikan matanya. 
     “Oh, tadi lagi denger My Favorite Things, lagi suka banget nih sama lagu ini, hihii.”
     “Gimana, gimana, lagunya?”
     “Nih,” aku menyodorkan earphone itu.
   “Nggak, nggak, bukan denger pake ini, coba, coba, gimana, mau denger,” Reno menunjukku.
     “Eh? Aku? Aku yang lalalalalala-nya?”
     “Iya, kamu yang lalalalalala-nya” senyum Reno.
    “Oke, ehm, ehm, raindrops on roses and whiskers on kittens, bright copper kettles and warm woolen mittens, brown paper packages tied up with strings, these are a few of my favorite things.... Udah ya, malu, hehee," dengan suara sangat seadanya, aku menyanyikan lagu itu untuknya.
     "Hehee, bagus, bagus. Eh, tadi terakhirnya gimana kalimatnya?"
     "Terakhirnya? Mm, these are a few of my favorite things...."
   “Ah, and this...,” Reno menepuk pundakku sambil tersenyum, “...is my favorite thing.
 “Ish...,” aku meninju lengannya, kemudian menunduk, untuk menyembunyikan sebulir air mata yang meleleh. Tapi Reno juga menunduk, mencari wajahku.
     “Cieee, ada yang terharuuu....”
   “Ngeseliiin, ahahahaa,” aku mengejarnya yang berlari pelan ke tempat parkir.

-------------------------------------------------------------------------

     Reno, satu nama yang pernah membuatku mengkhayalkan betapa cocoknya jika Rani-Reno tertera dalam sebuah undangan pernikahan warna biru laut, hahaa, absurd. Di mana dia sekarang? Sedang bersama pacarnya yang hitam manis berambut indah itu? Atau pacarnya yang semampai bergingsul manis? Atau kedua pacarnya itu berakhir sama sepertiku, melihatnya sedang berpacaran dengan dua gadis lain dan kemudian dua gadis itu juga melihatnya berpacaran lagi dengan dua gadis lainnya? Lalu dua gadis lainnya itu... ah, kusut. Mengingat ini, bisa membuatku membayangkan betapa sesak dan menyakitkannya udara Bandung untuk dihirup saat itu, saat dimana menjalani hidup sama susah dan tak mungkinnya seperti halnya membalikkan telapak tangan, tangan gorilla. Bukan cuma sakit karena dikhianati saja, tapi juga harus menjalani hidup penuh kegilaan akan penghargaan diri, hidup sambil melawan arus rendah diri yang parah. Aku kurang apa? Kurang apa? Kurang apa? Oh iya, kurang cantik, kurang baik, kurang menyenangkan, kurang dewasa, kurang pintar dan kurang lain-lain. Pontang-panting berusaha menunjukkan pada dunia kalau aku tak layak dikhianati, huuuh, berat. Untungnya, yang tersisa sekarang hanya bayangannya saja, tidak ada lagi sensasi sakit mengingat masa sulit itu.
    Rani, skip that song. Tangan kananku meraih music player dan menekan salah satu tombolnya, mencoba fokus lagi pada pemandangan yang menyejukkan mata, bahkan fokus pada dinginnya udara, dengan harapan bisa membekukan kenangan yang tak layak dikenang. Brrr, malam ini, aku menyadari satu hal, bahwa tubuh ini, sebagaimana layaknya lebih cocok dengan makanan warung tegal, juga lebih cocok dengan gerbong bisnis. Aku pun menarik lagi tudung jaketku, juga membawa kedua tanganku masuk lebih dalam ke lengan jaket, baru kali ini aku mensyukuri panjang tungkai depan yang pendek ini.

     Nobody gonna love me better
     I must stick with you forever
     Nobody gonna take me higher
     I must stick with you

    Lirik ini, hahaa, aku baru sadar music player sedang memainkan lagu ini saat kereta tiba-tiba memasuki terowongan kereta, yang membuat pemandangan indah pendar-pendar lampu di kejauhan hilang seketika. Ingatanku melayang lagi ke sana.

-------------------------------------------------------------------------

     “Ran, enak ya lagunya.”
     “HAH?”
     “LAGUNYA, ENAK,” ucap orang di sebelahku sekali lagi, di tengah riuh suara pentas seni kecil-kecilan sekolahku.
   “Oh, hehee, iya, asik ya, sebenernya baru kemarin sih denger lagu ini di radio, langsung suka,” kataku bertatapan dengan Fariz, lebih mengeluarkan bentuk-bentuk bibir dan gerakan tangan ketimbang suara, percuma soalnya, agak sulit terdengar.
     “Hehee, beli minum yuk,” Fariz menunjuk booth minuman yang berjarak tak jauh dari kami.
    “Nggak ah, tadi udah jajan, duitnya nyisa buat ngangkot aja,” cengirku polos.
   “Aku jajanin deh, yuk,” tangan Fariz menarik tanganku menuju tempat membeli minum. Menit-menit berikutnya, entah mengapa aku begitu fokus dengan cup minuman di hadapanku, kecanggungan dan kegugupan ini membuatku sangat tertarik memperhatikan sedotan putih berulir merah ini ketimbang ngobrol sambil menatap muka Fariz. Ini memang pertama kalinya aku merasa begitu dekat dengan lawan jenis.

-------------------------------------------------------------------------

    “Rani,” Fariz menghampiriku di kantin sekolah sambil mencubit pipiku, lalu duduk di depanku. Oh Rani muda, betapa polosnya dirimu saat itu, kok ya mau-maunya dicubit-cubit pipi begitu aja, pikirku sekarang.
    “Eh, Riz, kenapa?” ujarku sambil memasang senyum paling manis yang bisa aku tampilkan kepadanya.
     “Mm....”
   “Eh, suram gitu, kamu nggak lulus? Aku aja lulus, cum laude,” kataku mencontek kata cum laude dari tayangan wawancara Putri Indonesia, yang kalau diingat lagi sekarang, dan kalau Fariz juga mengingatnya sekarang, pasti akan bisa tertawa kecil seperti yang aku lakukan sekarang.
     “Hahaa, lulus kok, hee.”
     “Nah terus kenapa?”
     “Mm, kamu nerusin kuliahnya tetep di Bandung sini kan ya?"
     "Iya Riz, malah aku udah daftar ujian-ujian masuk gitu, siapa tau SPMB-nya nggak lulus, hee. Kalo kamu?"
     "Mm, orang tua nyuruh aku kuliah di luar.”
     “Luar? Negeri?”
     “Iya,” Fariz mengangguk.
   “Wah, keren dong, dimana?” kataku seadanya, yang sudah tertular kesuraman Fariz, biar bagaimana pun, Fariz sudah punya tempat tersendiri di hati saat itu, setelah satu cup minuman yang dibelikannya di pentas seni, oh Rani muda, kavling hatimu murah sekali.
     “Keren sih, tapi kan jadi nggak bisa ketemu kamu lagi. Di Ostrali.”
   “Oh, ya udah, Fariz liat aja bule-bule Aussie cantik di sana, nggak jauh bedanya kok sama aku,” aku menunduk, berharap getaran dalam suaraku tidak terdengar.
    “Hee, iya, Rani baca ini ya nanti di rumah,” Fariz menyodorkan lipatan kertas hvs, yang aku terima sambil mengangguk, sebuah surat.

-------------------------------------------------------------------------

Maharani Senja,
Aku mau ngaku beberapa hal ke kamu. Pertama, sejak kamu lari-lari nyusul aku yang lupa ambil uang kembalian dari kantin, aku pikir kamu imut banget. Kedua, aku nggak suka lagu Stick With You, kurang laki-laki untuk telingaku, hee. Ketiga, aku bilang lagu itu enak, supaya di PenSi waktu itu bisa ngajak ngobrol kamu yang ditinggal temen-temen kamu ke toilet. Sampai sekarang, aku masih nyesel, kenapa temen-temen kamu nggak kebelet pipis waktu Pas Band atau Nine Ball yang naik panggung, jadi pilihan lagu aku nggak terlalu feminin, hahaa. Keempat, aku suka kamu. Kelima, kayak kata lagu, I must stick with you forever. Keenam, kalau kamu suka aku juga, dan setuju sama lirik lagu itu, kamu tungguin aku pulang ya, soalnya, yang ketujuh, mm, aku suka kamu, hee, banget. Tenang aja, aku nggak akan kuliah sampe tujuh tahun. Aku bakal lulus kuliah 4 tahun dan pulang untuk kamu.
Fariz Rizki Ramdhani

-------------------------------------------------------------------------

     Fariz, sudah lebih dari tujuh tahun dan kamu belum juga menemuiku. Tanpa telepon, tanpa pesan, tanpa email, tanpa testimonial di friendster, tanpa tanda-tanda keberadaan apa pun. Kamu hilang. Satu setengah tahun berlalu, aku menemukan akun facebook-mu dengan status in relationship with perempuan Asia Timur cantik. Dasar (cinta)monyet! Kamu lah cikal bakal istilah PHP di dunia.
    Ah, dingin ini, nyatanya, ingatan tentang Fariz sang cinta monyet saat SMA yang menyebalkan pun tak mampu membuat tubuhku hangat. Dingin ini membuatku menyerah, selimut hijau kereta api yang diniatkan untuk aku pakai ketika dingin sudah memuncak akhirnya aku bentangkan juga di tubuhku. Ah, sudah lebih hangat dan nyaman sekarang. Aku lebih menghenyakkan diri lagi di sandaran kursi empuk kereta berwarna biru tua ini.
   Tapi, duh, perutku terasa kembung sekarang. Duhai masuk angin, mengapa kau harus datang di acara perjalanan impian ini sih? Untungnya, walaupun dengan packing yang terburu-buru, aku sempat menyiapkan obat masuk angin untuk dibawa. Aku mulai mencari obat masuk angin kemasan sachet di tas kecilku, tidak ada. Oh iya, ada di kantong depan tas yang disimpan di kabin. Susah payah aku berdiri dan berusaha mengambil obat masuk angin itu, ah, dapat juga akhirnya.
    “Dari tadi belum tidur?” sambil memeriksa jam, orang di sebelahku berkata.
  “Eh, kebangun ya? Maaaaf. Hee, iya, belum bisa tidur,” kataku sambil membuka lalu menyeruput obat masuk angin itu.
     “Itu kenapa? Masuk angin?” Dia melihat ke arah obat masuk anginku.
     “Iya, hee.”
  “Kedinginan ya?” senyum hangat menghiasi wajahnya, senyum yang membuat wajahnya semakin tampan.
    “Iya,” aku mengangguk.
     “Kamu kayaknya mesti diangetin deh.”
     "Di...angetin...?"
     "Iya," dibukanya kaca mata coklat tua yang memperlihatkan mata tajamnya, lalu wajah itu mendekat ke wajahku yang masih menyeruput obat masuk angin, memegang kedua pundakku, lalu mengucapkan satu-persatu kata dengan tegas, “Rani-aku-cinta-kamu.”   
   Deg, rangkaian kata itu, suara itu, dan tatapan mata itu, seketika membuatku meleleh dan tak bisa berkata banyak.
     "Udah jadi anget kan?"
     "Mm...."
     "Ah..., terpesona ya?”
  “Ng..., nggak kok, nggak,” tangan kananku mengambil kacamata dari tangannya, “kamu..., kalo ngomongnya deket-deket begitu..., matanya jadi juling...,” aku sudahi kalimat sembarangku dengan memasangkan kembali kacamata coklat tua itu di wajahnya.
     “Hahaa, juling juga tetep ganteng kan."
     "Mm, biasa aja tuh," yap, bohong.
    "Hehee. Oh iya, maaf ya tadi langsung ketiduran gitu aja, makasih juga udah diselimutin,” katanya sambil tersenyum, ya, senyum itu lagi, menyebalkan, kenapa masih saja jantung ini berdebar keras tiap kali senyum itu merekah.
   “Iya,” kataku sambil membalas senyumnya.
   “Kamu manis ya kalo senyum, hee.”
  “Ish, udah setua ini kamu baru sadar aku manis? Sungguh puluhan tahun dalam kesia-siaan ya hidupmu selama ini.”
     “Hahaa, nggak kok, udah nyadar sejak..., mm....”
     “Sejaaak?”
     “Sejak barusan, hahaa....”
     “Ih, nyebeliiin,” aku tinju-tinju kecil lengannya.
     “Hee, sini manis, sini, tidur senderan sini, biar anget.”
    “Iya.” Aku pun segera bersandar di sana, di tempat untuk tidur yang paling nyaman sejagat raya, di lengan pria yang kemarin pagi mengucapkan ijab qabul dengan lantang bagiku.
     “I love you, honey,” bisiknya.
   “I love you too,” kalimatku dan debaran jantung yang bisa ia rasakan ini sepertinya sudah sangat cukup untuk membuatnya yakin, bahwa aku pun mencintainya, sepenuh hati.

-------------------------------------------------------------------------

   Subuh keesokan harinya, aku terbangun, terdiam beberapa saat, lalu menulis di jurnal pribadiku, “heart trip, hati ini, mungkin sudah berkelana dan singgah ke banyak dermaga yang salah, tapi, akan tiba saat di mana hati ini berhenti, menemukan kembaran rasa, lalu melaju lagi bersama-sama.”

TAMAT