The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Wednesday, March 7, 2012

Andai Aku Kucing



Lihat kucing itu, berguling, berlari, menggaruk, mengeong. Mm, tapi kamu tidak senyum, mana senyummu hai kucing? Ah, tak senyum pun kamu pasti bahagia kan? Andai aku kucing, walau tak bisa senyum, aku selalu bahagia. Tanpa harus memalsukan senyum, semesta tahu aku bahagia.

Lihat kucing itu, menjilat rambut dengan tekun, sesekali digigit-gigitnya sejumput rambut dengan gemas, hihii, ada kutu rupanya. Andai aku kucing, satu-satunya masalah serius yang pernah melintas di pikiranku hanyalah cara menumpas kutu yang bersembunyi di bagian tengkukku. Jika majikanku perhatian dan rajin, maka masalah yang ada hanya bagaimana agar selalu makan enak tanpa kegendutan dan susah berjalan, ah, mungkin juga hal ini tak jadi pikiranku, mungkin aku terlalu bahagia untuk berpikir.

Lihat kucing itu, mendengkur di pangkuan seorang gadis kecil, nyaman sekali tidurnya. Andai aku kucing, tak perlu aku risau akan hidupku esok hari, gadis kecil ini akan datang setiap hari, memberi makan, memberi seperempat gelas susu yang tak dia habiskan saat sarapan, mengelus dagu, dan sesekali menggelitik perutku. Ah, satu lagi favoritku, jika dia tak dijemput pulang ibunya yang menyuruh belajar, akan ada waktu untukku tidur di pangkuannya yang hangat.

Andai aku kucing, aku akan berguling, berlari, menggaruk, dan mengeong. Berjalan menyusuri jalanan berumput, lalu berguling di tumpukan pasir, menggaruk tumpukan sampah ketika lapar, dan..., oh, mana makananku? Bukankah biasanya tempat sampah di warung makan ini menyediakan banyak tulang ikan untukku, sekarang mana? Ah, aku mengeong saja! Hai kamu yang manusia, tahukah bahwa eongan ini berarti aku lapar? Ah iya, aku kucing..., membahasakan maksudku saja aku tak mampu. Bekerja? Mana mungkin, keterampilan yang aku miliki adalah melompati atap dan pagar, bukan mencuci piring di rumah makan ini demi mendapatkan sisa tongkol. Lalu bagaimana? Tidur saja, berharap tidak mati, dan kembali lagi esok hari.

Andai aku kucing, aku hanya akan sibuk menjilat rambut, dan jika beruntung, kraus, tergigit kutu yang melintas di punggungku, senangnyaaa. Tapi menggigit kutu tak akan membuatku kenyang kan? AHA! Majikan! Tunggu, aku tak cukup lucu untuk punya majikan yang mencukupi kebutuhan makanku, apalagi menjaga lembut rambutku. Oh iya, ada ibu! Umurku baru satu, bolehlah kuminta makan pada ibu. Itu ibu! Ya, itu ibu, ibu yang sibuk mengurusi adikku, aku hanya akan diusirnya jika mendekat, disangka akan mengganggu adikku. Bukan adik sebenarnya, tapi adik-adik, ya, adikku kembar lima, diizinkan mendekat pun ibu tak akan lagi mengenalku, anaknya terlalu banyak.

Andai aku kucing, aku akan mendengkur sepanjang hari, tak usah pikirkan esok. Pekerjaan rumah, tugas kuliah, tumpukan pekerjaan, aku tak punya, mari bersiap tidur, satu, dua, tiga, tarik selimutnyaaa. Eh, aku kan kucing, jangankan selimut di malam yang dingin, hari hujan pun aku akan tetap tidur di sini, tanah yang basah dan berbau lumpur. Tak apa, tak apa, aku sudah makan dan hari tidak hujan, sepoi angin ini akan mengantarku jauh terlelap. Nyem, nyem, mungkin ini yang namanya mimpi, ada suara anak kecil di sini, pastilah gadis kecil itu, sudah dua hari dia tak menghampiri. Ah, mungkin ini bukan mimpi, karena suaranya semakin dekat, tunggu saja, sebentar lagi dia akan mengelus lembut punggungku. Nah, sudah mulai disentuhnya aku, nyamaan, EH, apa ini, bukan, bukan begini cara mengangkat tubuhku, bukan dengan menggenggam ekorku, sakit, dan lagi, ini bukan gadis manis itu, siapa kamu? Uh, sulit sekali mencakarmu. Lagi-lagi aku mengeong, keras kali ini, mungkin akan ada yang membantuku, kulihat ada sekumpulan anak lain di sana, mungkin mereka akan membelaku, mereka datang, syukurlah, mereka sudah dekat, dan kini.. menertawakanku. Ada gunting di tangan salah satu yang memakai baju biru, kres kres kres, renyah sekali suara kumisku dicukurnya. Aku gigit saja tangannya, kucakar kuat lengannya, tapi, ugh, aku malah ditendang yang berbaju ungu, tapi tak apa, sudah cukup puas aku melihat luka gores di lengannya, semoga menjadi pengingat untuk tak lagi mengganggu sesamaku. Aku bebas sekarang, aku tidur lagi saja. Di sini? Tidak, lebih baik mencari tempat berteduh lain yang lebih aman, di teras rumah seorang nenek di seberang lorong itu saja, ayo jalan. Ah, mengapa jalanku sedikit limbung, mm, mungkin hanya perasaanku saja, toh setelah menyusur lorong, aku bisa tidur damai, hup... mm, duh, apakah tersangkut di lorong juga hanya perasaanku saja? Tidak, ini bukan hanya sekedar perasaan, aku kesulitan menerka ruang, betul juga, kumisku sudah tak ada.

Andai aku kucing.. Ah tidak, aku bahagia jadi manusia, bersyukur atas apa yang aku punya, bersyukur atas apa yang aku bisa lakukan.

No comments:

Post a Comment

Wednesday, March 7, 2012

Andai Aku Kucing



Lihat kucing itu, berguling, berlari, menggaruk, mengeong. Mm, tapi kamu tidak senyum, mana senyummu hai kucing? Ah, tak senyum pun kamu pasti bahagia kan? Andai aku kucing, walau tak bisa senyum, aku selalu bahagia. Tanpa harus memalsukan senyum, semesta tahu aku bahagia.

Lihat kucing itu, menjilat rambut dengan tekun, sesekali digigit-gigitnya sejumput rambut dengan gemas, hihii, ada kutu rupanya. Andai aku kucing, satu-satunya masalah serius yang pernah melintas di pikiranku hanyalah cara menumpas kutu yang bersembunyi di bagian tengkukku. Jika majikanku perhatian dan rajin, maka masalah yang ada hanya bagaimana agar selalu makan enak tanpa kegendutan dan susah berjalan, ah, mungkin juga hal ini tak jadi pikiranku, mungkin aku terlalu bahagia untuk berpikir.

Lihat kucing itu, mendengkur di pangkuan seorang gadis kecil, nyaman sekali tidurnya. Andai aku kucing, tak perlu aku risau akan hidupku esok hari, gadis kecil ini akan datang setiap hari, memberi makan, memberi seperempat gelas susu yang tak dia habiskan saat sarapan, mengelus dagu, dan sesekali menggelitik perutku. Ah, satu lagi favoritku, jika dia tak dijemput pulang ibunya yang menyuruh belajar, akan ada waktu untukku tidur di pangkuannya yang hangat.

Andai aku kucing, aku akan berguling, berlari, menggaruk, dan mengeong. Berjalan menyusuri jalanan berumput, lalu berguling di tumpukan pasir, menggaruk tumpukan sampah ketika lapar, dan..., oh, mana makananku? Bukankah biasanya tempat sampah di warung makan ini menyediakan banyak tulang ikan untukku, sekarang mana? Ah, aku mengeong saja! Hai kamu yang manusia, tahukah bahwa eongan ini berarti aku lapar? Ah iya, aku kucing..., membahasakan maksudku saja aku tak mampu. Bekerja? Mana mungkin, keterampilan yang aku miliki adalah melompati atap dan pagar, bukan mencuci piring di rumah makan ini demi mendapatkan sisa tongkol. Lalu bagaimana? Tidur saja, berharap tidak mati, dan kembali lagi esok hari.

Andai aku kucing, aku hanya akan sibuk menjilat rambut, dan jika beruntung, kraus, tergigit kutu yang melintas di punggungku, senangnyaaa. Tapi menggigit kutu tak akan membuatku kenyang kan? AHA! Majikan! Tunggu, aku tak cukup lucu untuk punya majikan yang mencukupi kebutuhan makanku, apalagi menjaga lembut rambutku. Oh iya, ada ibu! Umurku baru satu, bolehlah kuminta makan pada ibu. Itu ibu! Ya, itu ibu, ibu yang sibuk mengurusi adikku, aku hanya akan diusirnya jika mendekat, disangka akan mengganggu adikku. Bukan adik sebenarnya, tapi adik-adik, ya, adikku kembar lima, diizinkan mendekat pun ibu tak akan lagi mengenalku, anaknya terlalu banyak.

Andai aku kucing, aku akan mendengkur sepanjang hari, tak usah pikirkan esok. Pekerjaan rumah, tugas kuliah, tumpukan pekerjaan, aku tak punya, mari bersiap tidur, satu, dua, tiga, tarik selimutnyaaa. Eh, aku kan kucing, jangankan selimut di malam yang dingin, hari hujan pun aku akan tetap tidur di sini, tanah yang basah dan berbau lumpur. Tak apa, tak apa, aku sudah makan dan hari tidak hujan, sepoi angin ini akan mengantarku jauh terlelap. Nyem, nyem, mungkin ini yang namanya mimpi, ada suara anak kecil di sini, pastilah gadis kecil itu, sudah dua hari dia tak menghampiri. Ah, mungkin ini bukan mimpi, karena suaranya semakin dekat, tunggu saja, sebentar lagi dia akan mengelus lembut punggungku. Nah, sudah mulai disentuhnya aku, nyamaan, EH, apa ini, bukan, bukan begini cara mengangkat tubuhku, bukan dengan menggenggam ekorku, sakit, dan lagi, ini bukan gadis manis itu, siapa kamu? Uh, sulit sekali mencakarmu. Lagi-lagi aku mengeong, keras kali ini, mungkin akan ada yang membantuku, kulihat ada sekumpulan anak lain di sana, mungkin mereka akan membelaku, mereka datang, syukurlah, mereka sudah dekat, dan kini.. menertawakanku. Ada gunting di tangan salah satu yang memakai baju biru, kres kres kres, renyah sekali suara kumisku dicukurnya. Aku gigit saja tangannya, kucakar kuat lengannya, tapi, ugh, aku malah ditendang yang berbaju ungu, tapi tak apa, sudah cukup puas aku melihat luka gores di lengannya, semoga menjadi pengingat untuk tak lagi mengganggu sesamaku. Aku bebas sekarang, aku tidur lagi saja. Di sini? Tidak, lebih baik mencari tempat berteduh lain yang lebih aman, di teras rumah seorang nenek di seberang lorong itu saja, ayo jalan. Ah, mengapa jalanku sedikit limbung, mm, mungkin hanya perasaanku saja, toh setelah menyusur lorong, aku bisa tidur damai, hup... mm, duh, apakah tersangkut di lorong juga hanya perasaanku saja? Tidak, ini bukan hanya sekedar perasaan, aku kesulitan menerka ruang, betul juga, kumisku sudah tak ada.

Andai aku kucing.. Ah tidak, aku bahagia jadi manusia, bersyukur atas apa yang aku punya, bersyukur atas apa yang aku bisa lakukan.

No comments:

Post a Comment