Dimuat di majalah Hai edisi 10 / XXXI / 5 Maret 2007
p.s. :Saya suka dan terharu banget waktu liat ilustrasinya, super kece dan detail sekali :') Enjoy the story, guys! :9
Kami Semua Sayang Kamu Budi!!!
Budi, racun IPA 3
“HWATCHRIIH!”
“Buset!
Kenapa Bud?” Didit yang masih kaget, bertanya pada Budi.
“Pilek
euy! Parah pisan! SROOOT!!!” Budi menjawab, lalu sibuk
menarik-narik ingusnya seirama, dan berjalan pergi.
Didit
mulai dilanda kecemasan. Penyakit menular yang diawali dengan Budi selalu
berakhir bencana. Seperti kata bang Rhoma Irama: BUDI! ♫ BUDIII…♪ MERACUNI…
KEHIDUPAN…♫
Budi
memang dianggap meracuni kehidupan teman sekelasnya. Pernah dia kena cacar,
sekelas pada ikut gatel-gatel, dia mencret, sekelas pada mules, dia kentut,
sekelas pada bau, dia ngupil pake kaki, sekelas pada ngupil, dia buka celana,
sekelas pada buka ce… ah nggak mungkin itu mah…
Dan
betul saja sodara-sodara… kurang lebih seminggu kemudian 6 orang anak kelas
positif terinfeksi flu. Dari pengamatan dapat diperkirakan bahwa korban akan
bertambah lagi. Akan tetapi, saat kondisi kelas sedang genting, bersin
dimana-mana, dan ingus merajalela, si Budi-biang-virus malah udah sehat wal
afiat. Kurang ajjjar…
Ingin
rasanya menyuntik mati si Budi, atau setidaknya menjadikannya jin botol, tapi
apa daya, mereka sudah saling menyayangi, sakitnya Budi sakit bersama, pileknya
Budi dirasakan semua, begitulah persahabatan.
Budi, racun keluarga
“Budi!
Cakep…, Ibu pergi dulu ya!” Ibu Budi bersiap untuk pergi dan sudah
berdandan rapi dengan kemeja bunga warna-warni. Kemeja kesayangan hadiah lebaran
dari suaminya, Bapak Budi. Ya, Budi dan ayahnya punya nama depan yang sama,
BUDI, dia Budi Riyadi, sedangkan ayahnya Budi Rahmadi. Betul-betul tidak kreatif memang…
“Pergi?
Kemana bu? Oh, pasti bayar utang.”
“Enak
aja… Ibu mah mau arisan di rumah bu Suhandi.”
“Oh…,
kirain bayar utang…”
“Nggak
dong, da ibu mah utangnya ke bu Suhana bukan ke bu Suhandi…”
“Euh…”
“Budi…,
Ibu teh lagi jemur baju. Kalo hujan diangkat ya.”
“Iya.”
“Jangan
sampe lupa.”
“Hm
hm.”
Ibu
Budi pun pergi ke kediaman bu Suhandi demi mengemban sebuah misi suci, menang
arisan dan membawa pulang uang. Dengan kepercayaan diri tinggi, beliau
melangkahkan kaki. Ternyata ibu Budi memasang arisan dengan nama Budi Riyadi,
anak semata wayang yang sangat dia cintai. Satu yang dia yakini, nama Budi
membawa hoki.
Tinggallah
Budi seorang diri, berteman hampa, bermandikan sepi, bertahtakan sunyi. Nggak
ding, sebenernya sih Budi berdua dengan neneknya, ibu Susilowati Budi Raharti.
Tapi biar bagaimanapun nenek tetaplah seorang nenek, tidak akan bisa diajak
main PS, apalagi manjat pohon jambu.
Budi
pun merasa seorang diri dan kesepian. Bagaimana tidak? Nenek yang biasa nyanyi
Jawa, kini tengah menikmati bobo siang di kamar depan. Lama-kelamaan Budi
dilanda kantuk nan dahsyat. 20 menit telah berlalu, nenek tak kunjung menyanyi.
Satu menit lagi keadaan ini dibiarkan, maka dapat dipastikan Budi akan tidur
dengan sentosa.
Kenyataan
tak selalu sejalan dengan keinginan, berjuang sekeras apapun, Budi tetap tak
kuasa menahan kantuk. Dia pun tertidur pulas di depan tv dengan pose asusila,
tangan kanan memegang jidat, jari kelingking tangan kirinya masuk ke hidung
sambil melakukan gerakan ehm… mengupil, kaki kanan mengarah ke barat, sedangkan
kaki kirinya ke tenggara. Ya ampuuun…
***
“WAKTU
HUJAN SORE-SORE…♫ Nananaannanaaa…♪”
“Hmmm…
hm… hm…,” Budi menggeliat-geliat di lantai, sambil berusaha sadarkan diri.
Ternyata dia terbangun oleh suara nenek yang begitu syahdu mendayu. “Tumben ya
nenek nyanyi lagu itu, waktu hujan sore-so... Hujan? Hujan?! HUJAN!!!
JEMURAN!!! TIDAK!!! TIDAK!!!”
***
“Assalamualaikum!”
Ibu Budi telah tiba di rumah.
“Waalaikumsalam…,”
Budi dan nenek menjawab bersamaan.
“Eh
Ibu…, mau Budi bikinin teh anget bu?”
“HWAH!”
Ibu Budi syok. “Budi kamu sakit nak?”
“Nggak…”
“Kok
tumben berbakti ke ibu.”
“Ah,
ibu mah… bisa aja…” Budi senyum-senyum tai ayam. “Bu, kok pulang ke
rumah teh nggak semangat, bu?”
“Hhh…
ibu nggak menang arisan… Padahal ibu sudah pakai nama kamu.”
“Ya
udah atuh… Nggak usah dipikirin, sekarang mah kita harus mikirin
gimana caranya, jemuran ibu bisa kering.”
“Hah?”
“Ng…
itu… jemuran ibu…”
“Kenapa
jemuran ibu?!”
“Jemuran
ibu…”
“Jemuran
ibu…”
“Basah
semua…”
“Basah
semua… BASAH SEMUAAA? JEMURAN IBU NGGAK KAMU ANGKAT!!! MASYA ALLAH!!! BUDI…
BUDI…!!!”
***
“BUDI!
Celana ayah mana?!”
“Celana
yang mana, ibu?”
“Celana
pendek kotak kuning!”
“Oh…,
yang ada rendanya?”
“Iya.
Celana pendek kotak kuning renda jingga!”
“Hmmm…”
“DIMANA?
Bukannya hm hm hm!”
“Ya
nggak tau atuh ibu.”
“Tadi
kan ibu jemur!”
“Kebawa
angin berarti, bu. Tadi kan ujan angin.”
“Itu
kan celana kesayangan ayah!”
“Iya
bu bener bener.”
“GIMANA
ATUH!!! Bukan bener bener!”
“Nggak
tau atuh ibu. Budi juga bingung besok pake seragam ato pake sarung.”
***
Ibu
Budi masih memikirkan celana pendek sang ayah yang imut lucu. Sementara Budi
dan neneknya sedang asik menonton acara kriminal di tv sambil tertawa-tawa.
“Budi
itu bacaannya apa?” nenek Budi menunjuk tv.
“Yang
mana nek?”
“Yang
itu!”
“Yang
ini?”
“Bukan!”
“Oh…
ini… masa’ nggak kebaca sih nek?”
“Bukan!
Euh…, kamu mah jadi weh hilang
tulisannya. Ambilin kaca mata nenek atuh kalo begitu.”
“Dimana
nek?” (PLUK)
“Itu
kesenggol sama kamu!”
“Mana
nek?” (PREK KREKEK KREKEK)
“Di
kaki kamu…”
“Wah
pecah nek!”
“…,”
nenek hanya bisa mengurut dada.
BUDI,
empat huruf yang memberi banyak arti. Sebuah nama yang begitu surgawi, tapi
menjadi sangat tak manusiawi manakala disandang oleh anak onta yang satu ini.
Begitulah cara dia menjalani hidup sehari-hari. Selalu membawa petaka bagi
seluruh insan manusia disekitarnya.
Budi,
racun tetangga
Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu
dengan semangat proklamasi.
“Ibu
Budi! Ibu Budi!” suara dibalik pintu memanggil.
“Iya,
iya, tunggu sebentar!” (CKELEK) “Eh, bu Sukamti! Ada apa bu?”
“Ini
punya ibu?” bu Sukamti menunjukkan suatu benda.
“Ya
ampun… celana pendek kotak kuning renda jingga!”
“Jadi
ini punya ibu?”
“Iya.
Alhamdulillah ketemu.”
“Saya
sudah tanya ke semua tetangga tapi tak ada yang mau mengaku. Ternyata ini milik
ibu.”
“Iya. Punya saya.” Ibu Budi bicara
sambil memeluknya, bukan memeluk bu Sukamti, tapi celana pendek kotak kuning
renda jingga.
“Hhh…
gara-gara itu…”
“Kenapa
bu?”
“Gara-gara
itu anak saya terluka,” bu Sukamti berkaca-kaca.
“Loh?
Bagaimana bisa?”
“Kemarin,
anak saya sedang mandi hujan dengan riang gembira, tiba-tiba, barang itu
menerpa mukanya, iya, TEPAT DIMUKANYA! Anak saya yang belum mempersiapkan diri
tentu saja terkejut lalu terjatuh, di selokan, BENAR-BENAR DI SELOKAN,
BAYANGKAN IBU BUDI! BAYANGKAN! Anak tak berdosa yang tak tahu apa-apa! Dia
masih sangat kecil dan belum merasakan asam garam kehidupan! Anak yang malang!
SUKAMTO! IBU PULANG NAK!” Bu Sukamti berlari-lari menuju rumahnya dengan
gerakan yang begitu dramatis.
“BUDIIIII!!!!!
SINI KAMU!!!” Budi pun dihajar massa. Nggak ding, Budi dimarahi habis-habisan
oleh ibunya.
Budi,
racun waria
Budi keluar dari rumahnya sejenak,
mencari udara segar. Dia merasa sangat putus asa, merasa hidupnya sangat tak
berguna. Apa yang bisa dia berikan untuk temannya, ibunya, ayahnya, neneknya,
tetangganya, bahkan untuk dirinya sendiri pun tak ada, pikirnya…
Kakinya
telah membawanya ke pasar Cijerah. Pusat kegiatan dan perbelanjaan orang
Cijerah dan sekitarnya. Berjalan dengan tatapan kosong dan hampa, merasa
hidupnya makin tak berguna.
“Dik!
Dik! Apa adik melihat seorang waria melintas disini?” Seseorang berpakaian
hansip bertanya pada Budi.
“Nggak
pak.”
“Ah
bohong… pasti adik lihat.” Hansip berkata sambil tersenyum manja.
“Nggak
pak!”
“Ah
pasti adik lihat tapi malu mengatakannya, saya bisa melihat dari mata adik.”
“Nggak
pak. Ya ampun.”
“Ah
pasti adik meliha…”
“Iya,
iya, saya lihat, disana pak! Sembunyi dibalik karung beras!” Budi menunjukkan
arah dan tempat yang asal, yang penting bebas dari hansip manis manja.
“Makasih
dek, gitu dong ah dari tadi, susah amat.” Hansip berkedip manja.
***
“Dek
ketangkep!” Hansip telah kembali dengan menggiring seorang waria.
“Wah
ketemu dimana pak?”
“Di
balik karung beras! Analisismu sangat hebat dik!”
“Oh
jadi anak curut ini yang kasih tau saya sembunyi dimana?!” waria tadi
menunjuk-nunjuk jidat Budi. Waria yang sangat jauh dari kesan cantik. Jenggot,
jakun, dan bulu dada yang wuw… keriting bow… membuat penampilannya tambah
parah.
“Nggak
sengaja kok!”
“Nggak
sengaja, nggak sengaja! Padahal saya udah yakin nggak ada yang bisa menemukan
saya dibalik karung itu.” waria itu melanjutkan.
“Iya
kamu sangat hebat dik! Bahkan saya yang sudah tau waria ini mencuri sekarung
beras pun tidak dapat mengira keberadaannya,” sang hansip sempat menatap Budi
dengan kagum sebelum pergi.
“Dasar
bedebah kamu anak onta! Tidak berguna! Anak tidak tau diuntung! Pergi kamu dari
dunia! Tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi! Pergi! Bunuh dirimu sendiri sebelum
simpatisanku mendatangi rumahmu! Menggerayangi mimpimu! Merasuki hidupmu!”
Begitulah kira-kira kata perpisahan yang sempat diucapkan sang waria, seluruh
kalimat caci maki dan sumpah serapah diucapkan.
Budi
semakin terpuruk dengan keputusasaan dan kehampaan akan hidup. Bahkan bagi
seorang waria yang dia belum pernah kenal sebelumnya, dia tak lebih dari
onggokan sampah. Tak berguna.
Budi
dan racun serangga
“Bunuh
dirimu sendiri… bunuh dirimu sendiri…,” kata-kata sang waria terus melekat
dipikirannya.
Di rumah Budi
Tok tok tok, seseorang kembali mengetuk
pintu rumah itu.
“Iya
sebentar.” (CEKELEK)
“Bu
ada kiriman!”
“Subhanallah
apa ini? Sungguh besar sekali!”
“Nggak
tau juga bu. Tapi kayaknya ibu menang undian bu.”
“Subhanallah,”
sang ibu histeris, menutup mulut dengan kedua tangan ala telenovela.
“Tolong
tanda tangan disini bu!”
“Iya…,”
Ibu Budi menandatangan dengan gemetar sambil melihat kardus tv 21 inchi didepannya.
Telah terbayang masa depan indah yang akan disongsong bersama dengan tv itu.
“Nenek!
Kita dapat tipi baru!
“Dari
siapa? Baik sekali….”
“Dari
undian nek. Nama budi memang bawa hoki. Saya kan selalu pakai nama Budi untuk
undian. Loh Budi dimana ya nek? Dari tadi nggak kelihatan.”
“Nenek
juga nggak tau. Tadi pergi kayaknya.”
“Pergi
kemana ya nek? Kok perasan saya nggak enak. Apa karena tadi dia dimarahin sama
saya. Aduh nak cepatlah pulang. Tipi ini ada berkat kamu juga, nak.”
“Iya,
berkat Budi nenek jadi bisa ganti model kacamata. Impian nenek adalah punya
kacamata mirip Madonna biar terlihat awet muda.”
“Assalamualaikum!”
ayah Budi yang bernama bapak Budi baru pulang kerja.
“Waalaikumsalam!”
“Ayah
lihat ada tipi! Ini berkat Budi yah! Berkat Budi!”
“Ada
apa sih ini sebenarnya,” ayah Budi bertanya, meminta kejelasan.
“Anak
kita yah! Menangin undian, tapi dari tadi belum pulang juga. Nggak tau kenapa
ibu jadi cemas, soalnya tadi ibu marahin dia.”
“Bapak
juga merasa nggak enak dari tadi. Padahal buang air besar sudah, ternyata ini
masalahnya.”
“Iya
yah.”
“Berkat
Budi juga ayah bisa terlepas dari jeratan celana pendek kotak kuning renda
jingga jahanam itu. Sudah lama ayah tidak mau memakai celana imut lucu itu tapi
tak kuasa ayah melepaskan diri darinya.”
“Benar
yah. Ibu jadi lebih hati-hati menjemur pakaian sekarang, berkat Budi anak
kita.”
“Benar.
Kacamata Madonna. Tergapai. Berkat Budi.” Nenek ikut bertukar pendapat.
“Ayah,
kita cari saja si Budi!”
“Baik
istriku!”
“Baik
menantuku!”
“Nenek
nggak usah ikut nek. Diluar banyak angin!”
“Yah…,”
nenek kecewa.
Di sebuah jalan layang diatas tol
Racun
serangga telah ada dalam genggamannya. Tapi Budi masih terlalu bingung memilih,
mati ditangan botol kecil berjudul ‘racun serangga aduhai dahsyatnya’, atau
mati ditangan jalan tol yang padat di sore hari. Disebuah jalan layang menuju
perumahan Gempol Sari dekat Cigondewah itu dia berpikir. Tapi kurang keren juga
ya mati disini? Begitu pikirnya. Terlintas di benaknya wajah ibunda dan ayahanda
tercinta, nenek serta tetangga juga teman sekelasnya. Budi semakin bingung. Bukankah
bunuh diri itu dosa? Akankah seorang Budi dikalahkan oleh perkataan waria?
Tidak! Tidak! Ini bukan diriku!
***
“BUDIII!!!
BUDIII!!!”
Sebuah
gorowok purba menghentaknya. Ayah dan bunda menjemputnya.
“AYAAAH!!!
IBUUU!!!”
Disebuah
sore nan jingga sejingga renda celana mereka berpelukan.
“Budi
maapkan ibu!”
“Maapkan
ayah juga!”
“Budi
yang seharusnya minta maap.”
“Kamu
pahlawan ayah!”
“Pahlawan
ibu juga, berkat kamu kita punya tipi baru, 21 pintu.”
“Inchi bu.”
“Iya
inchi.”
“Dari
mana bu?”
“Dari
undian yang pakai nama kamu.”
“Nenek
gimana bu?”
“Nenek
bahagia bisa punya kacamata Madonna.”
“Bu
Sukamti dan Sukamto?”
“Tadi
ibu ketemu bu Sukamti, tak disangka dia berterima kasih karena anaknya, Sukamto, jadi trauma mandi hujan. Dia lebih takut anaknya tersambar petir, daripada
tersambar celana kolor.”
“KAMI
SEMUA SAYANG KAMU BUDI!”
TAMAT
kan! kan! kan!
ReplyDeletekata siapa ga bakat menulis?
ini bisa dipajang di majalah HAI! :)
nisa bangetlah pokoknya
Ehehee, makasih mamaaang >,<
DeleteIya, Nisa banget, huahahahaa :))
hawwww... dah lama gue gak ngeliat majalah HAI! huu, nostalgia banget!!~!! :)
ReplyDeleteHihiii, saya juga, udah lama banget ga numpang baca Hai punya kakak laki-laki saya ><
DeleteKalo gak dicantumin penulisnya juga kayanya bakal tetep tau siapa yg bikin, hahaha. Bravo Nyu, tuntut lagi gih, haha
ReplyDeleteHehee, aku banget ya gaya nulisnya :3 Yeay! :D Tuntut 'itu' ya maksudnya? Nggak ah, udah lama T,T
Delete