Ombak segera menghempas,
beberapa sekoci di depan kami sudah masuk dalam gulungan, “JANGAN! JANGAN
PEGANGAN KE SEKOCI! ATUR NAPAS! BERSIAP UNTUK LOMPAT!” pikiran pendekku memilih
untuk tergulung bebas di ombak lalu menyembul lagi dengan bantuan life jacket yang kami kenakan, daripada
diam di sekoci yang pasti akan terbalik, akan lebih sulit menyembul lagi jika
terjebak dibalik sekoci. “TARIK NAPAS! LOMPAT!” Semua orang dalam sekociku
lompat di saat yang tepat, semua, kecuali aku dan gadis SMP di sebelahku.
Kutarik tubuhnya, lompat. Ombak segera menggulung kami, untungnya tidak begitu
lama, sehingga masih menyisakan nafas yang masih cukup untuk menyeret tubuh
anak ini keluar dari balik badan sekoci. Phuuuuaaah, suaranya mengambil nafas
melegakanku. Aku segera menyusulnya, menyembul ke permukaan benar-benar hal
yang aku idamkan, nafasku mulai tercekat. Tapi kenapa? Gerakan tanganku tak
membuatku maju, taliku, tali life jacket-ku
menyangkut di sekoci.
***
“RANIAAA! RANIAAA! RANIA KAMU DI
MANAAA?”
***
Phuaaaah! Aku yang baru saja menyembul
kemudian megap-megap, mengumpulkan oksigen untuk dijalarkan ke seluruh tubuh,
munculnya tubuhku disambut dengan teriakan syukur teman-temanku. Setelah cukup
stabil, aku bergerak mendekat, bergabung bersama mereka yang berpegangan pada
sekoci yang terbalik. Tidak ada upaya membalikkan sekoci, kami semua masih
lemas.
Akibat gulungan ombak tadi,
posisi kami menjadi lebih berdekatan dengan sekoci-sekoci lain, ada yang
bernasib sama dengan kami, ada pula yang masih aman mengambang. Informasi dari
mulut ke mulut mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa atau hilang atas gulungan
ombak tadi. Dari mulut ke mulut yang kali ini bersumber dari awak kapal di
sekoci ujung sana jugalah kami tahu, bahwa badai telah usai, satu jam lagi akan
tiba tim SAR juga beberapa kapal cepat armada KMC Kartini dan KMC Express
Bahari yang akan segera menolong kami. Ucap syukur lagi-lagi memenuhi mulut
kami.
***
Ayah dan ibu Rara memeluk Rara
erat. “Yang lain udah ada yang jemput Ra?” ujar ayahnya.
“Udah kok Yah.”
“Oh, oke, yuk,” ayah Rara
mengelus kepala Rara, lalu mereka bertiga dan juga aku berjalan menuju tempat
parkir. Aku bilang pada Rara untuk menumpang mobil ayahnya, aku ingin
mengabarkan kejadian hari ini di rumah saja.
Rara membukakan pintu belakang,
aku masuk, disusul Rara. Ayah dan ibu Rara sudah menunggu di kursi depan.
Perasaan shock masih membungkam mulut
kami, perjalanan sore ini hening.
***
“Yah, Yah, kelewatan Yah!” Rara
menepuk pundak ayahnya yang menyetir lurus tanpa berhenti di jalan menuju
rumahku.
“Eh?” Ayah Rara menghentikan
mobil.
“Itu iiih, kelewatan.” Rara
menunjuk jalan kecil menuju rumahku.
“Oh..., ya ampun..., iya iya,
hampir lupa,” ayah Rara merogoh saku, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan
memberikan ke Rara, “beli 3 aja ya, kakakmu masih di Semarang.”
“Eh? Beli ayam goreng?”
“Lah, iya.”
Rara membuka pintu dan turun,
aku pun begitu, tidak sempat mengucap terimakasih karena ayah ibu Rara memesan
tempe, tahu, ayam yang digoreng tidak terlalu kering, dan lain sebagainya. Ada
tempat ayam goreng langganan mereka tepat di sebelah jalan menuju rumahku.
“Ra, aku duluan ya.”
“Iya Ran, hati-hati ya.”
“Iya, makasih untuk semuanya,
salam ke ayah ibumu, bilang makasih juga ya.”
“Oka Ran, makasih juga ya.”
Kami berbagi senyum, lalu
berpisah jalan.
***
Aku mengucap salam dan masuk ke
rumah, duduk di sofa ruang tamu. Ayah berdiri di ruang keluarga, sedang
bertelefon dengan menggunakan telefon rumah, suaranya berbeda, seperti sedang
menangis, aku tak berani mengganggu.
“Iya, langsung bawa ke sini
saja.”
...
“Tidak, tidak, saya tidak
mengijinkannya.”
...
“Iya, langsung bawa ke sini,
alamat rumah yang tadi.”
...
“Iya, betul, ingin segera saya
urus di sini.”
...
“Iya, terimakasih.”
...
“Waalaikumsalam.”
Klik, gagang telefon diletakkan.
“Ayah?” ragu-ragu, aku sapa
dirinya.
“Raa.. Rania?”
“Ayah? Ayah kenapa?”
“Kamu sudah pulang nak?” ayah
memelukku, tidak biasanya, mungkin kaget dengan kepulanganku. Pelukannya
singkat, dengan tiba-tiba aku dilepasnya, lalu beliau menyeka matanya.
“Iya, ayah kenapa?”
“Sudah... meninggal....”
“Siapa Yah?
“Mm..., itu..., pak Anto,” ayah
tampak terpukul sekali.
“Innalillahi, teman mancing
ayah?’
“I... iya..., padahal tadi pagi
kami masih bertemu, begitu mendadak....”
“...,” sungguh, aku bingung sekali
jika dihadapkan pada situasi sekarang, tak tahu harus berbuat apa untuk
mengurangi kesedihan ayah. Ayah menyadari hal itu, lalu merubah raut mukanya,
tersenyum.
“Kamu, pasti banyak yang ingin
diceritakan kan? Ayo, kenapa bisa pulang lagi ke sini? Sesuatu terjadi?”
“Iya yah,” aku menceritakan
segalanya, ombak yang tiba-tiba, sekoci yang terbalik, hingga pulang diantar
ayah Rara. Berbicara dengan ayah membuatku ingin menangis tapi senyumnya
membuatku melanjutkan cerita-ceritaku sampai akhir. Kami terdiam berdua, tak
beberapa lama hingga sirene ambulans memecah hening.
Mobil putih itu memasuki halaman
rumahku.
“Ada apa Yah?”
“Urusan pengurus masjid, kamu
masuk kamarmu dulu ya nak, ayah tinggal sebentar.”
“Iya yah,” aku menuju kamar,
kamarku di samping ruang tamu, tidak jauh. Kudengar ayah berbicara pada
orang-orang itu, tidak jelas. Aku mengamati dari jendela kamarku, samar
terlihat pengurus masjid menghampiri ayah, memeluknya sebentar, berbicara ini
itu yang tak bisa kudengar, lalu pergi. Sesuatu dibawa ke ruang di samping
kamarku, sungguh, aku penasaran ingin tahu, ayah begitu lama kembali. “Ayaaah?”
“Iya nak, tunggu sebentar, ayah
belum selesai,” berbisik ayah di pintu kamarku.
***
“Nak...,” ayah membuka pintu
kamarku, lalu masuk.
“Ada apa sih Yah? Mereka siapa?
Ada urusan apa?”
“Sini,” ayah mengizinkanku
mengintip ke ruang tamu. Aku berdiri di sana, mematung, melihat apa yang ada di
sana. Kepalaku seperti berputar, seperti ada layar besar memproyeksikan apa
yang terjadi hari ini.
Ada aku, berteriak di pinggir pelabuhan
bersama tiga yang lain. Ada Kanya, melompat-lompat tak bisa diam. Ada petugas
karcis, merobek tiket kami. Ada Resti, mencari air mineral untuk Kanya minum
obat mabuk. Ada Rara, menggoda Kanya dengan olok-olokan Mas Bruno. Ada kami
bertiga, naik ke geladak utama. Ada mukena, jatuh ke lantai musholla. Ada life jacket, terpasang di tubuh kami.
Ada tangga, kupijak terburu-buru. Ada kerumunan orang, menutup Kanya. Ada awak
kapal, dan perdebatan singkat dengannya. Ada sekoci, kami naiki bersama. Ada
seorang ibu, menangis sendu. Ada gadis SMP, tangan menggigilnya digenggam
Resti. Ada ombak besar, menggulung beberapa sekoci. Ada gadis tadi, terjebak di
bawah sekoci bersamaku. Ada tali life
jacket, menyangkut di sekoci. Ada biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru
dan abu-abu. Hitam. Ada teriakan memanggil namaku. Menjauh, jauh, semakin jauh.
“Nak...,” hati-hati ayah
memanggilku.
“Ayah...,” bercucuran air
mataku, ayah memelukku.
“Iya, tidak apa-apa, menangis
saja.”
“Ayah..., aku...”
“Iya, kamu hebat nak...,” ayah
melepas peluknya, ada yang menggenang di pelupuk matanya.
“Ayah...”
“Iya...”
“Terimakasih untuk semuanya...,”
isakku semakin menjadi, ayah memelukku lagi. Kulihat lengan yang melingkar di
badanku, longgar, sedari tadi ayah hanya berpura-pura memelukku, membuatku
tenang. “Aku sayang ayah, sayaaang sekali. Ayah harus hidup sehat. Ayah kuat.”
“Ayah pun sayang kamu Nak,
sangat sayang,” ayah terisak.
“Maaf untuk segala kesalahanku
Yah, aku belum sempat membalas segala kebaikan ayah.”
“Kehadiranmu selama ini sudah
lebih dari cukup nak.”
“Aku bahagia Yah, ayah pun harus
begitu. Aku mengakhiri segalanya dengan indah, ayah jangan sedih. Tenggelam...
rupanya tak sesakit yang aku kira.”
“Syukurlah...,” samar, kulihat
senyumnya dari balik air di mataku. Biru dan abu-abu, biru dan abu-abu, biru
dan abu-abu. Hitam. Ada suara ayah yang bergetar, beristigfar, menjauh, jauh,
semakin jauh, hilang.
kok aku ra ngerti iki nis...
ReplyDeleteudah abis belum ini ceritane..??
*garuk2.pala
Hmuahahaa, uwis, uwis rampung Din >,<
DeleteItu si Ranianya udah mati pas kejebak di bawah sekoci, ahahaa, makanya mayatnya ga ngapung, terus ayah-ibunya Rara nggak ngeliat dia, yg liat cuma temen2nya sama ayahnya :))) *apadeh
nah..nah.. aku sempet nebak gitu tadi stlh berulang kali dibaca... >.<
ReplyDeletetp yo yg heran krn msh ada bbrp yg liat dia makanya malah bingung..
kok yo iso msh byk yg bs liat dia ya... eheee..
tp ya sih... namanya jg cerita... apa aja bs terjadi...versi penulisnya...
good job nis... :)
Hmuahahaa, makacih sampe baca ulang gegara ga ngerti T,T Ouch, menyusahkan T,T
DeleteAhahaa, iya, di pikiran aku tuh, jadi si Rania ini ingin banget ngelindungin temen2nya, sampe beres, sampe temen2nya selamat sampe rumah, jadi gitu deh. Nah pokoknya yg ga berhubungan sama kecelakaan kapal itu (kecuali ayahnya sendiri) ga bisa liat deh.. Aduh, emang apa-deh-banget ini cerita.. :)))
Kan ini teh aku buat based on mimpi ya Din, nah di mimpi itu yg ngena banget itu selain pas tenggelem dan nyelamatin orang, juga pas dia tau kalo dia udah mati. Perasaan sedih2 bahagia waktu dia liat pelukan ayahnya longgar dan cuma pura2 meluk supaya dia ngerasa nyaman (di dalem mimpi sih itu aku, giahahhaaa). Jadi, dua adegan dalam mimpi itu nggak aku buang untuk ditulis di sini, hiyahahahahaa :))) Walaupun ga masuk akalnya parah T,T
waaaaa... based on mimpi...?? pantes bs dpt feelnya... kyk kamunya pernah ngalamin...
ReplyDeletemerinding jg ya mimpi beginian nis...
tak apa.. ending tak terduga dengan cerita yg agak membingungkan justru itu yg seru...
i enjoy it :)
Iya, based on mimpi, hmahahaa, absurd amat mimpi diajadiin cerpen :)))
DeleteIya, serem banget, tapi karena niat mau ditulis, seremnya berubah jadi semangat, ahahaa..
Makasih banyak Adin, jasamu mau-maunya baca part 1 dan nyelesein part 2 sampe diulang segala sungguh tak dapat oh aku membalasnya *sungkem *sampe lebaran
Makasih yaaaa :'D :'D
trus aku dapet apa..?? gada hadiah yg lebih ok gitu..?? :p
ReplyDeleteselamat lebaran... sampai ketemu di Bandung *eh :D
Cukuplah cinta dan kasih sayang dariku sebagai hadiahnya :3 :3 :3
DeleteSelamat lebaraaan :9 Adin ke Bandung? Asiiik!
preeeett...!! -_-"
Deletelebaran masih bbrp hari lg nis... udah pengen bgt ya lebaran...?? ck..
iyah.. aku ke Bandung... someday :D
Yeee, udah lebaraaaan >,< Tapi sedih juga sih T,T
DeleteOkeee, ditunggu di Mbanduuung :*