The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Sunday, July 28, 2013

Kami Semua Sayang Kamu, Budi!!!

Dimuat di majalah Hai edisi 10 / XXXI / 5 Maret 2007
p.s. :Saya suka dan terharu banget waktu liat ilustrasinya, super kece dan detail sekali :') Enjoy the story, guys! :9


Kami Semua Sayang Kamu Budi!!!


Budi, racun IPA 3

  “HWATCHRIIH!”
  “Buset! Kenapa Bud?” Didit yang masih kaget, bertanya pada Budi.
       “Pilek euy! Parah pisan! SROOOT!!!” Budi menjawab, lalu sibuk menarik-narik ingusnya seirama, dan berjalan pergi.
           Didit mulai dilanda kecemasan. Penyakit menular yang diawali dengan Budi selalu berakhir bencana. Seperti kata bang Rhoma Irama: BUDI! ♫ BUDIII…♪ MERACUNI… KEHIDUPAN…♫
         Budi memang dianggap meracuni kehidupan teman sekelasnya. Pernah dia kena cacar, sekelas pada ikut gatel-gatel, dia mencret, sekelas pada mules, dia kentut, sekelas pada bau, dia ngupil pake kaki, sekelas pada ngupil, dia buka celana, sekelas pada buka ce… ah nggak mungkin itu mah
         Dan betul saja sodara-sodara… kurang lebih seminggu kemudian 6 orang anak kelas positif terinfeksi flu. Dari pengamatan dapat diperkirakan bahwa korban akan bertambah lagi. Akan tetapi, saat kondisi kelas sedang genting, bersin dimana-mana, dan ingus merajalela, si Budi-biang-virus malah udah sehat wal afiat. Kurang ajjjar…
         Ingin rasanya menyuntik mati si Budi, atau setidaknya menjadikannya jin botol, tapi apa daya, mereka sudah saling menyayangi, sakitnya Budi sakit bersama, pileknya Budi dirasakan semua, begitulah persahabatan.


Budi, racun keluarga

       “Budi! Cakep…, Ibu pergi dulu ya!” Ibu Budi bersiap untuk pergi dan sudah berdandan rapi dengan kemeja bunga warna-warni. Kemeja kesayangan hadiah lebaran dari suaminya, Bapak Budi. Ya, Budi dan ayahnya punya nama depan yang sama, BUDI, dia Budi Riyadi, sedangkan ayahnya Budi Rahmadi. Betul-betul tidak kreatif memang…
            “Pergi? Kemana bu? Oh, pasti bayar utang.”
            “Enak aja… Ibu mah mau arisan di rumah bu Suhandi.”
            “Oh…, kirain bayar utang…”
            “Nggak dong, da ibu mah utangnya ke bu Suhana bukan ke bu Suhandi…”
            “Euh…”
            “Budi…, Ibu teh lagi jemur baju. Kalo hujan diangkat ya.”
            “Iya.”
            “Jangan sampe lupa.”
            “Hm hm.”
          Ibu Budi pun pergi ke kediaman bu Suhandi demi mengemban sebuah misi suci, menang arisan dan membawa pulang uang. Dengan kepercayaan diri tinggi, beliau melangkahkan kaki. Ternyata ibu Budi memasang arisan dengan nama Budi Riyadi, anak semata wayang yang sangat dia cintai. Satu yang dia yakini, nama Budi membawa hoki.
        Tinggallah Budi seorang diri, berteman hampa, bermandikan sepi, bertahtakan sunyi. Nggak ding, sebenernya sih Budi berdua dengan neneknya, ibu Susilowati Budi Raharti. Tapi biar bagaimanapun nenek tetaplah seorang nenek, tidak akan bisa diajak main PS, apalagi manjat pohon jambu.
           Budi pun merasa seorang diri dan kesepian. Bagaimana tidak? Nenek yang biasa nyanyi Jawa, kini tengah menikmati bobo siang di kamar depan. Lama-kelamaan Budi dilanda kantuk nan dahsyat. 20 menit telah berlalu, nenek tak kunjung menyanyi. Satu menit lagi keadaan ini dibiarkan, maka dapat dipastikan Budi akan tidur dengan sentosa.
         Kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan, berjuang sekeras apapun, Budi tetap tak kuasa menahan kantuk. Dia pun tertidur pulas di depan tv dengan pose asusila, tangan kanan memegang jidat, jari kelingking tangan kirinya masuk ke hidung sambil melakukan gerakan ehm… mengupil, kaki kanan mengarah ke barat, sedangkan kaki kirinya ke tenggara. Ya ampuuun…

***

  “WAKTU HUJAN SORE-SORE…♫ Nananaannanaaa…♪”
            “Hmmm… hm… hm…,” Budi menggeliat-geliat di lantai, sambil berusaha sadarkan diri. Ternyata dia terbangun oleh suara nenek yang begitu syahdu mendayu. “Tumben ya nenek nyanyi lagu itu, waktu hujan sore-so... Hujan? Hujan?! HUJAN!!! JEMURAN!!! TIDAK!!! TIDAK!!!”

***

            “Assalamualaikum!” Ibu Budi telah tiba di rumah.
            “Waalaikumsalam…,” Budi dan nenek menjawab bersamaan.
            “Eh Ibu…, mau Budi bikinin teh anget bu?”
            “HWAH!” Ibu Budi syok. “Budi kamu sakit nak?”
            “Nggak…”
            “Kok tumben berbakti ke ibu.”
         “Ah, ibu mah… bisa aja…” Budi senyum-senyum tai ayam. “Bu, kok pulang ke rumah teh nggak semangat, bu?”
            “Hhh… ibu nggak menang arisan… Padahal ibu sudah pakai nama kamu.”
        “Ya udah atuh… Nggak usah dipikirin, sekarang mah kita harus mikirin gimana caranya, jemuran ibu bisa kering.”
            “Hah?”
            “Ng… itu… jemuran ibu…”
            “Kenapa jemuran ibu?!”
            “Jemuran ibu…”
            “Jemuran ibu…”
            “Basah semua…”
            “Basah semua… BASAH SEMUAAA? JEMURAN IBU NGGAK KAMU ANGKAT!!! MASYA ALLAH!!! BUDI… BUDI…!!!”

***

            “BUDI! Celana ayah mana?!”
            “Celana yang mana, ibu?”
            “Celana pendek kotak kuning!”
            “Oh…, yang ada rendanya?”
            “Iya. Celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Hmmm…”
            “DIMANA? Bukannya hm hm hm!”
            “Ya nggak tau atuh ibu.”
            “Tadi kan ibu jemur!”
            “Kebawa angin berarti, bu. Tadi kan ujan angin.”
            “Itu kan celana kesayangan ayah!”
            “Iya bu bener bener.”
            “GIMANA ATUH!!! Bukan bener bener!”
            “Nggak tau atuh ibu. Budi juga bingung besok pake seragam ato pake sarung.”

***

            Ibu Budi masih memikirkan celana pendek sang ayah yang imut lucu. Sementara Budi dan neneknya sedang asik menonton acara kriminal di tv sambil tertawa-tawa.
            “Budi itu bacaannya apa?” nenek Budi menunjuk tv.
            “Yang mana nek?”
            “Yang itu!”
            “Yang ini?”
            “Bukan!”
            “Oh… ini… masa’ nggak kebaca sih nek?”
         “Bukan! Euh…,  kamu mah jadi weh hilang tulisannya. Ambilin kaca mata nenek atuh kalo begitu.”
            “Dimana nek?” (PLUK)
            “Itu kesenggol sama kamu!”
            “Mana nek?” (PREK KREKEK KREKEK)
            “Di kaki kamu…”
            “Wah pecah nek!”
            “…,” nenek hanya bisa mengurut dada.
             
           BUDI, empat huruf yang memberi banyak arti. Sebuah nama yang begitu surgawi, tapi menjadi sangat tak manusiawi manakala disandang oleh anak onta yang satu ini. Begitulah cara dia menjalani hidup sehari-hari. Selalu membawa petaka bagi seluruh insan manusia disekitarnya.


            Budi, racun tetangga

            Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu dengan semangat proklamasi.
            “Ibu Budi! Ibu Budi!” suara dibalik pintu memanggil.
            “Iya, iya, tunggu sebentar!” (CKELEK) “Eh, bu Sukamti! Ada apa  bu?”
            “Ini punya ibu?” bu Sukamti menunjukkan suatu benda.
            “Ya ampun… celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Jadi ini punya ibu?”
            “Iya. Alhamdulillah ketemu.”
            “Saya sudah tanya ke semua tetangga tapi tak ada yang mau mengaku. Ternyata ini milik ibu.”
         “Iya. Punya saya.” Ibu Budi bicara sambil memeluknya, bukan memeluk bu Sukamti, tapi celana pendek kotak kuning renda jingga.
            “Hhh… gara-gara itu…”
            “Kenapa bu?”
            “Gara-gara itu anak saya terluka,” bu Sukamti berkaca-kaca.
            “Loh? Bagaimana bisa?”
           “Kemarin, anak saya sedang mandi hujan dengan riang gembira, tiba-tiba, barang itu menerpa mukanya, iya, TEPAT DIMUKANYA! Anak saya yang belum mempersiapkan diri tentu saja terkejut lalu terjatuh, di selokan, BENAR-BENAR DI SELOKAN, BAYANGKAN IBU BUDI! BAYANGKAN! Anak tak berdosa yang tak tahu apa-apa! Dia masih sangat kecil dan belum merasakan asam garam kehidupan! Anak yang malang! SUKAMTO! IBU PULANG NAK!” Bu Sukamti berlari-lari menuju rumahnya dengan gerakan yang begitu dramatis.

            “BUDIIIII!!!!! SINI KAMU!!!” Budi pun dihajar massa. Nggak ding, Budi dimarahi habis-habisan oleh ibunya.


            Budi, racun waria

           Budi keluar dari rumahnya sejenak, mencari udara segar. Dia merasa sangat putus asa, merasa hidupnya sangat tak berguna. Apa yang bisa dia berikan untuk temannya, ibunya, ayahnya, neneknya, tetangganya, bahkan untuk dirinya sendiri pun tak ada, pikirnya…
        Kakinya telah membawanya ke pasar Cijerah. Pusat kegiatan dan perbelanjaan orang Cijerah dan sekitarnya. Berjalan dengan tatapan kosong dan hampa, merasa hidupnya makin tak berguna.
            “Dik! Dik! Apa adik melihat seorang waria melintas disini?” Seseorang berpakaian hansip bertanya pada Budi.
            “Nggak pak.”
            “Ah bohong… pasti adik lihat.” Hansip berkata sambil tersenyum manja.
            “Nggak pak!”
            “Ah pasti adik lihat tapi malu mengatakannya, saya bisa melihat dari mata adik.”
            “Nggak pak. Ya ampun.”
            “Ah pasti adik meliha…”
       “Iya, iya, saya lihat, disana pak! Sembunyi dibalik karung beras!” Budi menunjukkan arah dan tempat yang asal, yang penting bebas dari hansip manis manja.
            “Makasih dek, gitu dong ah dari tadi, susah amat.” Hansip berkedip manja.

***

            “Dek ketangkep!” Hansip telah kembali dengan menggiring seorang waria.
            “Wah ketemu dimana pak?”
            “Di balik karung beras! Analisismu sangat hebat dik!”
       “Oh jadi anak curut ini yang kasih tau saya sembunyi dimana?!” waria tadi menunjuk-nunjuk jidat Budi. Waria yang sangat jauh dari kesan cantik. Jenggot, jakun, dan bulu dada yang wuw… keriting bow… membuat penampilannya tambah parah.
            “Nggak sengaja kok!”
        “Nggak sengaja, nggak sengaja! Padahal saya udah yakin nggak ada yang bisa menemukan saya dibalik karung itu.” waria itu melanjutkan.
        “Iya kamu sangat hebat dik! Bahkan saya yang sudah tau waria ini mencuri sekarung beras pun tidak dapat mengira keberadaannya,” sang hansip sempat menatap Budi dengan kagum sebelum pergi.
            “Dasar bedebah kamu anak onta! Tidak berguna! Anak tidak tau diuntung! Pergi kamu dari dunia! Tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi! Pergi! Bunuh dirimu sendiri sebelum simpatisanku mendatangi rumahmu! Menggerayangi mimpimu! Merasuki hidupmu!” Begitulah kira-kira kata perpisahan yang sempat diucapkan sang waria, seluruh kalimat caci maki dan sumpah serapah diucapkan.

            Budi semakin terpuruk dengan keputusasaan dan kehampaan akan hidup. Bahkan bagi seorang waria yang dia belum pernah kenal sebelumnya, dia tak lebih dari onggokan sampah. Tak berguna.


            Budi dan racun serangga

            “Bunuh dirimu sendiri… bunuh dirimu sendiri…,” kata-kata sang waria terus melekat dipikirannya.

            Di rumah Budi
            Tok tok tok, seseorang kembali mengetuk pintu rumah itu.
            “Iya sebentar.” (CEKELEK)
            “Bu ada kiriman!”
            “Subhanallah apa ini? Sungguh besar sekali!”
            “Nggak tau juga bu. Tapi kayaknya ibu menang undian bu.”
       “Subhanallah,” sang ibu histeris, menutup mulut dengan kedua tangan ala telenovela.
            “Tolong tanda tangan disini bu!”
          “Iya…,” Ibu Budi menandatangan dengan gemetar sambil melihat kardus tv 21 inchi didepannya. Telah terbayang masa depan indah yang akan disongsong bersama dengan tv itu.
            “Nenek! Kita dapat tipi baru!
            “Dari siapa? Baik sekali….”
          “Dari undian nek. Nama budi memang bawa hoki. Saya kan selalu pakai nama Budi untuk undian. Loh Budi dimana ya nek? Dari tadi nggak kelihatan.”
            “Nenek juga nggak tau. Tadi pergi kayaknya.”
        “Pergi kemana ya nek? Kok perasan saya nggak enak. Apa karena tadi dia dimarahin sama saya. Aduh nak cepatlah pulang. Tipi ini ada berkat kamu juga, nak.”
        “Iya, berkat Budi nenek jadi bisa ganti model kacamata. Impian nenek adalah punya kacamata mirip Madonna biar terlihat awet muda.”

            “Assalamualaikum!” ayah Budi yang bernama bapak Budi baru pulang kerja.
            “Waalaikumsalam!”
            “Ayah lihat ada tipi! Ini berkat Budi yah! Berkat Budi!”
            “Ada apa sih ini sebenarnya,” ayah Budi bertanya, meminta kejelasan.
        “Anak kita yah! Menangin undian, tapi dari tadi belum pulang juga. Nggak tau kenapa ibu jadi cemas, soalnya tadi ibu marahin dia.”
          “Bapak juga merasa nggak enak dari tadi. Padahal buang air besar sudah, ternyata ini masalahnya.”
          “Iya yah.”
         “Berkat Budi juga ayah bisa terlepas dari jeratan celana pendek kotak kuning renda jingga jahanam itu. Sudah lama ayah tidak mau memakai celana imut lucu itu tapi tak kuasa ayah melepaskan diri darinya.”
           “Benar yah. Ibu jadi lebih hati-hati menjemur pakaian sekarang, berkat Budi anak kita.”
         “Benar. Kacamata Madonna. Tergapai. Berkat Budi.” Nenek ikut bertukar pendapat.
            “Ayah, kita cari saja si Budi!”
            “Baik istriku!”
            “Baik menantuku!”
            “Nenek nggak usah ikut nek. Diluar banyak angin!”
            “Yah…,” nenek kecewa.

            Di sebuah jalan layang diatas tol
            Racun serangga telah ada dalam genggamannya. Tapi Budi masih terlalu bingung memilih, mati ditangan botol kecil berjudul ‘racun serangga aduhai dahsyatnya’, atau mati ditangan jalan tol yang padat di sore hari. Disebuah jalan layang menuju perumahan Gempol Sari dekat Cigondewah itu dia berpikir. Tapi kurang keren juga ya mati disini? Begitu pikirnya. Terlintas di benaknya wajah ibunda dan ayahanda tercinta, nenek serta tetangga juga teman sekelasnya. Budi semakin bingung. Bukankah bunuh diri itu dosa? Akankah seorang Budi dikalahkan oleh perkataan waria? Tidak! Tidak! Ini bukan diriku!

***

            “BUDIII!!! BUDIII!!!”
            Sebuah gorowok purba menghentaknya. Ayah dan bunda menjemputnya.
            “AYAAAH!!! IBUUU!!!”
            Disebuah sore nan jingga sejingga renda celana mereka berpelukan.

            “Budi maapkan ibu!”
            “Maapkan ayah juga!”
            “Budi yang seharusnya minta maap.”
            “Kamu pahlawan ayah!”
            “Pahlawan ibu juga, berkat kamu kita punya tipi baru, 21 pintu.”
            “Inchi bu.”
            “Iya inchi.”
            “Dari mana bu?”
            “Dari undian yang pakai nama kamu.”
            “Nenek gimana bu?”
            “Nenek bahagia bisa punya kacamata Madonna.”
            “Bu Sukamti dan Sukamto?”
            “Tadi ibu ketemu bu Sukamti, tak disangka dia berterima kasih karena anaknya, Sukamto, jadi trauma mandi hujan. Dia lebih takut anaknya tersambar petir, daripada tersambar celana kolor.”   
            “KAMI SEMUA SAYANG KAMU BUDI!”

TAMAT

Monday, July 22, 2013

TUGAS (TER-)AKHIR -- part 1

TUGAS (TER-)AKHIR
PART 1

                “LAAAAUUUUUUT!”
                “HERE WE COME, UUUUUT!”
                “KARJAAW, DIEM DI SANA BAEK-BAEK YAAAA, BENTAR LAGI KITA DATEEEENG!”
                “AAAAAAAAAAAKK!”
                Kami, empat mahasiswi Biologi tingkat akhir sedang dengan begitu kampungannya berteriak-teriak di pinggir pelabuhan Kartini, tak sabar menunggu KM Muria merapat dan membawa kami ke sana, Karimun Jawa. Kami berempat adalah teman satu jurusan di salah satu Universitas yang cukup beken di Semarang. Kami berempat begitu akrab, selain karena masing-masing punya sifat yang tidak saling berseberangan, kami pun berkampung halaman sama, Jepara.
                Ini sudah kali ketiga kami liburan bersama ke sana, tapi tak juga menyurutkan excitement kami terhadapnya, ya, Karimun Jawa memang terlalu indah untuk ditanggapi biasa-biasa saja. Perjalanan kali ini memang liburan bagi kami, tapi tidak bagiku, ada misi mulia yang juga cukup tengil di kepala, aku akan melakukan studi awal tugas akhir juga di sana. Tugas akhir ini tentang model budidaya long line Ptilophora pinnatifida atau ganggang merah. Supaya apaaa? Supaya bisa bolak-balik ke sana tentunyaaa, hahahaa. Kebetulan beasiswa yang aku terima juga mencakup pembiayaan penelitian tugas akhir, asik sekali kan?
                Angin meniup wajahku dengan sangat kencang, aku sangat menikmatinya, hingga akhirnya, Rara, teman yang berdiri di samping kiriku berkata, “rambutmu mbok ya dikuncir tho, dari tadi nampar-nampar pipiku ini,” akupun segera mengikat rambut panjangku demi menghilangkan cemberut di wajah manis Rara.
               Wajar angin bertiup sangat kencang, ini Maret, bulan lalu adalah akhir dari musim baratan, begitu warga sekitar menyebut musim angin barat yang menerjang-nerjang laut. Yap, Januari hingga Februari adalah bulan-bulan yang riskan bagi pelayaran Jepara-Karimun Jawa dan sebaliknya, karena curah hujan dan tinggi ombak meningkat di bulan-bulan ini. Segala aktifitas pelayaran dihentikan pada dua bulan tersebut, kecuali kapal-kapal besar, itu pun di waktu tertentu yang merupakan sela dari musim baratan, di mana ombak sedang tidak begitu tinggi. Sela musim baratan biasanya dipakai kapal besar untuk berlayar mengangkut kebutuhan pokok ke Karimun Jawa. Sempat ada ide untuk ikut KM Muria di sela musim baratan tersebut saking tak sabarnya kami menyicipi laut, tapi, buat apaaa, di sana kami tidak akan bisa menikmati pergi ke pulau-pulau sekitarnya.

***

                “Ran, di luar kok agak-agak gelap ya?” Suara Resti menyadarkanku yang sedari tadi duduk terkantuk-kantuk. Kami berada di geladak penumpang, penumpang tidak begitu padat di sini, tapi geladak dasar penuh dengan barang kebutuhan pokok.
                “Iya ya, yaaah, kita tidak disambut ceria nih sama Karjaw, hahaa. Eh, jam berapa nih?”
                “Jam 12 lewat lima belas.”
                “Sholat dulu yuk, kalo kita mati di kapal ini kan setidaknya dalam keadaan udah sholat tuh, hahaa.”
                “RANIAAA, mulai deh....”
                “Eh, bener kan, ahahaa. Yuk ah cus. Ra, yuk, sholat yuk.”
                “Eh? Okeee...,” dengan setengah sadar Rara mengucek matanya, “Ini Kanya gimana?” Rara menunjuk Kanya yang tidur bagai bangkai, tak bergerak, tak terganggu.
                “Tu anak mabok ant*mo ya, pules amat, ya udah tinggalin aja Ra, masih halangan kan dia.”
                “Iya, masih halangan, oh iya, kan dia besok baru beres halangannya, kita ga boleh snorkeling dulu hari ini katanya, kebersamaan.”
                “Wahahaa, males banget, kita sih snorkeling-snorkeling aja, dia suruh jaga penginapan, sambil ngeceng mas-mas yang Mirip  Bruno Mars itu loh.”
                “Oh, si Mars Bruno yang tahun lalu itu?”
                “Iyaaaa, hahahaa. Yuk ah,” bertiga kami menaiki tangga ke main deck kapal, lima kali menaiki kapal ini membuat kami sudah hafal betul tempat-tempat penting di sini, toilet, kantin, tempat duduk, musholla, penyimpanan life jacket juga sekoci.

***

                “Astagfirullahaladzim!” serempak kami berteriak, mukena yang dilipat Resti sempat berhamburan lagi ke lantai saking kagetnya merasakan kapal yang oleng karena terjangan ombak tinggi.
                “Raaa, Raaan, ini kok serem banget yaaa...,” kepanikan mengiasi wajah Resti yang cantik.
                “Tenang-tenang Res, ini Maret, dan lagi, nggak mungkin kan kapal ini boleh jalan kalau bakal ada badai. Senyuuum,” aku yang mantan Ketua Murid memang selalu punya naluri menenangkan orang lain, mengabaikan detak jantung sendiri yang berkejaran, takut. Dari berbagai cara mati yang ada di dunia, aku memang paling tidak ingin mati karena tenggelam, terbayang betapa menyakitkannya, mati perlahan dalam kepanikan. Lalu terbayang wajah ayah di rumah, beliau hanya punya aku, aku bergidik.
                “Global warming changes weather patterns, Ran. Gimana kalo perkiraannya salah, baratan sebenarnya masih berlangsung,” Resti meremas tangan Rara.
                “Sssttt, tadi udah pada berdoa buat keselamatan kita dan semua penumpang di sini kan?” Resti dan Rara mengangguk pelan atas pertanyaanku. “Then, we’ll safe. Yuk balik, Kanya kasian,” senyumku lebar, menggandeng Resti untuk kembali ke geladak penumpang. Tap tap tap.
                “ASTAGFIRULLAHALADZIM!” Kami bertiga berpegangan sambil satu tangan lainnya berpegangan pada pegangan di geladak utama ini. Sebuah ombak tinggi baru saja menerjang kami, tidak main-main, sekitar empat meter lebih, sedangkan ombak paling tinggi yang tercatat saat musim baratan adalah lima meter. Kapal rasanya miring ke kanan.
                Ngiiiiiiiiiiiing.. Suara bising pengeras suara yang baru dinyalakan menggema, aku tau kalimat apa yang akan keluar darinya.
                “Rara, Resti, kalian pakai life jacket ini,” terburu-buru aku mengambil life jacket yang menempel di dinding-dinding geladak utama, dekat dengan kami.
                “Ke.. kenapa Ran?”
                “Yang kencang, lalu jalan hati-hati ke sekoci seberang sana, aku ke bawah, jemput Kanya, sebelum orang-orang berhamburan ke atas sini,” kupakai life jacket-ku. Rara dan Resti untungnya kooperatif jika sudah mendengar kalimat berupa perintah dariku.
                “Jangan nangis,” masih sempat aku menyentuh pipi Resti, sedangkan Rara menggenggam tangannya bersiap jalan ke sekoci.
                “Hati-hati,” kata Rara mengiringiku yang berjalan menuju tangga.
                “Ngiiiiiiiiiiing, ngiiiiiing, perhatian, penumpang yang terhormat, harap mendengar pengumuman ini dengan cermat, jangan panik. Ombak yang baru saja menerjang kapal ini menyebabkan kapal miring ke kanan, penumpang diharap memakai life jacket yang berada di lemari-lemari berwarna orange di samping-samping geladak. Setelah itu, dengan tertib penumpang diharap menuju geladak utama dengan tangga kiri, awak kapal akan membimbing menuji sekoci,” pengumuman dari pengeras suara mengiringi jalanku di tangga yang belum padat, syukurlah. Suara khas kepanikan memenuhi geladak penumpang. Pengumuman setenang apapun memang tak akan mampu membendung kepanikan sekitar 150 orang dalam geladak.
                “Kapal ini akan tenggelam mas? Tenggelam?”
                “Ada kemungkinan seperti itu, Bu.”
                Awak-awak kapal membantu penumpang dengan urusan life jacket­-nya. Beberapa orang berpapasan denganku, “KE ATAS MBAK!” yang kujawab dengan, “jemput teman mas, tidak jauh dengan tangga, sebentar.” Kami sama-sama tergesa, tak ada yang menyeretku ke atas, untunglah.
                Itu dia, Kanya, sudah terbangun dari tidurnya dengan wajah ekstra panik, “KANYA!” Kanya mencari suaraku, melihatku, lalu segera berusaha menujuku. “LIFE JACKET-NYA DULU NYA!” Kanya mengangguk, dalam kerumunan dia menuju awak yang membawa life-jacket, Kanya yang bertubuh kecil belum sampai di hadapan awak tersebut ketika seorang bapak mengambil seluruh jaket tersebut untuk keluarganya. Kanya tenggelam dalam kerumunan, hatiku mencelos. “KANYA! KANYA! KAMU BISA DENGER AKU KAN?!”
                “IYA BISAAA!” cempreng suaranya membuatku lega.
                “KAMU JALAN KE TANGGA KIRI, HATI-HATI, PELAN-PELAN AJA NYA, AKU AMBILIN LIFE JACKET BUAT KAMU!” Kanya di sana terisak, hanya mengangguk. “KANYA! KANYA? KAMU DENGER KAN?”
                “IYA DENGER! IYA, AKU KE TANGGA!” teriakan Kanya bergetar, aku tahu dia menangis.
                Segera aku ke awak lain yang masih membawa life jacket. Tidak sesulit Kanya, tubuhku agak besar. “Mas, satu.”
                “Itu?” ia melihat life jacket yang sudah kukenakan.
                “Untuk temanku!” suaraku meninggi.
                “Teman yang mana? Mungkin dia sudah diberi life jacket oleh awak lain!” telingaku tak dapat lagi membedakan yang mana ketus yang mana tegas.
                “Di sana! Kecil, dia, dia kesulitan!”
                “Life jacket ini jumlahnya pas. Mbak jangan main-main. Ini menyangkut nyawa orang lain!”
                “INI MENYANGKUT NYAWA TEMAN SAYA!” kutatap awak itu, tepat di matanya, lurus, satu detik setelahnya air mata mengaburkan pandanganku. Detik berikutnya, tanganku sudah menyentuh life jacket, awak tadi yang memberi, ditepuknya lenganku, “hati-hati mbak, doaku untukmu.” Kuseka air di mataku, ada senyum di wajah kami berdua.
                Segera aku menuju tangga, Kanya menunggu di sana. Kupeluk tubuh mungilnya, beberapa bulir air jatuh lagi, menuju pundaknya. Kanya sudah mempersiapkan mentalnya dengan baik rupanya, dia tak menyambutku dengan tangis, di tepuknya punggunggu. “Rania, kita akan baik-baik aja.”
                “Iya Nya, pasti,” kulepas pelukanku, menyeka lagi air mata dengan terburu-buru. “Pakai Nya, yang kenceng ya,” Kanya segera memakai life jacket-nya.
                “Yuk Nya.” Kugenggam tangan Kanya, membimbingnya menaiki tangga.
                “Yang lain udah di atas kan?”
                “Iya.”

***

                Tidak ada yang berbicara, sembilan orang dalam sekoci ini hanya mampu memandangi kapal yang semakin turun, tertelan air laut, kapal ternyata benar-benar tenggelam. Isak tangis seorang ibu menghiasi keheningan kami, ada sedikit nada ratapan di sana. Ya, betapapun bersyukurnya beliau atas keselamatannya, tetap saja, separuh hidupnya tertinggal di sana, toko berasnya akan kosong hingga entah berapa lama, seluruh bulirnya tenggelam di sana.
                Tidak ada awak kapal di sekoci kami, dan diantara penumpang sekoci ada kami berempat, berpegangan, terhuyung-huyung dalam ombak. Sedikit saja kata yang mampu kami tukar, tapi ada syukur di dalamnya. Kadang ombak yang agak besar membuat kami melepaskan genggaman masing-masing, untuk kemudian berpegang erat di sekoci.
                “Mm, makasih ya kalian semua...,” aku memulai pembicaraan. “Makasih untuk persahabatan kita selama ini...,” entahlah, kata-kata ini menghambur begitu saja tanpa kendali, begitu juga air di mataku.
                “Raniaaa, jangan bikin suasana jadi melankolis begini deeeh,” Rara menyambut kalimatku juga dengan kalimat yang basah dengan air mata. Jadilah kami berempat bertukar kata terimakasih dan maaf, ada perasaan nyaman setelahnya, lega.
                “ASTAGFIRULLAH, PEGANGAAAN!” aku melihat ombak setinggi 3 meter akan segera menerjang kami.
                Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.

Sunday, July 28, 2013

Kami Semua Sayang Kamu, Budi!!!

Dimuat di majalah Hai edisi 10 / XXXI / 5 Maret 2007
p.s. :Saya suka dan terharu banget waktu liat ilustrasinya, super kece dan detail sekali :') Enjoy the story, guys! :9


Kami Semua Sayang Kamu Budi!!!


Budi, racun IPA 3

  “HWATCHRIIH!”
  “Buset! Kenapa Bud?” Didit yang masih kaget, bertanya pada Budi.
       “Pilek euy! Parah pisan! SROOOT!!!” Budi menjawab, lalu sibuk menarik-narik ingusnya seirama, dan berjalan pergi.
           Didit mulai dilanda kecemasan. Penyakit menular yang diawali dengan Budi selalu berakhir bencana. Seperti kata bang Rhoma Irama: BUDI! ♫ BUDIII…♪ MERACUNI… KEHIDUPAN…♫
         Budi memang dianggap meracuni kehidupan teman sekelasnya. Pernah dia kena cacar, sekelas pada ikut gatel-gatel, dia mencret, sekelas pada mules, dia kentut, sekelas pada bau, dia ngupil pake kaki, sekelas pada ngupil, dia buka celana, sekelas pada buka ce… ah nggak mungkin itu mah
         Dan betul saja sodara-sodara… kurang lebih seminggu kemudian 6 orang anak kelas positif terinfeksi flu. Dari pengamatan dapat diperkirakan bahwa korban akan bertambah lagi. Akan tetapi, saat kondisi kelas sedang genting, bersin dimana-mana, dan ingus merajalela, si Budi-biang-virus malah udah sehat wal afiat. Kurang ajjjar…
         Ingin rasanya menyuntik mati si Budi, atau setidaknya menjadikannya jin botol, tapi apa daya, mereka sudah saling menyayangi, sakitnya Budi sakit bersama, pileknya Budi dirasakan semua, begitulah persahabatan.


Budi, racun keluarga

       “Budi! Cakep…, Ibu pergi dulu ya!” Ibu Budi bersiap untuk pergi dan sudah berdandan rapi dengan kemeja bunga warna-warni. Kemeja kesayangan hadiah lebaran dari suaminya, Bapak Budi. Ya, Budi dan ayahnya punya nama depan yang sama, BUDI, dia Budi Riyadi, sedangkan ayahnya Budi Rahmadi. Betul-betul tidak kreatif memang…
            “Pergi? Kemana bu? Oh, pasti bayar utang.”
            “Enak aja… Ibu mah mau arisan di rumah bu Suhandi.”
            “Oh…, kirain bayar utang…”
            “Nggak dong, da ibu mah utangnya ke bu Suhana bukan ke bu Suhandi…”
            “Euh…”
            “Budi…, Ibu teh lagi jemur baju. Kalo hujan diangkat ya.”
            “Iya.”
            “Jangan sampe lupa.”
            “Hm hm.”
          Ibu Budi pun pergi ke kediaman bu Suhandi demi mengemban sebuah misi suci, menang arisan dan membawa pulang uang. Dengan kepercayaan diri tinggi, beliau melangkahkan kaki. Ternyata ibu Budi memasang arisan dengan nama Budi Riyadi, anak semata wayang yang sangat dia cintai. Satu yang dia yakini, nama Budi membawa hoki.
        Tinggallah Budi seorang diri, berteman hampa, bermandikan sepi, bertahtakan sunyi. Nggak ding, sebenernya sih Budi berdua dengan neneknya, ibu Susilowati Budi Raharti. Tapi biar bagaimanapun nenek tetaplah seorang nenek, tidak akan bisa diajak main PS, apalagi manjat pohon jambu.
           Budi pun merasa seorang diri dan kesepian. Bagaimana tidak? Nenek yang biasa nyanyi Jawa, kini tengah menikmati bobo siang di kamar depan. Lama-kelamaan Budi dilanda kantuk nan dahsyat. 20 menit telah berlalu, nenek tak kunjung menyanyi. Satu menit lagi keadaan ini dibiarkan, maka dapat dipastikan Budi akan tidur dengan sentosa.
         Kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan, berjuang sekeras apapun, Budi tetap tak kuasa menahan kantuk. Dia pun tertidur pulas di depan tv dengan pose asusila, tangan kanan memegang jidat, jari kelingking tangan kirinya masuk ke hidung sambil melakukan gerakan ehm… mengupil, kaki kanan mengarah ke barat, sedangkan kaki kirinya ke tenggara. Ya ampuuun…

***

  “WAKTU HUJAN SORE-SORE…♫ Nananaannanaaa…♪”
            “Hmmm… hm… hm…,” Budi menggeliat-geliat di lantai, sambil berusaha sadarkan diri. Ternyata dia terbangun oleh suara nenek yang begitu syahdu mendayu. “Tumben ya nenek nyanyi lagu itu, waktu hujan sore-so... Hujan? Hujan?! HUJAN!!! JEMURAN!!! TIDAK!!! TIDAK!!!”

***

            “Assalamualaikum!” Ibu Budi telah tiba di rumah.
            “Waalaikumsalam…,” Budi dan nenek menjawab bersamaan.
            “Eh Ibu…, mau Budi bikinin teh anget bu?”
            “HWAH!” Ibu Budi syok. “Budi kamu sakit nak?”
            “Nggak…”
            “Kok tumben berbakti ke ibu.”
         “Ah, ibu mah… bisa aja…” Budi senyum-senyum tai ayam. “Bu, kok pulang ke rumah teh nggak semangat, bu?”
            “Hhh… ibu nggak menang arisan… Padahal ibu sudah pakai nama kamu.”
        “Ya udah atuh… Nggak usah dipikirin, sekarang mah kita harus mikirin gimana caranya, jemuran ibu bisa kering.”
            “Hah?”
            “Ng… itu… jemuran ibu…”
            “Kenapa jemuran ibu?!”
            “Jemuran ibu…”
            “Jemuran ibu…”
            “Basah semua…”
            “Basah semua… BASAH SEMUAAA? JEMURAN IBU NGGAK KAMU ANGKAT!!! MASYA ALLAH!!! BUDI… BUDI…!!!”

***

            “BUDI! Celana ayah mana?!”
            “Celana yang mana, ibu?”
            “Celana pendek kotak kuning!”
            “Oh…, yang ada rendanya?”
            “Iya. Celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Hmmm…”
            “DIMANA? Bukannya hm hm hm!”
            “Ya nggak tau atuh ibu.”
            “Tadi kan ibu jemur!”
            “Kebawa angin berarti, bu. Tadi kan ujan angin.”
            “Itu kan celana kesayangan ayah!”
            “Iya bu bener bener.”
            “GIMANA ATUH!!! Bukan bener bener!”
            “Nggak tau atuh ibu. Budi juga bingung besok pake seragam ato pake sarung.”

***

            Ibu Budi masih memikirkan celana pendek sang ayah yang imut lucu. Sementara Budi dan neneknya sedang asik menonton acara kriminal di tv sambil tertawa-tawa.
            “Budi itu bacaannya apa?” nenek Budi menunjuk tv.
            “Yang mana nek?”
            “Yang itu!”
            “Yang ini?”
            “Bukan!”
            “Oh… ini… masa’ nggak kebaca sih nek?”
         “Bukan! Euh…,  kamu mah jadi weh hilang tulisannya. Ambilin kaca mata nenek atuh kalo begitu.”
            “Dimana nek?” (PLUK)
            “Itu kesenggol sama kamu!”
            “Mana nek?” (PREK KREKEK KREKEK)
            “Di kaki kamu…”
            “Wah pecah nek!”
            “…,” nenek hanya bisa mengurut dada.
             
           BUDI, empat huruf yang memberi banyak arti. Sebuah nama yang begitu surgawi, tapi menjadi sangat tak manusiawi manakala disandang oleh anak onta yang satu ini. Begitulah cara dia menjalani hidup sehari-hari. Selalu membawa petaka bagi seluruh insan manusia disekitarnya.


            Budi, racun tetangga

            Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu dengan semangat proklamasi.
            “Ibu Budi! Ibu Budi!” suara dibalik pintu memanggil.
            “Iya, iya, tunggu sebentar!” (CKELEK) “Eh, bu Sukamti! Ada apa  bu?”
            “Ini punya ibu?” bu Sukamti menunjukkan suatu benda.
            “Ya ampun… celana pendek kotak kuning renda jingga!”
            “Jadi ini punya ibu?”
            “Iya. Alhamdulillah ketemu.”
            “Saya sudah tanya ke semua tetangga tapi tak ada yang mau mengaku. Ternyata ini milik ibu.”
         “Iya. Punya saya.” Ibu Budi bicara sambil memeluknya, bukan memeluk bu Sukamti, tapi celana pendek kotak kuning renda jingga.
            “Hhh… gara-gara itu…”
            “Kenapa bu?”
            “Gara-gara itu anak saya terluka,” bu Sukamti berkaca-kaca.
            “Loh? Bagaimana bisa?”
           “Kemarin, anak saya sedang mandi hujan dengan riang gembira, tiba-tiba, barang itu menerpa mukanya, iya, TEPAT DIMUKANYA! Anak saya yang belum mempersiapkan diri tentu saja terkejut lalu terjatuh, di selokan, BENAR-BENAR DI SELOKAN, BAYANGKAN IBU BUDI! BAYANGKAN! Anak tak berdosa yang tak tahu apa-apa! Dia masih sangat kecil dan belum merasakan asam garam kehidupan! Anak yang malang! SUKAMTO! IBU PULANG NAK!” Bu Sukamti berlari-lari menuju rumahnya dengan gerakan yang begitu dramatis.

            “BUDIIIII!!!!! SINI KAMU!!!” Budi pun dihajar massa. Nggak ding, Budi dimarahi habis-habisan oleh ibunya.


            Budi, racun waria

           Budi keluar dari rumahnya sejenak, mencari udara segar. Dia merasa sangat putus asa, merasa hidupnya sangat tak berguna. Apa yang bisa dia berikan untuk temannya, ibunya, ayahnya, neneknya, tetangganya, bahkan untuk dirinya sendiri pun tak ada, pikirnya…
        Kakinya telah membawanya ke pasar Cijerah. Pusat kegiatan dan perbelanjaan orang Cijerah dan sekitarnya. Berjalan dengan tatapan kosong dan hampa, merasa hidupnya makin tak berguna.
            “Dik! Dik! Apa adik melihat seorang waria melintas disini?” Seseorang berpakaian hansip bertanya pada Budi.
            “Nggak pak.”
            “Ah bohong… pasti adik lihat.” Hansip berkata sambil tersenyum manja.
            “Nggak pak!”
            “Ah pasti adik lihat tapi malu mengatakannya, saya bisa melihat dari mata adik.”
            “Nggak pak. Ya ampun.”
            “Ah pasti adik meliha…”
       “Iya, iya, saya lihat, disana pak! Sembunyi dibalik karung beras!” Budi menunjukkan arah dan tempat yang asal, yang penting bebas dari hansip manis manja.
            “Makasih dek, gitu dong ah dari tadi, susah amat.” Hansip berkedip manja.

***

            “Dek ketangkep!” Hansip telah kembali dengan menggiring seorang waria.
            “Wah ketemu dimana pak?”
            “Di balik karung beras! Analisismu sangat hebat dik!”
       “Oh jadi anak curut ini yang kasih tau saya sembunyi dimana?!” waria tadi menunjuk-nunjuk jidat Budi. Waria yang sangat jauh dari kesan cantik. Jenggot, jakun, dan bulu dada yang wuw… keriting bow… membuat penampilannya tambah parah.
            “Nggak sengaja kok!”
        “Nggak sengaja, nggak sengaja! Padahal saya udah yakin nggak ada yang bisa menemukan saya dibalik karung itu.” waria itu melanjutkan.
        “Iya kamu sangat hebat dik! Bahkan saya yang sudah tau waria ini mencuri sekarung beras pun tidak dapat mengira keberadaannya,” sang hansip sempat menatap Budi dengan kagum sebelum pergi.
            “Dasar bedebah kamu anak onta! Tidak berguna! Anak tidak tau diuntung! Pergi kamu dari dunia! Tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi! Pergi! Bunuh dirimu sendiri sebelum simpatisanku mendatangi rumahmu! Menggerayangi mimpimu! Merasuki hidupmu!” Begitulah kira-kira kata perpisahan yang sempat diucapkan sang waria, seluruh kalimat caci maki dan sumpah serapah diucapkan.

            Budi semakin terpuruk dengan keputusasaan dan kehampaan akan hidup. Bahkan bagi seorang waria yang dia belum pernah kenal sebelumnya, dia tak lebih dari onggokan sampah. Tak berguna.


            Budi dan racun serangga

            “Bunuh dirimu sendiri… bunuh dirimu sendiri…,” kata-kata sang waria terus melekat dipikirannya.

            Di rumah Budi
            Tok tok tok, seseorang kembali mengetuk pintu rumah itu.
            “Iya sebentar.” (CEKELEK)
            “Bu ada kiriman!”
            “Subhanallah apa ini? Sungguh besar sekali!”
            “Nggak tau juga bu. Tapi kayaknya ibu menang undian bu.”
       “Subhanallah,” sang ibu histeris, menutup mulut dengan kedua tangan ala telenovela.
            “Tolong tanda tangan disini bu!”
          “Iya…,” Ibu Budi menandatangan dengan gemetar sambil melihat kardus tv 21 inchi didepannya. Telah terbayang masa depan indah yang akan disongsong bersama dengan tv itu.
            “Nenek! Kita dapat tipi baru!
            “Dari siapa? Baik sekali….”
          “Dari undian nek. Nama budi memang bawa hoki. Saya kan selalu pakai nama Budi untuk undian. Loh Budi dimana ya nek? Dari tadi nggak kelihatan.”
            “Nenek juga nggak tau. Tadi pergi kayaknya.”
        “Pergi kemana ya nek? Kok perasan saya nggak enak. Apa karena tadi dia dimarahin sama saya. Aduh nak cepatlah pulang. Tipi ini ada berkat kamu juga, nak.”
        “Iya, berkat Budi nenek jadi bisa ganti model kacamata. Impian nenek adalah punya kacamata mirip Madonna biar terlihat awet muda.”

            “Assalamualaikum!” ayah Budi yang bernama bapak Budi baru pulang kerja.
            “Waalaikumsalam!”
            “Ayah lihat ada tipi! Ini berkat Budi yah! Berkat Budi!”
            “Ada apa sih ini sebenarnya,” ayah Budi bertanya, meminta kejelasan.
        “Anak kita yah! Menangin undian, tapi dari tadi belum pulang juga. Nggak tau kenapa ibu jadi cemas, soalnya tadi ibu marahin dia.”
          “Bapak juga merasa nggak enak dari tadi. Padahal buang air besar sudah, ternyata ini masalahnya.”
          “Iya yah.”
         “Berkat Budi juga ayah bisa terlepas dari jeratan celana pendek kotak kuning renda jingga jahanam itu. Sudah lama ayah tidak mau memakai celana imut lucu itu tapi tak kuasa ayah melepaskan diri darinya.”
           “Benar yah. Ibu jadi lebih hati-hati menjemur pakaian sekarang, berkat Budi anak kita.”
         “Benar. Kacamata Madonna. Tergapai. Berkat Budi.” Nenek ikut bertukar pendapat.
            “Ayah, kita cari saja si Budi!”
            “Baik istriku!”
            “Baik menantuku!”
            “Nenek nggak usah ikut nek. Diluar banyak angin!”
            “Yah…,” nenek kecewa.

            Di sebuah jalan layang diatas tol
            Racun serangga telah ada dalam genggamannya. Tapi Budi masih terlalu bingung memilih, mati ditangan botol kecil berjudul ‘racun serangga aduhai dahsyatnya’, atau mati ditangan jalan tol yang padat di sore hari. Disebuah jalan layang menuju perumahan Gempol Sari dekat Cigondewah itu dia berpikir. Tapi kurang keren juga ya mati disini? Begitu pikirnya. Terlintas di benaknya wajah ibunda dan ayahanda tercinta, nenek serta tetangga juga teman sekelasnya. Budi semakin bingung. Bukankah bunuh diri itu dosa? Akankah seorang Budi dikalahkan oleh perkataan waria? Tidak! Tidak! Ini bukan diriku!

***

            “BUDIII!!! BUDIII!!!”
            Sebuah gorowok purba menghentaknya. Ayah dan bunda menjemputnya.
            “AYAAAH!!! IBUUU!!!”
            Disebuah sore nan jingga sejingga renda celana mereka berpelukan.

            “Budi maapkan ibu!”
            “Maapkan ayah juga!”
            “Budi yang seharusnya minta maap.”
            “Kamu pahlawan ayah!”
            “Pahlawan ibu juga, berkat kamu kita punya tipi baru, 21 pintu.”
            “Inchi bu.”
            “Iya inchi.”
            “Dari mana bu?”
            “Dari undian yang pakai nama kamu.”
            “Nenek gimana bu?”
            “Nenek bahagia bisa punya kacamata Madonna.”
            “Bu Sukamti dan Sukamto?”
            “Tadi ibu ketemu bu Sukamti, tak disangka dia berterima kasih karena anaknya, Sukamto, jadi trauma mandi hujan. Dia lebih takut anaknya tersambar petir, daripada tersambar celana kolor.”   
            “KAMI SEMUA SAYANG KAMU BUDI!”

TAMAT

Monday, July 22, 2013

TUGAS (TER-)AKHIR -- part 1

TUGAS (TER-)AKHIR
PART 1

                “LAAAAUUUUUUT!”
                “HERE WE COME, UUUUUT!”
                “KARJAAW, DIEM DI SANA BAEK-BAEK YAAAA, BENTAR LAGI KITA DATEEEENG!”
                “AAAAAAAAAAAKK!”
                Kami, empat mahasiswi Biologi tingkat akhir sedang dengan begitu kampungannya berteriak-teriak di pinggir pelabuhan Kartini, tak sabar menunggu KM Muria merapat dan membawa kami ke sana, Karimun Jawa. Kami berempat adalah teman satu jurusan di salah satu Universitas yang cukup beken di Semarang. Kami berempat begitu akrab, selain karena masing-masing punya sifat yang tidak saling berseberangan, kami pun berkampung halaman sama, Jepara.
                Ini sudah kali ketiga kami liburan bersama ke sana, tapi tak juga menyurutkan excitement kami terhadapnya, ya, Karimun Jawa memang terlalu indah untuk ditanggapi biasa-biasa saja. Perjalanan kali ini memang liburan bagi kami, tapi tidak bagiku, ada misi mulia yang juga cukup tengil di kepala, aku akan melakukan studi awal tugas akhir juga di sana. Tugas akhir ini tentang model budidaya long line Ptilophora pinnatifida atau ganggang merah. Supaya apaaa? Supaya bisa bolak-balik ke sana tentunyaaa, hahahaa. Kebetulan beasiswa yang aku terima juga mencakup pembiayaan penelitian tugas akhir, asik sekali kan?
                Angin meniup wajahku dengan sangat kencang, aku sangat menikmatinya, hingga akhirnya, Rara, teman yang berdiri di samping kiriku berkata, “rambutmu mbok ya dikuncir tho, dari tadi nampar-nampar pipiku ini,” akupun segera mengikat rambut panjangku demi menghilangkan cemberut di wajah manis Rara.
               Wajar angin bertiup sangat kencang, ini Maret, bulan lalu adalah akhir dari musim baratan, begitu warga sekitar menyebut musim angin barat yang menerjang-nerjang laut. Yap, Januari hingga Februari adalah bulan-bulan yang riskan bagi pelayaran Jepara-Karimun Jawa dan sebaliknya, karena curah hujan dan tinggi ombak meningkat di bulan-bulan ini. Segala aktifitas pelayaran dihentikan pada dua bulan tersebut, kecuali kapal-kapal besar, itu pun di waktu tertentu yang merupakan sela dari musim baratan, di mana ombak sedang tidak begitu tinggi. Sela musim baratan biasanya dipakai kapal besar untuk berlayar mengangkut kebutuhan pokok ke Karimun Jawa. Sempat ada ide untuk ikut KM Muria di sela musim baratan tersebut saking tak sabarnya kami menyicipi laut, tapi, buat apaaa, di sana kami tidak akan bisa menikmati pergi ke pulau-pulau sekitarnya.

***

                “Ran, di luar kok agak-agak gelap ya?” Suara Resti menyadarkanku yang sedari tadi duduk terkantuk-kantuk. Kami berada di geladak penumpang, penumpang tidak begitu padat di sini, tapi geladak dasar penuh dengan barang kebutuhan pokok.
                “Iya ya, yaaah, kita tidak disambut ceria nih sama Karjaw, hahaa. Eh, jam berapa nih?”
                “Jam 12 lewat lima belas.”
                “Sholat dulu yuk, kalo kita mati di kapal ini kan setidaknya dalam keadaan udah sholat tuh, hahaa.”
                “RANIAAA, mulai deh....”
                “Eh, bener kan, ahahaa. Yuk ah cus. Ra, yuk, sholat yuk.”
                “Eh? Okeee...,” dengan setengah sadar Rara mengucek matanya, “Ini Kanya gimana?” Rara menunjuk Kanya yang tidur bagai bangkai, tak bergerak, tak terganggu.
                “Tu anak mabok ant*mo ya, pules amat, ya udah tinggalin aja Ra, masih halangan kan dia.”
                “Iya, masih halangan, oh iya, kan dia besok baru beres halangannya, kita ga boleh snorkeling dulu hari ini katanya, kebersamaan.”
                “Wahahaa, males banget, kita sih snorkeling-snorkeling aja, dia suruh jaga penginapan, sambil ngeceng mas-mas yang Mirip  Bruno Mars itu loh.”
                “Oh, si Mars Bruno yang tahun lalu itu?”
                “Iyaaaa, hahahaa. Yuk ah,” bertiga kami menaiki tangga ke main deck kapal, lima kali menaiki kapal ini membuat kami sudah hafal betul tempat-tempat penting di sini, toilet, kantin, tempat duduk, musholla, penyimpanan life jacket juga sekoci.

***

                “Astagfirullahaladzim!” serempak kami berteriak, mukena yang dilipat Resti sempat berhamburan lagi ke lantai saking kagetnya merasakan kapal yang oleng karena terjangan ombak tinggi.
                “Raaa, Raaan, ini kok serem banget yaaa...,” kepanikan mengiasi wajah Resti yang cantik.
                “Tenang-tenang Res, ini Maret, dan lagi, nggak mungkin kan kapal ini boleh jalan kalau bakal ada badai. Senyuuum,” aku yang mantan Ketua Murid memang selalu punya naluri menenangkan orang lain, mengabaikan detak jantung sendiri yang berkejaran, takut. Dari berbagai cara mati yang ada di dunia, aku memang paling tidak ingin mati karena tenggelam, terbayang betapa menyakitkannya, mati perlahan dalam kepanikan. Lalu terbayang wajah ayah di rumah, beliau hanya punya aku, aku bergidik.
                “Global warming changes weather patterns, Ran. Gimana kalo perkiraannya salah, baratan sebenarnya masih berlangsung,” Resti meremas tangan Rara.
                “Sssttt, tadi udah pada berdoa buat keselamatan kita dan semua penumpang di sini kan?” Resti dan Rara mengangguk pelan atas pertanyaanku. “Then, we’ll safe. Yuk balik, Kanya kasian,” senyumku lebar, menggandeng Resti untuk kembali ke geladak penumpang. Tap tap tap.
                “ASTAGFIRULLAHALADZIM!” Kami bertiga berpegangan sambil satu tangan lainnya berpegangan pada pegangan di geladak utama ini. Sebuah ombak tinggi baru saja menerjang kami, tidak main-main, sekitar empat meter lebih, sedangkan ombak paling tinggi yang tercatat saat musim baratan adalah lima meter. Kapal rasanya miring ke kanan.
                Ngiiiiiiiiiiiing.. Suara bising pengeras suara yang baru dinyalakan menggema, aku tau kalimat apa yang akan keluar darinya.
                “Rara, Resti, kalian pakai life jacket ini,” terburu-buru aku mengambil life jacket yang menempel di dinding-dinding geladak utama, dekat dengan kami.
                “Ke.. kenapa Ran?”
                “Yang kencang, lalu jalan hati-hati ke sekoci seberang sana, aku ke bawah, jemput Kanya, sebelum orang-orang berhamburan ke atas sini,” kupakai life jacket-ku. Rara dan Resti untungnya kooperatif jika sudah mendengar kalimat berupa perintah dariku.
                “Jangan nangis,” masih sempat aku menyentuh pipi Resti, sedangkan Rara menggenggam tangannya bersiap jalan ke sekoci.
                “Hati-hati,” kata Rara mengiringiku yang berjalan menuju tangga.
                “Ngiiiiiiiiiiing, ngiiiiiing, perhatian, penumpang yang terhormat, harap mendengar pengumuman ini dengan cermat, jangan panik. Ombak yang baru saja menerjang kapal ini menyebabkan kapal miring ke kanan, penumpang diharap memakai life jacket yang berada di lemari-lemari berwarna orange di samping-samping geladak. Setelah itu, dengan tertib penumpang diharap menuju geladak utama dengan tangga kiri, awak kapal akan membimbing menuji sekoci,” pengumuman dari pengeras suara mengiringi jalanku di tangga yang belum padat, syukurlah. Suara khas kepanikan memenuhi geladak penumpang. Pengumuman setenang apapun memang tak akan mampu membendung kepanikan sekitar 150 orang dalam geladak.
                “Kapal ini akan tenggelam mas? Tenggelam?”
                “Ada kemungkinan seperti itu, Bu.”
                Awak-awak kapal membantu penumpang dengan urusan life jacket­-nya. Beberapa orang berpapasan denganku, “KE ATAS MBAK!” yang kujawab dengan, “jemput teman mas, tidak jauh dengan tangga, sebentar.” Kami sama-sama tergesa, tak ada yang menyeretku ke atas, untunglah.
                Itu dia, Kanya, sudah terbangun dari tidurnya dengan wajah ekstra panik, “KANYA!” Kanya mencari suaraku, melihatku, lalu segera berusaha menujuku. “LIFE JACKET-NYA DULU NYA!” Kanya mengangguk, dalam kerumunan dia menuju awak yang membawa life-jacket, Kanya yang bertubuh kecil belum sampai di hadapan awak tersebut ketika seorang bapak mengambil seluruh jaket tersebut untuk keluarganya. Kanya tenggelam dalam kerumunan, hatiku mencelos. “KANYA! KANYA! KAMU BISA DENGER AKU KAN?!”
                “IYA BISAAA!” cempreng suaranya membuatku lega.
                “KAMU JALAN KE TANGGA KIRI, HATI-HATI, PELAN-PELAN AJA NYA, AKU AMBILIN LIFE JACKET BUAT KAMU!” Kanya di sana terisak, hanya mengangguk. “KANYA! KANYA? KAMU DENGER KAN?”
                “IYA DENGER! IYA, AKU KE TANGGA!” teriakan Kanya bergetar, aku tahu dia menangis.
                Segera aku ke awak lain yang masih membawa life jacket. Tidak sesulit Kanya, tubuhku agak besar. “Mas, satu.”
                “Itu?” ia melihat life jacket yang sudah kukenakan.
                “Untuk temanku!” suaraku meninggi.
                “Teman yang mana? Mungkin dia sudah diberi life jacket oleh awak lain!” telingaku tak dapat lagi membedakan yang mana ketus yang mana tegas.
                “Di sana! Kecil, dia, dia kesulitan!”
                “Life jacket ini jumlahnya pas. Mbak jangan main-main. Ini menyangkut nyawa orang lain!”
                “INI MENYANGKUT NYAWA TEMAN SAYA!” kutatap awak itu, tepat di matanya, lurus, satu detik setelahnya air mata mengaburkan pandanganku. Detik berikutnya, tanganku sudah menyentuh life jacket, awak tadi yang memberi, ditepuknya lenganku, “hati-hati mbak, doaku untukmu.” Kuseka air di mataku, ada senyum di wajah kami berdua.
                Segera aku menuju tangga, Kanya menunggu di sana. Kupeluk tubuh mungilnya, beberapa bulir air jatuh lagi, menuju pundaknya. Kanya sudah mempersiapkan mentalnya dengan baik rupanya, dia tak menyambutku dengan tangis, di tepuknya punggunggu. “Rania, kita akan baik-baik aja.”
                “Iya Nya, pasti,” kulepas pelukanku, menyeka lagi air mata dengan terburu-buru. “Pakai Nya, yang kenceng ya,” Kanya segera memakai life jacket-nya.
                “Yuk Nya.” Kugenggam tangan Kanya, membimbingnya menaiki tangga.
                “Yang lain udah di atas kan?”
                “Iya.”

***

                Tidak ada yang berbicara, sembilan orang dalam sekoci ini hanya mampu memandangi kapal yang semakin turun, tertelan air laut, kapal ternyata benar-benar tenggelam. Isak tangis seorang ibu menghiasi keheningan kami, ada sedikit nada ratapan di sana. Ya, betapapun bersyukurnya beliau atas keselamatannya, tetap saja, separuh hidupnya tertinggal di sana, toko berasnya akan kosong hingga entah berapa lama, seluruh bulirnya tenggelam di sana.
                Tidak ada awak kapal di sekoci kami, dan diantara penumpang sekoci ada kami berempat, berpegangan, terhuyung-huyung dalam ombak. Sedikit saja kata yang mampu kami tukar, tapi ada syukur di dalamnya. Kadang ombak yang agak besar membuat kami melepaskan genggaman masing-masing, untuk kemudian berpegang erat di sekoci.
                “Mm, makasih ya kalian semua...,” aku memulai pembicaraan. “Makasih untuk persahabatan kita selama ini...,” entahlah, kata-kata ini menghambur begitu saja tanpa kendali, begitu juga air di mataku.
                “Raniaaa, jangan bikin suasana jadi melankolis begini deeeh,” Rara menyambut kalimatku juga dengan kalimat yang basah dengan air mata. Jadilah kami berempat bertukar kata terimakasih dan maaf, ada perasaan nyaman setelahnya, lega.
                “ASTAGFIRULLAH, PEGANGAAAN!” aku melihat ombak setinggi 3 meter akan segera menerjang kami.
                Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.