Kalau kamu seusia saya
(baca: 17 tahun, giahahahaa), setidaknya sekali dalam hidupmu, kamu pernah
mengalami momen di mana kamu tidak bersalah sama sekali, tapi justru kamu yang
ditanya, atau dipojokkan, atau bahkan dimarahi duluan, supaya terlihat bahwa
kamu lah yang bersalah. Pernah? Hihii, barusan saja saya mengalami ini lagi,
karena itulah saya tergerak membuat tulisan ini.
Tadi sore, saat sedang
bermotor ria dengan kecepatan sangat rendah di jalanan kota Bandung yang padat,
seorang ibu muda pejalan kaki tiba-tiba turun dari trotoar (karena trotoar
penuh), memasuki badan jalan, tepat di depan saya. Hap! Tanpa tanda tanpa kata,
sang ibu meloncat lincah seolah dirinya adalah sugar glider yang imut menggemaskan. Tentu saja manuver
sang ibu yang tiba-tiba itu, membuatnya menjadi hampir tertabrak oleh saya. Lalu,
apa yang terjadi selanjutnya? Reaksi pertama kami berdua adalah kaget, hal
biasa yang kemudian menjadi spesial dengan penambahan keluhan memojokkan dari
sang ibu kepada saya, seperti ini, “duu-uuuuuh,” nadanya kesal, juga
meyakinkan. Seperti sedang menyebar persepsi pada sekitar bahwa dia yang benar
dan sedang dirugikan.
Sama seperti kejadian
beberapa waktu lalu, saat itu saya sedang bermotor juga (soalnya nggak bisa
nyetir mobil, apalagi truk pasir), tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai ibu
paruh baya dari jalan kecil di sebelah kiri memasuki badan jalan, kami hampir
tabrakan. Kekagetanku saat itu lalu dimeriahkan pula oleh teriakan sang ibu, “heeeee-eeeehh!!”
Persis seperti meneriaki bocah yang tertangkap basah mencuri mangga di halaman
rumah pak lurah.
Ya, saya akui kalau
saya memang orang yang ceroboh dan bukan ahlinya berkendara. Maka, setiap ada ‘kejadian’
yang tidak diinginkan di perjalanan, sekecil apapun, saya akan berpikir dulu,
siapa yang salah. Dan jika memang saya yang salah, maka saya biasanya akan
meminta maaf, bahkan mengejar maaf kalau yang saya rugikan terlanjur pergi
duluan, atau akan diam saja. Tapi, kalau tidak bersalah, saya memang tidak bisa
terima diperlakukan seperti seorang yang bersalah.
Maka saya akan menatap
wajahnya, menyetel emosi dan nada bicara yang cukup meyakinkan tanpa terkesan ‘nyolot’
(semoga) untuk bertanya, “loh, siapa ya salaaah?” Biasanya (dan untungnya),
orang-orang yang barusan itu akan menjadi tahu diri dengan tidak balik memarahi
saya lagi. Setelah memberikan pertanyaan itu, barulah saya bisa melaju lagi
tanpa ada ganjalan di hati. Fyuuuh.
Beragamnya sifat
manusia memang menarik ya, tapi kadang bikin gemes-gemes-dongkol, seperti yang
barusan tadi, hihii. Di usia saya yang sekarang ini (dikira-kira aja lah ya, antara 17 atau 18), sudah lumayan sering saya
mengalami atau menyaksikan pengejawantahan dari sifat defensif manusia yang
satu ini. Mungkin wajar, karena pada dasarnya manusia ingin dirinya tercitra
baik oleh orang lain. Apalagi kalau contohnya di jalanan seperti tadi, sifat
dasar melindungi citra diri ditambah kaget dan tekanan tinggi dari kegiatan
berlalu lintas biasanya akan membuat seseorang lebih ‘meledak’ dari pada
kesehariannya.
Nah, nah, dari hasil
mikir-mikir sendiri yang belum teruji dan terbukti, saya menyimpulkan bahwa dapat
terjadinya memarahi-orang-duluan-padahal-dirinyalah-yang-salah, adalah karena:
1. lawan yang dihadapinya terlihat inferior dan dapat diintimidasi, lebih
muda, atau terlihat lebih lemah;
2. memanfaatkan persepsi yang sudah ada (dan memang benar, walaupun ada
pengecualian) bahwa yang muda cenderung lebih ceroboh dan ‘grasa-grusu’ dari
yang lebih tua, atau juga persepsi bahwa kendaraan umum (angkot) lebih
sembarangan daripada kendaraan pribadi;
3. refleks melindungi diri yang didukung dengan tekanan-tekanan tertentu (misal
kaget, atau kejadiannya berlangsung di depan banyak orang, stress lalu lintas);
4. bawaan lahir, ahahaa, sifat dasar melindungi citra diri dijadikan kebiasaan
untuk ‘menyerang’ lebih dulu, orang tipe ini dapat melakukannya secara refleks
jika terusik, bahkan tanpa tekanan sekalipun. Dalam kadar tertentu tidak menggangu,
tapi dalam kadar lebih tinggi akan menyebalkan, atau menyebalkan banget.
Terus gimana dong, menghadapi
yang seperti itu? Kalau saya sih, cukup tunjukkan bahwa kita tidak bersalah dengan
pertanyaan macam tadi, “loh, siapa yang salah?” atau pernyataan, “loh, saya kan
tidak salah.” Pastikan bahwa, (1) kita memang tidak bersalah, (2) nada bicara
tegas dan yakin, (3) bisa menjaga emosi supaya kalimat yang keluar tidak
bernada ‘nyolot’, (4) lawan bicara terlihat dapat diajak tersadar dan tidak
berpotensi melakukan kekerasan, (5) tempat kejadian aman dan tidak berpotensi
mencelakakan. Kalau nggak, ya sudahlah, ikhlaskan harga dirimu dan tinggalkan
tempat kejadian perkara. Rejeki mah nggak kemana :3
Lalu bagaimana menghadapi
orang yang disebut-sebut punya bawaan lahir ‘menyerang’. Mau bilang kalo listrik
diputus karena dia belum udunan listrik, malah nyalahin balik kenapa kita nggak
ingetin lebih awal. Mau bilang kalo kos-kosan kebakaran karena dia nggak matiin
lilin, malah nyalahin balik kenapa ga matiin lilin di kamarnya dia. Gimana? Ya,
kalau perkaranya tidak terlalu penting untuk dibahas dan diperbaiki, sebaiknya
tidak usah dibahas. Kalau perkaranya penting, persiapkanlah mentalmu, persiapkan
bahwa kamulah yang akan dicecar. Jika memang perlu dibalas, pikir-pikir dulu
lah kalimat balasannya, toh biasanya sudah terbaca kan dia akan berkata apa saja. Oke? Oke?
Kurang bermanfaat ya
tulisannya, ahahaa. Tak apalah, setidaknya yang pernah mengalami akan merasa
senasib seperjuangan sepenanggungan senada seirama seiya sekata. Akhir kata, semoga kita semua terhindar dari menjadi korban
marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah, apalagiii sampai-sampai menjadi pelaku marah-duluan-padahal-dirinya-yang-salah,
jangan sampai, aamiin >,<
Sampai jumpa di
postingan People Nowadays episode 2!
No comments:
Post a Comment