The Chronicles of Nyanyaa

THE CHRONICLES OF NYANYAA
Ini Kisah Nyata - Ini Kisah Nyanyaa

Thursday, August 1, 2013

TUGAS TER-(AKHIR) -- part 2

TUGAS (TER-)AKHIR
part 2

         Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.

***
               
                “RANIAAA! RANIAAA! RANIA KAMU DI MANAAA?”

***

                Phuaaaah! Aku yang baru saja menyembul kemudian megap-megap, mengumpulkan oksigen untuk dijalarkan ke seluruh tubuh, munculnya tubuhku disambut dengan teriakan syukur teman-temanku. Setelah cukup stabil, aku bergerak mendekat, bergabung bersama mereka yang berpegangan pada sekoci yang terbalik. Tidak ada upaya membalikkan sekoci, kami semua masih lemas.
              Akibat gulungan ombak tadi, posisi kami menjadi lebih berdekatan dengan sekoci-sekoci lain, ada yang bernasib sama dengan kami, ada pula yang masih aman mengambang. Informasi dari mulut ke mulut mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa atau hilang atas gulungan ombak tadi. Dari mulut ke mulut yang kali ini bersumber dari awak kapal di sekoci ujung sana jugalah kami tahu, bahwa badai telah usai, satu jam lagi akan tiba tim SAR juga beberapa kapal cepat armada KMC Kartini dan KMC Express Bahari yang akan segera menolong kami. Ucap syukur lagi-lagi memenuhi mulut kami.

***

                Ayah dan ibu Rara memeluk Rara erat. “Yang lain udah ada yang jemput Ra?” ujar ayahnya.
                “Udah kok Yah.”
             “Oh, oke, yuk,” ayah Rara mengelus kepala Rara, lalu mereka bertiga dan juga aku berjalan menuju tempat parkir. Aku bilang pada Rara untuk menumpang mobil ayahnya, aku ingin mengabarkan kejadian hari ini di rumah saja.
              Rara membukakan pintu belakang, aku masuk, disusul Rara. Ayah dan ibu Rara sudah menunggu di kursi depan. Perasaan shock masih membungkam mulut kami, perjalanan sore ini hening.

***

                “Yah, Yah, kelewatan Yah!” Rara menepuk pundak ayahnya yang menyetir lurus tanpa berhenti di jalan menuju rumahku.
                “Eh?” Ayah Rara menghentikan mobil.
                “Itu iiih, kelewatan.” Rara menunjuk jalan kecil menuju rumahku.
              “Oh..., ya ampun..., iya iya, hampir lupa,” ayah Rara merogoh saku, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan ke Rara, “beli 3 aja ya, kakakmu masih di Semarang.”
                “Eh? Beli ayam goreng?”
                “Lah, iya.”
               Rara membuka pintu dan turun, aku pun begitu, tidak sempat mengucap terimakasih karena ayah ibu Rara memesan tempe, tahu, ayam yang digoreng tidak terlalu kering, dan lain sebagainya. Ada tempat ayam goreng langganan mereka tepat di sebelah jalan menuju rumahku.
                “Ra, aku duluan ya.”
                “Iya Ran, hati-hati ya.”
                “Iya, makasih untuk semuanya, salam ke ayah ibumu, bilang makasih juga ya.”
                “Oka Ran, makasih juga ya.”
                Kami berbagi senyum, lalu berpisah jalan.

***

                Aku mengucap salam dan masuk ke rumah, duduk di sofa ruang tamu. Ayah berdiri di ruang keluarga, sedang bertelefon dengan menggunakan telefon rumah, suaranya berbeda, seperti sedang menangis, aku tak berani mengganggu.
                “Iya, langsung bawa ke sini saja.”
                ...
                “Tidak, tidak, saya tidak mengijinkannya.”
                ...
                “Iya, langsung bawa ke sini, alamat rumah yang tadi.”
                ...
                “Iya, betul, ingin segera saya urus di sini.”
                ...
                “Iya, terimakasih.”
                ...
                “Waalaikumsalam.”
                Klik, gagang telefon diletakkan.
                “Ayah?” ragu-ragu, aku sapa dirinya.
                “Raa.. Rania?”
                “Ayah? Ayah kenapa?”
                “Kamu sudah pulang nak?” ayah memelukku, tidak biasanya, mungkin kaget dengan kepulanganku. Pelukannya singkat, dengan tiba-tiba aku dilepasnya, lalu beliau menyeka matanya.
                “Iya, ayah kenapa?”
                “Sudah... meninggal....”
                “Siapa Yah?
                “Mm..., itu..., pak Anto,” ayah tampak terpukul sekali.
                “Innalillahi, teman mancing ayah?’
                “I... iya..., padahal tadi pagi kami masih bertemu, begitu mendadak....”
                “...,” sungguh, aku bingung sekali jika dihadapkan pada situasi sekarang, tak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi kesedihan ayah. Ayah menyadari hal itu, lalu merubah raut mukanya, tersenyum.
                “Kamu, pasti banyak yang ingin diceritakan kan? Ayo, kenapa bisa pulang lagi ke sini? Sesuatu terjadi?”
                “Iya yah,” aku menceritakan segalanya, ombak yang tiba-tiba, sekoci yang terbalik, hingga pulang diantar ayah Rara. Berbicara dengan ayah membuatku ingin menangis tapi senyumnya membuatku melanjutkan cerita-ceritaku sampai akhir. Kami terdiam berdua, tak beberapa lama hingga sirene ambulans memecah hening.
                Mobil putih itu memasuki halaman rumahku.
                “Ada apa Yah?”
                “Urusan pengurus masjid, kamu masuk kamarmu dulu ya nak, ayah tinggal sebentar.”
                “Iya yah,” aku menuju kamar, kamarku di samping ruang tamu, tidak jauh. Kudengar ayah berbicara pada orang-orang itu, tidak jelas. Aku mengamati dari jendela kamarku, samar terlihat pengurus masjid menghampiri ayah, memeluknya sebentar, berbicara ini itu yang tak bisa kudengar, lalu pergi. Sesuatu dibawa ke ruang di samping kamarku, sungguh, aku penasaran ingin tahu, ayah begitu lama kembali. “Ayaaah?”
                “Iya nak, tunggu sebentar, ayah belum selesai,” berbisik ayah di pintu kamarku.

***

                “Nak...,” ayah membuka pintu kamarku, lalu masuk.
                “Ada apa sih Yah? Mereka siapa? Ada urusan apa?”
             “Sini,” ayah mengizinkanku mengintip ke ruang tamu. Aku berdiri di sana, mematung, melihat apa yang ada di sana. Kepalaku seperti berputar, seperti ada layar besar memproyeksikan apa yang terjadi hari ini.
               Ada aku, berteriak di pinggir pelabuhan bersama tiga yang lain. Ada Kanya, melompat-lompat tak bisa diam. Ada petugas karcis, merobek tiket kami. Ada Resti, mencari air mineral untuk Kanya minum obat mabuk. Ada Rara, menggoda Kanya dengan olok-olokan Mas Bruno. Ada kami bertiga, naik ke geladak utama. Ada mukena, jatuh ke lantai musholla. Ada life jacket, terpasang di tubuh kami. Ada tangga, kupijak terburu-buru. Ada kerumunan orang, menutup Kanya. Ada awak kapal, dan perdebatan singkat dengannya. Ada sekoci, kami naiki bersama. Ada seorang ibu, menangis sendu. Ada gadis SMP, tangan menggigilnya digenggam Resti. Ada ombak besar, menggulung beberapa sekoci. Ada gadis tadi, terjebak di bawah sekoci bersamaku. Ada tali life jacket, menyangkut di sekoci. Ada biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada teriakan memanggil namaku. Menjauh, jauh, semakin jauh.
                “Nak...,” hati-hati ayah memanggilku.
                “Ayah...,” bercucuran air mataku, ayah memelukku.
                “Iya, tidak apa-apa, menangis saja.”
                “Ayah..., aku...”
                “Iya, kamu hebat nak...,” ayah melepas peluknya, ada yang menggenang di pelupuk matanya.
                “Ayah...”
                “Iya...”
           “Terimakasih untuk semuanya...,” isakku semakin menjadi, ayah memelukku lagi. Kulihat lengan yang melingkar di badanku, longgar, sedari tadi ayah hanya berpura-pura memelukku, membuatku tenang. “Aku sayang ayah, sayaaang sekali. Ayah harus hidup sehat. Ayah kuat.”
                “Ayah pun sayang kamu Nak, sangat sayang,” ayah terisak.
                “Maaf untuk segala kesalahanku Yah, aku belum sempat membalas segala kebaikan ayah.”
                “Kehadiranmu selama ini sudah lebih dari cukup nak.”
              “Aku bahagia Yah, ayah pun harus begitu. Aku mengakhiri segalanya dengan indah, ayah jangan sedih. Tenggelam... rupanya tak sesakit yang aku kira.”
                “Syukurlah...,” samar, kulihat senyumnya dari balik air di mataku. Biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada suara ayah yang bergetar, beristigfar, menjauh, jauh, semakin jauh, hilang.

Thursday, August 1, 2013

TUGAS TER-(AKHIR) -- part 2

TUGAS (TER-)AKHIR
part 2

         Ombak segera menghempas, beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku. Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku menyangkut di sekoci.

***
               
                “RANIAAA! RANIAAA! RANIA KAMU DI MANAAA?”

***

                Phuaaaah! Aku yang baru saja menyembul kemudian megap-megap, mengumpulkan oksigen untuk dijalarkan ke seluruh tubuh, munculnya tubuhku disambut dengan teriakan syukur teman-temanku. Setelah cukup stabil, aku bergerak mendekat, bergabung bersama mereka yang berpegangan pada sekoci yang terbalik. Tidak ada upaya membalikkan sekoci, kami semua masih lemas.
              Akibat gulungan ombak tadi, posisi kami menjadi lebih berdekatan dengan sekoci-sekoci lain, ada yang bernasib sama dengan kami, ada pula yang masih aman mengambang. Informasi dari mulut ke mulut mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa atau hilang atas gulungan ombak tadi. Dari mulut ke mulut yang kali ini bersumber dari awak kapal di sekoci ujung sana jugalah kami tahu, bahwa badai telah usai, satu jam lagi akan tiba tim SAR juga beberapa kapal cepat armada KMC Kartini dan KMC Express Bahari yang akan segera menolong kami. Ucap syukur lagi-lagi memenuhi mulut kami.

***

                Ayah dan ibu Rara memeluk Rara erat. “Yang lain udah ada yang jemput Ra?” ujar ayahnya.
                “Udah kok Yah.”
             “Oh, oke, yuk,” ayah Rara mengelus kepala Rara, lalu mereka bertiga dan juga aku berjalan menuju tempat parkir. Aku bilang pada Rara untuk menumpang mobil ayahnya, aku ingin mengabarkan kejadian hari ini di rumah saja.
              Rara membukakan pintu belakang, aku masuk, disusul Rara. Ayah dan ibu Rara sudah menunggu di kursi depan. Perasaan shock masih membungkam mulut kami, perjalanan sore ini hening.

***

                “Yah, Yah, kelewatan Yah!” Rara menepuk pundak ayahnya yang menyetir lurus tanpa berhenti di jalan menuju rumahku.
                “Eh?” Ayah Rara menghentikan mobil.
                “Itu iiih, kelewatan.” Rara menunjuk jalan kecil menuju rumahku.
              “Oh..., ya ampun..., iya iya, hampir lupa,” ayah Rara merogoh saku, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan ke Rara, “beli 3 aja ya, kakakmu masih di Semarang.”
                “Eh? Beli ayam goreng?”
                “Lah, iya.”
               Rara membuka pintu dan turun, aku pun begitu, tidak sempat mengucap terimakasih karena ayah ibu Rara memesan tempe, tahu, ayam yang digoreng tidak terlalu kering, dan lain sebagainya. Ada tempat ayam goreng langganan mereka tepat di sebelah jalan menuju rumahku.
                “Ra, aku duluan ya.”
                “Iya Ran, hati-hati ya.”
                “Iya, makasih untuk semuanya, salam ke ayah ibumu, bilang makasih juga ya.”
                “Oka Ran, makasih juga ya.”
                Kami berbagi senyum, lalu berpisah jalan.

***

                Aku mengucap salam dan masuk ke rumah, duduk di sofa ruang tamu. Ayah berdiri di ruang keluarga, sedang bertelefon dengan menggunakan telefon rumah, suaranya berbeda, seperti sedang menangis, aku tak berani mengganggu.
                “Iya, langsung bawa ke sini saja.”
                ...
                “Tidak, tidak, saya tidak mengijinkannya.”
                ...
                “Iya, langsung bawa ke sini, alamat rumah yang tadi.”
                ...
                “Iya, betul, ingin segera saya urus di sini.”
                ...
                “Iya, terimakasih.”
                ...
                “Waalaikumsalam.”
                Klik, gagang telefon diletakkan.
                “Ayah?” ragu-ragu, aku sapa dirinya.
                “Raa.. Rania?”
                “Ayah? Ayah kenapa?”
                “Kamu sudah pulang nak?” ayah memelukku, tidak biasanya, mungkin kaget dengan kepulanganku. Pelukannya singkat, dengan tiba-tiba aku dilepasnya, lalu beliau menyeka matanya.
                “Iya, ayah kenapa?”
                “Sudah... meninggal....”
                “Siapa Yah?
                “Mm..., itu..., pak Anto,” ayah tampak terpukul sekali.
                “Innalillahi, teman mancing ayah?’
                “I... iya..., padahal tadi pagi kami masih bertemu, begitu mendadak....”
                “...,” sungguh, aku bingung sekali jika dihadapkan pada situasi sekarang, tak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi kesedihan ayah. Ayah menyadari hal itu, lalu merubah raut mukanya, tersenyum.
                “Kamu, pasti banyak yang ingin diceritakan kan? Ayo, kenapa bisa pulang lagi ke sini? Sesuatu terjadi?”
                “Iya yah,” aku menceritakan segalanya, ombak yang tiba-tiba, sekoci yang terbalik, hingga pulang diantar ayah Rara. Berbicara dengan ayah membuatku ingin menangis tapi senyumnya membuatku melanjutkan cerita-ceritaku sampai akhir. Kami terdiam berdua, tak beberapa lama hingga sirene ambulans memecah hening.
                Mobil putih itu memasuki halaman rumahku.
                “Ada apa Yah?”
                “Urusan pengurus masjid, kamu masuk kamarmu dulu ya nak, ayah tinggal sebentar.”
                “Iya yah,” aku menuju kamar, kamarku di samping ruang tamu, tidak jauh. Kudengar ayah berbicara pada orang-orang itu, tidak jelas. Aku mengamati dari jendela kamarku, samar terlihat pengurus masjid menghampiri ayah, memeluknya sebentar, berbicara ini itu yang tak bisa kudengar, lalu pergi. Sesuatu dibawa ke ruang di samping kamarku, sungguh, aku penasaran ingin tahu, ayah begitu lama kembali. “Ayaaah?”
                “Iya nak, tunggu sebentar, ayah belum selesai,” berbisik ayah di pintu kamarku.

***

                “Nak...,” ayah membuka pintu kamarku, lalu masuk.
                “Ada apa sih Yah? Mereka siapa? Ada urusan apa?”
             “Sini,” ayah mengizinkanku mengintip ke ruang tamu. Aku berdiri di sana, mematung, melihat apa yang ada di sana. Kepalaku seperti berputar, seperti ada layar besar memproyeksikan apa yang terjadi hari ini.
               Ada aku, berteriak di pinggir pelabuhan bersama tiga yang lain. Ada Kanya, melompat-lompat tak bisa diam. Ada petugas karcis, merobek tiket kami. Ada Resti, mencari air mineral untuk Kanya minum obat mabuk. Ada Rara, menggoda Kanya dengan olok-olokan Mas Bruno. Ada kami bertiga, naik ke geladak utama. Ada mukena, jatuh ke lantai musholla. Ada life jacket, terpasang di tubuh kami. Ada tangga, kupijak terburu-buru. Ada kerumunan orang, menutup Kanya. Ada awak kapal, dan perdebatan singkat dengannya. Ada sekoci, kami naiki bersama. Ada seorang ibu, menangis sendu. Ada gadis SMP, tangan menggigilnya digenggam Resti. Ada ombak besar, menggulung beberapa sekoci. Ada gadis tadi, terjebak di bawah sekoci bersamaku. Ada tali life jacket, menyangkut di sekoci. Ada biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada teriakan memanggil namaku. Menjauh, jauh, semakin jauh.
                “Nak...,” hati-hati ayah memanggilku.
                “Ayah...,” bercucuran air mataku, ayah memelukku.
                “Iya, tidak apa-apa, menangis saja.”
                “Ayah..., aku...”
                “Iya, kamu hebat nak...,” ayah melepas peluknya, ada yang menggenang di pelupuk matanya.
                “Ayah...”
                “Iya...”
           “Terimakasih untuk semuanya...,” isakku semakin menjadi, ayah memelukku lagi. Kulihat lengan yang melingkar di badanku, longgar, sedari tadi ayah hanya berpura-pura memelukku, membuatku tenang. “Aku sayang ayah, sayaaang sekali. Ayah harus hidup sehat. Ayah kuat.”
                “Ayah pun sayang kamu Nak, sangat sayang,” ayah terisak.
                “Maaf untuk segala kesalahanku Yah, aku belum sempat membalas segala kebaikan ayah.”
                “Kehadiranmu selama ini sudah lebih dari cukup nak.”
              “Aku bahagia Yah, ayah pun harus begitu. Aku mengakhiri segalanya dengan indah, ayah jangan sedih. Tenggelam... rupanya tak sesakit yang aku kira.”
                “Syukurlah...,” samar, kulihat senyumnya dari balik air di mataku. Biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru dan abu-abu. Hitam. Ada suara ayah yang bergetar, beristigfar, menjauh, jauh, semakin jauh, hilang.